Oleh Falakiyatun Muniroh
Sudah menjadi kebiasaan, setiap liburan kenaikan kelas, anak-anak selalu kubawa pulang ke Parakan, ke kampung halamanku. "Aku dong, punya nenek, namanya mbah Uti dan mbah Akung," kata anakku yang ketiga, si bungsu, Ufa 4,8 th untuk menyebut mbah putri dan mbah kakung.
Ia ucapkan itu dengan penuh kebanggaan dan kerinduan. Betapa terasa dilubuk hatinya, nun jauh di Parakan sana ada hati dan dekapan hangat yang senantiasa menunggu liburan panjang datang, menunggu rumahnya diramaikan, selanjutnya diacak-acak.
Seperti juga liburan kali ini, berbarengan dengan pernikahan adikku, 25 Juni lalu, aku sekeluarga menikmati liburan di suatu rumah sederhana yang asri, dimana dulu aku mereguk masa kecil penuh kehangatan. Di sini jugalah seolah anak-anakku memberi kesempatan bagi bapak ibunya untuk mereguk ulang bulan madu yang kesekian kalinya. Asyik…
Kebiasaan ini sudah menjadi rutinitas sejak empat tahun lalu. Seringnya anakku liburan ke Parakan, membuat mereka semakin fasih menirukan dialek-dialek medok Jawa khas Temanggungan. Mungkin karena aneh mendengar orang-orang Parakan berbicara, anakku seringkali menirukan ucapan-ucapan khas seperti o ra-ang (tidak akan), ngenyek (menghina), jongasi (jangan sampai) dan sebagainya. Apalagi anak sulungku yang sekarang naik kelas 6 SD, saking seringnya ikut latihan Kubro Siswo di Kauman ia sering menirukan gaya tarian 'main komidi', 'dengan aksi' menakut-nakuti adik bungsunya. Akibatnya si bungsu menjerit-njerit ketakutan. Sedangkan anakku yang ketiga agak punya kebiasaan aneh setiap kali berada di Parakan. Ia suka ngintip kuburan Gandi dan Somba, yang berada dekat di Kauman itu (ah, semoga anakku kelak tidak jadi dukun togel. Hehehe…).
Kuburan ini tampak berbeda dengan masa kecilku dulu. Sekarang kelihatan keramat karena dipagar tinggi, terkesan sepi sekali. Dulu kami main di kuburan itu tidak ada yang melarang. Main-main bersama, bergelayut dari ranting ke ranting kamboja lain tanpa merasa berada dalam dunia angker. Ah, ternyata asyik juga jadi monyet. Beruntung aku bukan dari keluarga priyayi. Sebab, biasanya anak-anak perempuan priyayi dilarang orang tuanya bermain bebas serba konyol seperti itu. Di kuburan itu, kami merasa berada dalam suasana miniatur pasar yang menyediakan aneka rupa sayur-mayur mainan.
Waktu cepat berlalu. Aku harus pulang ke Jakarta, menjemput rutinitas kerja. Berdua dengan suami, kami pulang malam melalui jalur selatan, Wonosobo-Parakan; sepanjang jalan yang membuatku selalu takjub dengan fenomena alam. Setelah Kretek, Bedakah, jembatan Segandul dan sampailah pada relief hijau guratan petak-petak sawah, tatanan pohon pinus dan kotak-kotak rumah mungil tampak jauh di kaki Gunung Sumbing.
Di sekitar Kledung kabut berarak turun. Hawa dingin semakin menyusup, meski sang mentari tetap memancarkan panasnya. Alam belum tereksploitasi, masih perawan nan ayu. Setelah Paponan selalu kulihat bukit kecil Tarangan. Ini sangat mempesona, karena semakin rimbun saja ditumbuhi pohon bambu. Tidak seperti pemandangan tahun sebelumnya yang agak merangas gundul. Di tengah kemarau dan berita kekeringan di daerah-daerah lain, kawasan Tarangan justru tetap hijau, saluran air tetap mengalir. Darimana air-air ini?
Sepanjang jalan Wonosobo-Parakan pun terlihat basah, hijau dan tak berdebu. Aih aih..... "maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?". Semoga, orang-orang Temanggung adalah orang-orang yang suka bersyukur dan dijauhkan dari segala kesombongan. Amien.
*)Penulis asal Kauman Parakan/merantau di Jakarta
(Naskah ini pernah dimuat di Stanplat Temanggung Edisi 2 Agustus 2006)
(Naskah ini pernah diterbitkan Stanplat Temanggung Edisi II Agustus 2006)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H