Mohon tunggu...
Huzer Apriansyah
Huzer Apriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Pada suatu hari yang tak biasa

Belajar Menulis Disini

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

20 Tahun Nan Sunyi Usai Indonesia Raya Berkumandang di Manila (Catatan Sepakbola)

1 Desember 2011   22:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:56 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

[caption id="attachment_145991" align="aligncenter" width="650" caption="Ilustrai/doc@huzera"][/caption]

Petang itu 4 Desember 1991, usiaku belum genap 10 tahun. Sedari pagi pikiranku sudah melayang ke nan jauh disana, Filipina. Petang itu akan jadi petang yang paling kurindu sebagai pedukung tim nasional sepakbola kita.

Belumlah banyak pengetahuanku tentang sepakbola ketika itu. Mungkin yang kutahu AC Milan dengan dream teamnya, aku juga mengenal Krama Yudha Tiga Berlian, tim galatama yang sempat bermarkas di Palembang. Namun, petang itu, mata kecilku tertuju pada pasukan garuda yang akan berlaga di final sea games Manila.

Aku mengingat bagaimana Edi Harto, sang kiper Indonesia menjadi pahlawan kala itu. Thailand tersingkir karena kecepatan refleknya. Sungguh saya beruntung karena sempat menjadi saksi dari sebuah malam yang puluhan tahun kemudian ternyata menjadi malam yang selalu dirindukan negeri kita. Malam kejayaan yang magisnya tak pernah lagi kita rasakan.

Hingga tahun ini (2011), sudah sepuluh kali Sea Games di gelar tak sekalipun tim nasional kita mampu mengulangi malam indah di Jose Rizal Memorial Stadium, Manila. Dua kali pula kita menjadi tuan rumah setelah malam berbunga di Manila itu, tapi dua kali pula kita kandas di hadapan sorai-sorai suporter yang menggema di Senayan yang kemudian berubah nama menjadi Gelora Bung Karno (GBK).

Thailand membungkam Senayan di 1997, lalu 2011 Malaysia membuat GBK lengang di malam duka sepakbola kita. Bukan hanya karena kita gagal merengkuh impian 20 tahun yang tapi juga karena ada dua sepurter yang meregang nyawa karena berdesakan di GBK. Sungguh malam yang kelabu.

***

Habis sudah analisa, puluhan program diusung, ratusan pemain pula telah mencoba tapi entah mengapa emas sea games seperti enggan lagi singgah di nusantara. Layaknya sebuah drama, tim sepakbola negeri kita seperti tengah menjalani drama tragedi yang selalu sedih di ujung kisah. Drama tragedi tak hanya hadir di Sea Games juga di ajang lain sebut saja AFF Cup atau yang dulu dikenal dengan piala tiger. Apalagi kalau mau bicara level di atasnya. Nyaris tanpa suara kita. Tentu bukan bermaksud menisbikan perjuangan anak-anak garuda, tapi begitulah adanya.

Sejauh ini. Drama sepakbola kita adalah tragedi, belum beranjak dari itu.

The Real Team

Kalau saja kutahu malam itu adalah awal dari sebuah musim kemarau panjang sepakbola kita. Pastilah akan kunikmati tiap detiknya. Sayang banyak momen yang terlewati. Usai babak tos-tosan, langsung saja aku meyembur ke luar rumah. Padalah TVRI ketika itu menyiarkan juga pengalungan medali. Ah, sungguh menyesal tak ikut menyaksikannya.

Setelah malam emas itu ternyata tak pernah ada lagi malam emas buat timnas kita di Sea Games. 20 tahun dari malam itu kita masih puasa gelar juara. Entah mengapa kemaraunya begitu lama.

Padahal sudah banyak anak-anak muda yang dikirim berlatih ke negeri yang merajai sepakbola dunia. Sebut saja program Primavera dan Barreta di Italia, kini adapula tim yang dikirim ke Uruguay. Namun sayang, sejauh ini medali emas Sea Games, masih tersangkut di atap GBK, dua kali menembus final di GBK, dua kali pula kesempatan itu luput.

Teringat kembali 4 Desember 1991 itu, Anatoli Polosin, pelatih kepala asal Rusia itu bukanlah pelatih yang benar-benar hebat. Tapi ia mampu menghadirkan the real team. Satu hal yang masih kuingat dari laga final di Manila itu bagaimana timnas kita bermain sebagai tim, tak peduli betapa hebatnya Ricky Yakob, dan betapa cemerlangnya Ferry Raymond Hattu mereka bermain betul-betul sebagai tim. Bukan sekedar individu yang beraksi dengan kebolehan masing-masing.

Satu hal pula, tim itu bermain dengan fisik yang luar biasa. Tak ada maksud bahwa tim-tim setelah era 91 adalah tim yang gagal. Namun, kecenderungan “panggung bintang” tak terhindari. Sebut saja era Kurniawan Dwi Julianto, betapa ia mendominasi headline surat kabar tiap kali timnas berlaga. Lihat pula era Gendut Doni atau yang terakhir Bambang Pamungkas, kita perlakukan mereka layaknya “raja”. Hingga kalau mau jujur kita memang tak pernah lagi melihat the real team. Kita hanya melihat satu dua bintang yang didukung pemain-pemain lain.

Tanpa bermaksud menafikkan jasa Kurniawan atau Bepe, tapi kita telah salah ‘melahirkan’ sebuah tim nasional. Kebintangan justru membunuh tim. Mungkin saja kalau bintang tersebut telah teruji luar dalam kedahsyatan tak mengapa, nah yang kita miliki baru bintang tanggung. Namun, karena media dan kita mendewakan mereka, jadilah bintang tanggung itu layaknya raja. Timpun porak poranda.

Ingatkah kita tatkala Itali menyanjung habis-habisan Roberto Baggio di piala dunia 1994. Apa lacur, justru Italia gagal merengkuh gelar puncak. Namun dua belas tahun kemudian tanpa bintang yang luar biasa Italia justru melumat Perancis di final piala dunia. Tak banyak yang ketika itu mengenal Fabio Grosso, Iaquinta atau Camoranesi, tapi justru di pundak anak-anak muda itulah Italia mencapai impian yang 24 tahun terpendam.

Betul bahawa ketika itu ada Del Piero, Buffon dan juga Inzaghi tapi mereka tak diistimewakan sama sekali. Italia di tangan Lippi ketika itu sungguh-sungguh the real team. Terbaru, Argentina kemaha bintangan Messi sama sekali tak berdampak pada prestasi tim nasional mereka. Jangankan juara piala dunia, finalpun tak pernah dijamah.

Tim merah putih 1991 adalah Italia ketika 2006. Setelah itu tim nasional kita ditaburi bintang-bintang yang layu sebelum benar-benar berkembang.

***

Malam 4 Desember itu adalah kali pertama aku menyaksikan tim sepakbola Indonesia berlaga secara utuh. Itulah pengalaman pertamaku, sebuah teve tua hitam putih menjadi teman kami malam itu. Saksi atas sebuah the real team. Tak dinyana, usai malam itu tak pernah lagi Indonesia Raya berkumandang sebagai juara dari arena Sea Games.

Organisasi sepakbola tanah air berulang kali telah berganti, dari birokrat, tentara, pengusaha dan kini di tangan akademisi. Masih panjangkah kemarau prestasi kita ini ? waktu yang menjawab.

20 tahun, 3/4 umurku sudah kusaksikan tim sepakbola kita berlaga nyaris tak terlewat satu lagapun, kutonton pasat-pasat baik melalui layar kaca, atau kadang langsung ke arena. Pra piala dunia, AFF cup, pra olimpiade, Piala Merdeka, Piala Asia dan juga Sea Games atau sekedar laga persahabatan. Namun sayang, rindu 4 Desember itu tak kunjung tuntas. Juara seolah selalu seperti fatamorgana, begitu nyata dan begitu dekat namun tak pernah kita rengkuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun