AE Priyono
Patronase Politik dan Patrimonialisme Birokratik
Gaya Temanggungan
oleh AE PRIYONO
Peneliti PWD (Power, Welfare, and Democracy), Fisipol-UGM, Yogyakarta
Bagaimana sesungguhnya memahami fenomena politik Temanggung masa kini? Bagaimana watak dan kelakukan politik dan birokrasinya?
Dengan konsep “demokrasi patronase,” Gerry van Klinken (2006) memberikan kerangka penjelasan umum mengenai politik Indonesia di tingkat lokal. Tulisan ini menggunakan kerangka itu untuk menjelaskan karakter-karakter umum politik patronase dan birokrasi patrimonial di Temanggung.
Karena keterbatasan ruang, tulisan ini hanya akan memfokuskan perhatian atas salah satu aspeknya saja, yakni tentang watak dasar dan kelakukan birokrasi lokal. Setelah penjelasan teoretis, tulisan ini akan memberikan ilustrasi-ilustrasi riel mengenai kelakukan birokrasi lokal Temanggung di bawah sistem demokrasi patronal yang elitis dan eksklusioner.
Empat Ciri Demokrasi Patronase
Klinken sebenarnya menggunakan diskursus tentang “demokrasi hibrida” yang mulai dipakai untuk menjelaskan gejala politik di negeri-negeri yang baru saja keluar dari rezim otoritarian. Bersamaan dengan meluasnya gelombang ketiga demokratisasi global sebagaimana yang dipopulerkan Huntington pada tahun 1990an, demokrasi hibrida bermunculan di kawasan Dunia Ketiga, termasuk di Indonesia.
Demokrasi hibrida dipahami sebagai sistem demokrasi liberal yang dicangkokkan secara paksa di dalam tatanan politik yang penuh cacat-warisan peninggalan sistem otoritarianisme lama, di tengah-tengah sistem sosial-ekonomi yang penuh ketimpangan struktural, dan di atas landasan budaya yang patrimonialistik.
“Demokrasi patronase” adalah salah satu varian dari demokrasi hibrida yang berlaku di Indonesia. Konsep itui dimaksudkan untuk menjelaskan karakteristik pokok demokrasi Indonesia berakar kuat pada politik patronase, yakni praktik politik yang didasarkan pada jaringan hubungan-hubungan sosial antara patron dan klien yang membentuk struktur-struktur kepentingan elitis untuk merebut kekuasaan birokratik baik di tingkat pusat maupun daerah.
Karena proses politik untuk menjalankan perebutan kekuasaan itu menggunakan mekanisme dan prosedur demokrasi, maka demokrasinya sangat berwatak patronal. Patronase, itulah ciri pertama dan paling utama dari demokrasi Indonesia di tinmgkat lokal dewasa ini, termasuk di Temanggung.
Ciri kedua, partai-partai politik sekadar berfungsi sebagai mesin-pemilu, tanpa basis sosial yang nyata, hanya digunakan para aktor oportunistik sekadar untuk mencapai posisi-posisi elite. Karena fungsi partai politik hanya dipakai untuk melayani kepentingan elite, maka partai-partai tidak pernah benar-benar bekerja untuk mewakili aspirasi kerakyatan.
Menurut Klinken, praktik politik kepartaian seperti itu didukung oleh kaum elite benalu, yang ditandai oleh kegiatan politik-uang, penuh potensi konflik dan kekerasan, serta yang konstituensinya seringkali mengidentifikan diri secara primordialis.
Penelitian Demos (2004) memperlihatkan bahwa demokrasi yang didasarkan pada partai-partai elitis menghasilkan oligarki. Inilah jenis demokrasi yang berkualitas rendah, demokrasi yang gagal merombak tatanan sosial yang penuh ketimpangan. Yang lebih celaka lagi, inilah jenis demokrasi liberal yang mengasingkan rakyat miskin, tidak pernah mau membuka diri pada kepentingan kerakyatan, tidak berpihak pada publik, dan sangat rentan pada sentimen-sentimen komunalitik, sekaligus godaan uang.
Ciri ketiga, persis sebagai akibat dari karakteristik kedua di atas, demokrasi patronase Indonesia juga bersifat eksklusioner terhadap kepentingan-kepentingan popular, kepentingan rakyat kebanyakan.
Kegiatan politik demokratik pada kenyataannya adalah kegiatan yang berkisar pada kepentingan elitis, terutama hanya untuk melayani kepentingan elite politik dan elite ekonomi, dan pertikaiannya karena itu bersifat sangat intra-elite, sebagaimana terlihat dengan jelas sekali dalam berbagai bentuk kompetisi politik di seputar pemilu. Lihat saja contoh tentang pertarungan para calon presiden belakangan ini.
Elitisme politik Indonesia, khususnya jika melihat pada fenomena lokal, sebenarnya berasal dari kegiatan kelas menengah Indonesia yang semakin aktif secara politik selama satu dasawarsa belakangan ini.
Kelas menengah adalah kelompok sosial yang paling memiliki ketrampilan politik untuk mendapatkan akses pada sumber-sumber kekuasaan negara, khususnya di wilayah-wilayah provinsi. Demokrasi memobilisasi mereka untuk masuk ke jajaran elite lokal menjadi para penguasa daerah. Dengan kata lain, politik provinsial sangat didominasi oleh para penguasa yang berasal dari kelas tengah ini.
Praktik politik kelas tengah yang menguasai sektor negara di tingkat lokal, memiliki tiga ciri penting: represif, klientelistik, dan korup. Klientelisme memang merupakan watak abadi dari semua jenis politik, tetapi khususnya dalam politik lokal Indonesia, kita bisa mencatat bahwa ciri ini bahkan makin berkembang karena tiga faktor struktural lainnya: rendahnya produktivitas ekonomi, tingginya kesenjangan sosial, dan besarnya risiko politik.
Kelas tengah yang menguasai instrumen-instrumen negara di tingkat lokal juga menjalankan patronase – khususnya menyangkut proyek-proyek pemerintah. Mereka memberikan proyek-proyek itu kepada para kliennya, dengan imbalan dukungan, termasuk untuk mendukung partai mereka.
Di pihak lain, mereka tidak tertarik untuk melayani tantangan rival-rival kelasnya dari bawah yang seringkali melakukan advokasi atas isu-isu tanah, buruh, hak asasi, dan anti-korupsi. Karena partai-partai politik tidak juga mewakili isu dan kepentingan kelas bawah yang dituntut oleh para rival ini, maka tidak ada kekhawatiran bahwa mereka akan bersekutu dengan kelas bawah. Kaum miskin, kaum marginal, korban-korban pelanggaran HAM, akhirnya tersingkir dari diskursus politik lokal. Inilah yang menjelaskan mengapa demokrasi patronase bersifat ekskusioner, eksklusif, dan partikularistik.
Ciri keempat, perebutan kekuasaan berkisar pada kekuasaan di tingkat birokrasi. Diam-diam atau terang-terangan, para aktor politik berlomba-lomba mencari akses ke birokrasi, setidaknya berusaha mengintervensinya, bahkan kalau perlu merebutnya. Di tingkat lokal, karena satu-satunya sumber kekuasaan politik dan ekonomi berasal dari birokrasi, maka percaturan politik berpusat pada perebutan kekuasaan birokrasi.
Para birokrat diam-diam menggenggam kekuatan riel dalam proses-proses politik pemerintahan. Bisa saja kekuasaan legislatif dikuasai oleh sebuah faksi politik yang dominan dalam proses parlementer, dan karena itu berhasil menguasai wilayah kekuasaan eksekutif.
Tapi jika mereka gagal bersekutu dengan para birokrat, maka agenda-agendanya pasti akan diboikot dengan berbagai praktik manipulatif. Lagi pula, para birokrat adalah para pemain ulung yang menguasai administrasi publik dan mekanisme kekuasaan pemerintahan sehari-hari. Kita juga tahu persis betapa korupnya praktik birokrasi Indonesia.
Perkawinan Patrimonial
Kekuasaan korup birokrasi Indonesia, termasuk di Temanggung, hampir-hampir tak tersentuh oleh perombakan reformasi. Para birokrat senior yang masih bercokol dalam struktur-struktur puncak kekuasaan birokrasi lokal sepenuhnya masih merupakan peninggalan Orde Baru.
Mereka mewarisi tradisi penyelenggaraan kekuasaan yang korup, otoritarian, dan manipulatif. Merekalah yang secara riel menjalankan pemerintahan lokal yang muncul dari praktik demokrasi patronase. Jadi, secara inheren, politik lokal, termasuk di Temanggung, memang merupakan perkawinan antara partai-partai patronal dan birokrasi patrimonial.
Pemerintahan Orde Baru di bawah Suharto sering dirujuk sebagai contoh populer pemerintahan birokratik patrimonial. Max Weber (1922) mendefinisikan pemerintahan birokratik patrimonial sebagai otoritas yang menyandarkan diri pada kekuasaan personal dan birokratik yang dijalankan oleh jajaran yang mirip dengan organisasi rumah-tangga sebuah kerajaan, di mana kekuasaanya bersifat mutlak, arbitrer, dan secara langsung berada di bawah kontrol sang penguasa yang juga menjadi patriarkh tertinggi, bapak segala bapak.
Watak patrimonialistik para birokrat adalah loyalitasnya yang mutlak pada patriarkh-nya. Weber juga menyebut jenis ekstrim patrimonialisme sebagai sultanisme, yaitu suatu jajaran pemerintahan tradisional yang dijalankan oleh aparat politik seperti abdi-dalem, budak, punggawa, atau kelompok-kelompok staf istana yang tidak memiliki basis kekuasaan yang independen. Mereka didominasi oleh sultan, tapi mendominasi kekuasaan di luar sultan.
Meskipun demokrasi begitu populer di tingkat lokal, tetapi sesungguhnya ia tidak berakar pada komitmen ideologis apapun. Politik demokrasi pada kenyataannya lebih merupakan praktik kompetisi di antara berbagai jaringan patron-klien.
Di tingkat lokal, politik demokrasi dijalankan oleh kelas yang sama, yakni kelas menengah. Kelas menengah birokratik menjalankan patrimonialisme, sementara kelas menengah politik menjalankan partai-partai. Mereka ketemu di arena negara lokal (baca: arena politik pemerintah daerah), memperebutkan sumber kekuasaan yang sama yang berusat di negara lokal.
Demikianlah, persenyawaan kimiawi politik antara partai-partai patronal dan birokrasi patrimonial menjadi sentral kehidupan politik lokal. Persekutuan dan perseteruan mereka persis berkisar pada bagaimana menguasai akses politik dan ekonomi yang bersumber di negara lokal itu.
Birokrat patrimonal memiliki kedudukan administratif yang strategis karena mengelola sumber-sumber kekuasaan itu secara langsung. Politisi patronal memiliki posisi strategis karena mampu menciptakan dan menjalankan kebijakan-kebijakan politik.
Tetapi sesungguhnya, kedua jenis kegiatan politik yang dikerjakan oleh kedua kelompok itu merupakan praktik politik yang penuh dengan multipolaritas dan ketiadaan kohesi. Satu-satunya bahasa yang mereka pakai untuk saling memahami adalah bagaimana memanfaatkan dan menguasai sepenuh-penuhnya sumber-sumber kekuasaan ekonomi dan politik di tingkat negara.
Perkawinan antara politik patronase yang dipraktikkan partai-partai dengan birokrasi yang patrimonialistik dan korup merupakan bentuk perkawinan untuk saling membela kepentingan. Partai-partai membutuhkan koneksi dengan orang-dalam-kekuasaan, sementara para birokrat memerlukan majikan yang perlu dilayani dan imbalan perlindungan untuk terus menjalankan korupsi. Hubungan perkawinan seperti ini sungguh amat penuh dengan kepentingan untuk menyelamatkan kekuasaan masing-masing.( Naskah ini pernah dimuat di Buletin Lokal Stanplat Temanggung edisi 27/April 2009)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H