Semakin kuat identitas global, semakin kuat pula pencarian jati-diri lokal. Solusi terhadap dominasi dan hegemoni globalisasi bukan lagi sosialisme, agama, atau anti globalisasi, melainkan glokalitas.
Gejala penemuan (kembali) identitas lokal yang selama ini tercerabut dari akarnya sekarang muncul dalam bentuk yang unik, khas dan menjanjikan perubahan daripasa aksi politik herois di jalanan. Wujud gerakan itu bermula dari gerbong komunalisme yang bergerak menuju stasiun lokal komunitarianisme.
Pada tataran sekup yang lebih kecil, para aktor komunitarianisme adalah individu-individu yang bebas merdeka dan berjuang dengan jalannya sendiri; tak terikat aturan ideologi atau konsensus politik konvensional. Mereka yang berada di dalam gerbong komunitarianisme itu adalah kaum anarkis.
Anarkis dalam konteks era pasca ideologi ini, sebagaimana dipahami Goenawan Mohamad (1994), bukanlah "anarkis" seperti dalam teori politik kaum anarkis, melainkan suatu "permainan" dari sesuatu yang mengalir, "tanpa stabilisasi."
Lebih jauh mari kita tafsirkan, anarki dalam hal ini bukanlah sebuah gerakan dari sebuah perkumpulan atau kelompok yang anti negara, melainkan berupa gerakan individu yang menyatu dengan atau tanpa ikatan yang bebas (anarkis) dari dominasi negara atau pasar.
Kekacauan dan kearifan
Ruang publik internet yang tak mengenal "aturan" itulah yang merangsang gairah anarkisme. Sebagian memang mendorong berbagai bentuk kejahatan (cyber crime), namun sebagian—bahkan mungkin lebih besar jumlahnya—mereka menjadi makhluk-makhluk mulia.
Harus diakui, internet juga memiliki prestasi dalam hal menegakkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini terpendam oleh lumpur modernitas. Di Indonesia, wacana liyaning liyan (lain dari yang lain) akhir-akhir ini bergerak di wilayah kultural yang kadang dilupakan kaum cerdik cendekia.
Pada mulanya, liyaning liyan adalah bentuk perlawanan individu/kelompok berhaluan ekstrimis yang bertindak dan berlagak waton suloyo (asal berbeda) dari mainstream produk pasar yang milik kaum dominan kapitalis. Gerak liyaning liyan ini sangat radikal. Ada dua bentuk bisa kita rujuk dari dua fakta ini. Pertama, gerakan agama ekstrimis.
Mereka melihat globalisasi sebagai ancaman dan perlu dibabat tanpa kompromi dengan idealisasi mengganti masyarakat setan dengan masyarakat Tuhan. Fenomena ini mirip idealisasi kaum marxis ortodhok yang ingin mengganti masyarakat berkelas menjadi tak berkelas yang sekarang sudah mati kutu ditelan waktu.
Sedangkan radikalisasi kedua bentuknya cukup unik. Dalam batas tertentu ia tak mengenal isme melainkan hanya mengenal bahwa 'yang dominan' adalah penindas. Ide dasar perlawanan terhadap 'yang dominan' ini adalah dekonstruksi. Melalui faham postmodernisme, ontologi pengetahuan dijungkir-balikkan tanpa merasa punya kewajiban bertanggungjawab menyusun konsep baru (rekonstruksi). Prinsipnya, 'yang dominan' terjungkal dan 'yang terdominasi' bebas menghirup udara segar dari penjara-penjara ontologi modern yang nota-bene adalah reproduksi dari kepentingan pemegang modal.