[caption id="attachment_144279" align="aligncenter" width="650" caption="Salah satu rumah korban tsunami di Lamno,Aceh/doc@huzera"][/caption]
Tak banyak yang menyadari presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono adalah seorang global champion. Wah, setara juara piala dunia donk ? Tentu ini tak ada kaitan dengan piala dunia. SBY menerima penghargaan Global Champions for disasters reduction. Begitulah rilis resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa di website media mereka. juara global untuk pengurangan dampak bencana, luar biasa ! Tapi apa iya ??
Penghargaan tersebut secara resmi telah disampaikan oleh sekretaris jenderal PBB, Ban Ki-moon di Denpasar 19 November lalu. PBB mendasarkan pertimbangan penghargaan pada keberhasilan Presiden SBY dalam melimitasi dampak bencana Tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya pada 2004 lalu. Disamping itu, presiden kita juga disebut sebagai pemimpin negara pertama di dunia yang mengadopsi international blueprint for disaster risk reduction, yang lebih dikenal dengan the Hyogo Framework, ke dalam rencana nasional Indonesia.
Tentu saja tak dimungkiri penghargaan ini adalah sesuatu yang membanggakan, setidaknya bagi SBY. Meski demikian, tentu akan ada yang mempertanyakan benarkah SBY layak menerima penghargaan ini ? Bukankah, keberhasilan usaha recovery di Aceh justru banyak diinisiasi oleh Yusuf Kalla dengan lobi-lobi internasionalnya dan pendekatannya yang langsung memonitor proses rehabilitasi di Aceh. Tentu kita tak perlu terjebak pada wacana yang dikotomis macam itu.
Saya justru hendak menyoroti apa benar pemerintah kita telah menerapkan disasters reduction management dengan tepat ? Benarkah pula perilaku keseharian presiden kita telah mencerminkan global champion ? Mari kita cermati…
***
Tanpa bermaksud ‘menciderai’ prestasi presiden kita, tulisan ini hanya bermaksud mengingatkan pada kita bahwa masih ada hal-hal yang luput dari presiden terkait disasters reduction. Jika mengacu pada UN-ISDR (United Nations-International Strategy for Disasters Reduction) Maka, pengurangan dampak bencana itu segaris dengan adaptasi perubahan iklim.
Sebagaimana kita ketahui, bencana yang hadir hari ini beririsan dengan prosesi perubahan iklim (diluar keyakinan bahwa bencana adalah takdir). Degradasi kualitas lingkungan yang disebabkan oleh perilaku manusia telah ikut menjadi picu terjadinya perubahan iklim. Beranjak dari hipotesa tersebut, maka adaptasi terhadapat perubahan iklim adalah bagian terpenting dari pengurangan dampak bencana.
“Unless we act now, we will see more and more disasters due to unplanned urbanization and environmental degradation. And weather-related disasters are sure to rise in the future, due to factors that include climate change.” Demikian pernyataan Margareta Wahlström, Special Representative of the UN Secretary-General for Disaster Risk Reduction. Jelaslah bahwa faktor perubahan iklim, urbanisasi yang tak terencana dan degradasi kualitas lingkungan menjadi picu berbagai bencana.
Terkait hal tersebut benarkah pemerintah atau SBY sebagai presiden bersungguh hati menjalankan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim ? Tentu tak mudah menjawab pertanyaan ini. Tapi saya mencoba memberi beberapa parameter, sebagai bahan pertimbangan ;
[caption id="attachment_144257" align="aligncenter" width="650" caption="Foto by Huzer Apriansyah"][/caption]
Baru Sebatas Reaktif…
Mari kita cermati pola penanganan bencana yang dikembangkan oleh pemerintahan SBY. Konsentrasi dalam penanggulang bencana biasanya terfokus pada aksi cepat tanggap. Tentu saja ini hal yang sangat penting, tetapi faktor adaptasi perubahan iklim juga tak kalah penting.
Bisa disebut setelah bencana terjadi baru kita bereaksi. Setelah ribuan hutan gundul, baru kita mencanangkan penanaman kembali. Setelah diporakporandakan banjir baru kita berpikir untuk menata daerah bantaran sungai. Menurut saya pola reaktif dalam penanganan bencana belumlah sebuah solusi bagi pengurangan resiko bencana, karena model ini bersifat jangka pendek. Meski ini juga sangat penting tapi belum cukup.
Selanjutnya mari cermati rencana SBY yang menargetkan 1 milyar pohon untuk ditanam dalam setahun. Wah..ini tentu luar biasa. Namun pertanyaan usai ditanam bagaimana ? adakah alokasi dana perawatan ? adakah strategi memastikan pohon itu terjaga ? atau memang sekedar menanam ? Jikalau ini sebatas seremoni kepedulian, kelak akan menjadi bumerang.
Mengapa bumerang ? karena kita akan terbiasa menghitung pohon di negeri ini berdasarkan imajinasi bukan fakta empiris. Karena sudah merasa menanam 1 milyar pohon yang artinya kurang lebih setara dengan sejuta hektar lahan. Kemudian kita mengklaim telah terjadi penghijauan seluas sejuta hektar. Logika macam apa itu ? Benarkah dari semilyar itu tumbuh 10 persennya saja ? belum lagi ditambah bahwa proyek penanaman kembali kerap manipulatif. Apa yang ada di lapangan tak sesuai laporan di atas kertas.
Kebijakan adaptasi perubahan iklim yang merupakan instrumen utama dalam pengurangan dampak bencana rasanya belumlah menjadi arus utama. Apalagi kalau kita mau bicara tentang implementasi di level daerah. Aceh saja yang sudah memproklamasikan diri sebagai “Green Province” masih tertatih-tatih membangun strategi adaptasi perubahan iklim.
Menilik Laku Presiden
Seorang pahlawan lingkungan, seperti yang disandang SBY lewat penghargaan global champions selayaknya menjadi tauladan dari kesehariannya. Tentu saja pada banyak hal SBY adalah tauladan yang baik. Tapi benarkah laku pribadi SBY telah menunjukkan perilaku yang ramah lingkungan dan mengarah pada adaptasi perubahan iklim ? Tunggu dulu..
Mari kita cermati pilihan presiden yang bermukim di Istana Cikeas. Jarak Cikeas dan Istana Presiden di Medan Merdeka sekitar 40 kilometer. Tiap hari paling tidak dua kali rute itu ditempuh presiden dan rombongan. Dalam rombongan paling tidak (kita ambil kemungkinan terkecil saja) ada dua mobil pengawal, empat motor pengawal dan tentu saja mobil presiden sendiri. Berapa banyak energi tak terbaharui harus hilang dari aktivitas rutin ini. Berikut kalkulasi berdasar standar carbon footprint
4 motor pengawal7 KG Co2 x 4 = 28 KG Co2/hari
3 mobil (include presiden)12 KG Co2 x 3 =36 KG Co2/hari
Jadi total carbon dioksida (CO2) yang dihasilkan iring-iringan presiden setiap harinya minimal 64 KG. Perhitungan ini dilakukan secara kasar, kalau mau didetailkan, hasilnya akan lebih besar. Maka dalam sebulan (26 hari kerja) sama dengan 1664 KG atau 1,66 Ton Co2. Maka, dalam setahun sekitar 19,92 ton hampir 20 ton dihasilkan oleh SBY dan rombongannya. Ini implikasi ekologis SBY memilih tetap bermukim di Cikeas. Bayangkah SBY memerintah selama 10 tahun, berarti sekitar 200 ton Co2 dihasilkan oleh SBY. Sekali lagi ini standar terendah. Bayangkan kalau ternyata pengawal presiden itu ada 5 mobil dan 4 motor. Belum pula kalau ternyata SBY bolak-balik ke Cikeas lebih dari dua kali sehari.
Itu baru satu gambaran saja. Mari kita lihat implikasi ekologis dari pilihan SBY menggelar ijab qabul pernikahan putranya di Cipanas dan resepsi di JCC. Bayangkan berapa ratus bahkan ribu mobil akan hilir mudik dari Jakarta ke Cipanas yang jaraknya paling tidak 90KM dari Jakarta. Silahkan hitung Co2 dari perhelatan ini. Ditambah 3500 undangan yang menyerbu JCC nanti.
***
Sekali lagi potret di atas tidak hendak menjelekkan presiden kita. Namun, mungkin beliau lupa bahwa tiap pilihannya akan mengandung implikasi ekologis. Andai saja presiden memilih tinggal di istana negara bukan di Cikeas, atau mencoba menggelar ijab qabul putranya di seputaran Jakarta saja, implikasi ekologisnya akan lebih kecil.
Ini hanya gambaran mungil saja. Tak berkurang salut saya atas gelar global champion yang baru diterima pak presiden. Namun, sekali lagi the real champion tak hanya hadir dengan citra tapi hadir dalam aktivitas kesehariannya…
Selamat pak presiden…!
Sumber bacaan :
5. Linking Climate change and disasters reduction
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H