[caption id="" align="alignleft" width="103" caption="AE Priyono/demos.or.id "][/caption]
Ada banyak jalan untuk berbakti kepada masyarakat, tapi hanya sedikit cara yang bisa dilakukan agar masyarakat memiliki kapasitas untuk memperbaiki diri mereka sendiri. Niat dan inisiatif individual untuk berbakti kepada masyarakat sungguh sudah memiliki nilai ibadah dengan satu pahala. Jika niat individual itu direalisaikan, maka pahalanya bertambah menjadi dua kali lipat. Jika niat individual itu digabungkan dengan niat orang lain yang berbeda dengan tujuan yang sama, lalu direalisasikan menjadi amal kolektif, nilai pahalanya menjadi berlipat-lipat sesuai dengan jumlah niat plus realisasi amalannya plus kemanfaatnya bagi masyarakat. Ganjaran eskatologis sebuah amal digambarkan oleh Kitab Suci dengan ibarat tumbuhnya satu benih yang menghasilkan puluhan ranting dan ratusan buah-buahan.
Tapi kebaktian sosial hanya akan menjadi amal karitatif jika dimaksudkan sekadar untuk tabungan akhirat. Sebab jika demikian orientasi primernya adalah pada kepentingan pelaku-amal untuk mendapatkan berkah dari langit, sementara kesengsaraan bumi hanya dianggap sekunder. Agar amal kolektif yang berbasis niat individual itu berbuah jadi kemaslahatan di dunia nyata, kita harus mengubah paradigma tentang kebaktian sosial menjadi gerakan sosial. Kebaktian sosial dikerjakan oleh hati yang tersentuh, gerakan sosial dikerjakan dengan nurani yang berpikir. Inilah keutamaan pertama dari gerakan sosial atas kebaktian sosial. Kebaktian sosial bersifat karitatif, top-down, menolong tanpa tahu bagaimana melakukan pemberdayaan, memberi tanpa mengerti struktur empiris kemalangan. Gerakan sosial bersifat empatik, memercikkan semangat untuk menumbuhkan solidaritas dan pemberdayaan dari bawah, membela korban dengan kepedulian pada latar belakang struktural yang menjadi akar kesengsaraan, serta menguatkan basis dengan orientasi pada pemenuhan keadilan.
Basis kebaktian sosial adalah niat baik individual untuk mengurangi penderitaan sesama akibat nasib buruk, sementara fundamen gerakan sosial adalah kesadaran kolektif untuk menghilangkan penyebab-penyebab kesengsaraan. Dalam paradigma kebaktian sosial, misalnya untuk menolong korban banjir, kerusakan lingkungan yang menjadi penyebabnya tidak dimasukkan sebagai bagian dari persoalan. Dalam paradigma gerakan sosial, bukan hanya kerusakan lingkungan yang harus diperbaiki, tetapi kebijakan ekonomi-politik di balik perusakan lingkungan harus dipersoalkan dan dikritik. Kebaktian sosial adalah kegiatan kemasyarakatan yang a-politis, bersifat ad-hoc dan temporer; sedangkan gerakan sosial adalah kegiatan terencana yang sadar-politik, berjangka panjang, dan programatik.
Ada banyak jalan untuk berbakti kepada masyarakat, tapi hanya sedikit cara yang bisa dilakukan agar masyarakat memiliki kapasitas untuk memperbaiki diri mereka sendiri. Ada banyak sumbangan diberikan dalam setiap peristiwa bencana alam, tapi banyak juga yang bocor dan mengalir ke para pejabat karena problem akut korupsi. Dan itu berulang terus dalam peristiwa bencana berikutnya, karena masyarakat tidak memiliki cukup kekuatan untuk mengontrol perilaku korup kekuasaan. Bencana alam berlangsung lagi, dan korupsi terus terjadi.
Ada banyak bantuan beras kepada rakyat miskin di Temanggung akhir-akhir ini, tetapi beras sumbangan dari kegiatan kebaktian sosial itu akan menjadi semakin terbatas untuk menanggulangi kelaparan yang terus meluas. Kemiskinan menjadi semakin massal, sementara pemerintah semakin berlagak pilon terhadap dampak mematikan dari kebijakan ekonomi liberal yang menyerahkan harga kebutuhan pokok pada mekanisme pasar.
Bencana alam dan bencana sosial, sebagaimana ditunjukkan melalui dua contoh di atas, jelas sekali memperlihatkan dimensi ekonomi-politik yang semestinya mendapat tempat dalam agenda bantuan kemanusiaan, begitu pula dalam agenda yang lebih luas untuk pemajuan masyarakat.
Tanpa perubahan paradigma dari kebaktian sosial yang karitatif menjadi gerakan sosial yang memihak, maka tidak akan terjadi banyak perombakan dalam keterlibatan masyarakat untuk pembaruan sosial. Paradigma kebaktian sosial tidak memiliki agenda untuk perubahan sosial-politik, dan karena itu selalu mengambil sikap konservatif terhadap struktur-struktur kekuasaan. Gerakan sosial memiliki konsep bagaimana perubahan sosial harus dikerjakan agar ruang partisipasi masyarakat bisa berkembang menuju perluasan zona-zona independen kegiatan sipil kewarganegaraan, seraya mempersempit zona-zona politik elitis yang menjadi sumber korupsi dan penyelewengan kekuasaan.
Ada banyak jalan untuk berperan serta dalam kegiatan kemasyarakatan yang produktif demi kemajuan kampung halaman. Dan salah satu cara terbaik untuk itu adalah membangun gerakan sosial yang dirancang secara jangka panjang, bukan dengan bakti sosial apalagi dengan motif sekadar untuk tebar pesona dalam rangka cari proyek Pemda.
Oleh AE PRIYONO
(Penulis adalah peneliti DEMOS dan Reform Institute Jakarta, asal Ngadirejo Temanggung). Naskah ini pernah dimuat di media cetak Stanplat Temanggung Juni 2007.