[caption id="attachment_162688" align="aligncenter" width="650" caption="Pesudungon, tempat bermukim Orang Rimba/doc.Nopri Hidayat"][/caption]
Rindu itu luka, sayang !
Bukan airmata yang menghanyutkanku di tepian Sungai Batanghari, bukan pula rasa kalah yang membuatku undur diri dari ibukota. Hanya rasa rindu yang kupendam belasan tahun memastikan langkahku di tanah ini. Aku tahu kau kecewa, aku tahu kau resah. Tapi, inilah hidup; pilihan !
***
Rinai hujan mencumbui tanah merah, aroma tanah basah tiba-tiba saja menyeruak menemani senja sepi. Aroma yang mengingatkan saat-saat kita menapaki mimpi di ujung Utara ibukota dulu. Tapi disini berbeda, kau tak lagi menemani hari-hari panjang ku. Ah, sudahlah ! Romantisme klasik yang bisa mengusik, lupakan. Hujan mulai menebal, sesekali petir menampar bumi. Senyap diam-diam beralih.
“Guing, ake ndok belajo..” Suara lengking Ceriyap menyadarkan lamunanku.
“Ndok belajo apo ?”
“Pelajoron A B C nio…” Sebuah buku dan pena, ia sodorkan padaku.
Pelajaran mengenal hurufpun dimulai. Seperti biasa, belum sepuluh menit semangat Ceriyap mulai turun drastis, bermalas-malasan dia.
“Guing, kawan hopi mancing lagi ?” Ceriyap mulai mengalihkan konsentrasiku dengan soal pancing memancing. Jelaslah, sudah ini pertanda prihal baca membaca ini akan berakhir lebih awal.
“Nio ujon, hopi tokang mancing. Kawan, Belajolah dulu” Sebisa mungkin kupertahankan konsentrasi Ceriyap. Mulailah ia mengeja..Aaa..Bee, Cee.. Tak lama
“Guing, berapo nio hargo kudo yayo ?” Lagi-lagi, prihal baca membaca ia alihkan ke soal kuda. Semenjak melihat video tentang kuda beberapa waktu lalu. Berulang kali ia bertanya tentang kuda, mulai dari harga, tingginya dan sampai seberapa cepat kuda itu berlari.
“Ake hopi tentu hargo kudo.Belajolah dulu..”
“Guing, ake ndok ndengo cerito kudo..”Nampaknya prihal baca membaca memang harus diakhiri.
Sementara kami belajar, hujan masih menderah, langit pun berangsur tercabik gulita. Dua batang lilin pun kami sulut. Cahaya redup lilin yang digesek angin menjadi sanggah bagi kami melampaui malam. Ceriyap masih sibuk dengan imajinya soal kuda.
***
Rindu itu luka, sayang !
Sayang, kalau saja kau ada disini, bersama kami melewati malam di pesudungon beratap rumbia berlantai kulit kayu merantidan tak berdinding ini, pastilah kau akan suka sekali. Kami tidur di pondok mungil ini bukan untuk bergaya-gaya di dalam hutan layaknya pecinta alam yang mencari sensasi hidup dalam hutan. Tapi beginilah hidup keseharian Orang Rimba (OR), oleh Departemen Sosial mereka dikenal sebagai Suku Anak Dalam (SAD). Paling memilukan mereka kerap disebut sebagai “Orang Kubu”.
Sayang, kalau saja kau tahu konotasi dari kata “kubu” itu sungguh memarjinalkan Orang Rimba, pastilah kau akan marah tiap mendengar mereka disebut kubu. Sayang, kalau masih kau dengar kata itu untuk merujuk kawan-kawan disini. Kumohon ingatkan mereka, untuk tak lagi menggunakan kata itu. Paling tidak gunakanlah SAD, meski sebutan itu juga mengandung banyak distorsi.
Mengapa Orang Rimba menjadi sebutan yang layak ? Rimba atau hutan, merupakan ruang hidup dan ruang budaya kawan-kawan disini. Rimbalah yang membentuk jati diri dan identitas kultural mereka. Maka layaklah kawan-kawan disini dilekatkan dengan identitas ruang hidup dan budaya mereka. Bandingkan dengan istilah kubu yang berkonotasi terbelakang, buruk perangai dan berbagai konotasi negatif lainnya yang menyertai.
Kuasa kata telah ikut menjadi salah satu picu keterpinggiran kawan-kawan disini. Ah, tak salah memang Benedict Anderson dengan hipotesa Language and Power yang mahsyur itu. Betapa bahasa bisa menjadi instrumen ampuh dalam meminggirkan sebuah komunitas.
Rindu itu luka, sayang !
Ehm…apa lagi ya yang ingin kukisahkan. Sesungguhnya banyak hal yang ingin kukisahkan, tapi khawatir kau anggap aku terlalu naïf dan terjebak dalam relung romantisme. Oh iya, perkenankan aku berkisah tentang tiga kanti ku ini; Ceriyap, Besiar dan Beteguh. Sebenarnya banyak kawan-kawan lain, tapi cukuplah kita mulai dengan tiga ini dulu.
Ceriyap, lincah, mungil dan selalu ingin tahu tentang hal baru. Jarang sekali ia mengenakan baju, kalau ia sedang pakai cawot (kain yang dililitkan membentuk penutup kemaluan) khas sekali kanti satu ini. Waktu kami berjalan masuk ke rimba dari kantor lapangan, ia bergerak begitu lincah, dengan ambung (keranjang) dipikul ia tetap saja bergerak lincah. Sepanjang jalan ia bertanya tentang banyak hal. Kadang aku kewalahan menjawab pertanyaannya. Pernah suatu kali ia menanyakan tentang terbuat dari apa langit itu..zshtrt*&%$#@sz&$#@$#%... Langsung pusing kepalaku memikirkan hal tersebut. Bingung bagaimana secara sederhana menjelaskan tentang apa itu langit kepada anak yang umurnya belum genap tujuh tahunan. Apa kau bisa membantuku, kekasih ?
Perkara umur di komunitas Orang Rimba memang bukan perkara yang mudah. Hampir semua dari mereka tak tahu pasti umur. Karena para rerayo (orang tua) biasanya hanya mengandalkan ingatan kelahiran anak mereka dengan peristiwa besar yang terjadi ketika itu. Misal, si X lahir saat transmigran pertama kali datang. Atau, si Y lahir saat banjir godong (besar) atau hal-hal yang serupa. Jadilah perkara umur itu bukan suatu hal yang mudah diketahui dengan pasti.
Besiar, kanti satu ini cita-citanya ingin menjadi lokoter (dokter). Minatnya pada prihal yang terkaitkesehatan sangat tinggi. Jika ia melihat kita makan pil tertentu, biasanya langsung ia akan mencecar kita tentang apa dan bagaimana pil itu. Ketimbang Ceriyap memang Besiar kalah lincah, bahkan dapatlah kita sebut Besiar ini agak pendiam.
Beteguh, kanti kita satu ini adalah yang paling dewasa diantara mereka bertiga. Kalau menurut dugaanku usianya sekitar 12-14 tahun. Beteguh ini salah satu yang paling kukagumi. Kalau belajar dengan cepat ia bisa menangkap. Cita-citanya unik sekali, ingin jadi peneliti. Jadilah tiga hari penuh kami mendata hewan dan tumbuhan yang mereka kenali. Terkumpul sekitar 109 hewan dan 111 tumbuhan. Kami berdua sepakat menyebut ini sebagai penelitian.
Terkagum-kagum saya melihat kemampuan Beteguh mengingat jenis hewan dan tumbuhan di rimba. Ah, kalau dipikir-pikir mereka ini jauh lebih pintar dari kita soal ini. Kalau mau diuji mungkin tak ada separuhnya kemampuan kita prihal nama-nama hewan dan tumbuhan. Akulah yang belajar dari mereka prihal ini.
Sayang, kali ini cukuplah dulu kisah ku disini. Aku tahu kisah-kisah ini mungkin tak akan bisa menjadi penawar rasa kesalmu atas pilihanku ini. Tapi, kuberharap seiring waktu kau akan terbiasa. Ehm, inginlah kukatakan, aku menantimu disini.
Note :
Guing, ake ndok belajo: Kawan, saya mau belajar
Ndok belajo apo? : Mau balajar apa ?
Pelajoron A B C nio : Palajaran A, B, C ini..
Guing, kawan hopi mancing lagi ? : Kawan, kamu tidak manding lagi ?
Nio ujon, hopi tokang mancing. Kawan, Belajolah dulu : Ini hujan, tidak bisa mincing. Kamu belajarlah dulu
Guing, berapo hargo kudo yayo ? : Kawan, berapa harga kuda ?
Ake hopi tentu hargo kudo yayo.Belajolah dulu : Saya tidak tahu harga kudanya itu. Belajarlah dulu..
Guing, ake ndok ndengo cerito kudo : Kawan, saya mau mendengar cerita kuda
"Stop Menggunakan Istilah Orang Kubu..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H