Seminar Sehari “Kretek Dalam Perspektif Ekonomi, Politik dan Kebudayaan. Pelaksana Kegiatan Perkumpulan Independen Komunitas Temanggungan (PIKATAN). Dilaksanakan 1 April 2010 di Hotel Cemara Baru, Jl Wahid Hasyim 69 Jakarta Pusat. Narasumber yang hadir pada sesi pertama Drs H. Hasyim Afandi (Bupati Temanggung) dan Nur Suhud (Komisi IX (Bidang tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan, serta kesehatan) Moderator Faiz Manshur (Pengurus PIKATAN). Bupati Hasyim mempresentasikan makalah tentang kebijakan publik Pemda Temanggung berkaitan dengan masalah pertanian tembakau. Berbagai potensi tembakau yang dimiliki Temanggung menurutnya adalah anugrah Tuhan yang mesti dikelola secara baik. Sedangkan Nur Suhud mempresentasikan masalah-masalah berkaitan dengan subtansi dan kronologi lahirnya Rancangan Undang-Undang Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah tembakau. Nur suhud mensinyalir kuat adanya kepentingan asing yang mendominasi dalam rancangan ini dengan dalih isu kesehatan sehingga tidak ada solusi yang serius dari pemerintah untuk mempersoalkan dampak pasca penerapan RPP rokok.
Sesi kedua narasumber adalah Dr Mohamad Sobary (Budayawan) dan Salamudin Daeng dari Institute Global Justice (IGJ, Jakarta). Moderator Putut Trihusodo (Mantan Wapimred Majalah Gatra) dan Aktivis PIKATAN. Mohamad Sobary mempresentasikan analisa lain yang selama ini tidak dikemukakan kepada masyarakat tentang peranan rokok dalam dimensi sosial, ekonomi dan budaya. Sedangkan Salamudin Daeng menyoroti hubungan ekonomi-politik internasional terkait dengan masalah-masalah kebijakan negara, termasuk munculnya peraturan Pemerintah yang mengatur masalah rokok, tembakau dan cukai. http://pikatan.wordpress.com
==========================================================
Bupati Temanggung: Tembakau adalah Anugrah Tuhan.
Tingwe Ala Sobary
Lama tak muncul di peredaran, Budayawan Mohamad Sobary tiba-tiba membuat ulah lucu. Ceritanya, ia menjadi narasumber pada Seminar Kretek dalam Perspektif, Ekonomi, Politik dan Budaya (1/4/2010) yang diadakan oleh Komunitas Gerakan Lokal, Perkumpulan Independen Komunitas Temanggungan (PIKATAN) di hotel Cemara Baru, Jl Wahid Hasyim 69 Jakarta Pusat.
Sebelum masuk sesi acara sobari menunjukkan kepada peserta segepok peralatan sederhana membuat rokok linting, atau yang oleh orang-orang desa di Jawa disebut tingwe (linting-dewe: melinting sendiri). Setelah berhasil meramu tengwe, Mantan Direktur KantorBerita ANTARA itu lantas membawa hasil lintingannya ke depan peserta seminar dan menghisapnya. “Saya anti rokok, tapi rokok pabrik. Kesukaan saya merokok bikinan sendiri,” ujarnya kepada peserta.
Dalam seminar bersama narasumber, Drs Hasyim Afandi (Bupati Temanggung), Nur Suhud (Anggota Komisi IX DPR-RI dan Salamudin Daeng (Institute Global Justice) tersebut Sobari melihat rokok memiliki nilai sosial kemanusiaan, bahkan di dalamnya terkandung ritus kemanusiaan yang unik. Hubungan masyarakat dengan rokok tidak kurang mendalam dibanding hubungan yang bersifat psikologis. Secara sosial menurutnya, rokok menjadi sarana komunikasi, jembatan perkenalan dengan orang baru di dalam perjalanan kereta api, di dalam aneka acara macam perjamuan, di dalam rapat-rapat raksasa. Di sana masyarakat mudah saling bertukar rokok, untuk membuka perkenalan lebih jauh.
Kalau kita sudah saling mengenal dengan baik, rokok menjadi sejenis tali peneguh silaturahmi dan solidaritas sosial. Tapi rokok memiliki fungsi lebih dalam lagi. Secara spiritual, dalam ritus religi, rokok menjadi bagian dari kelengkapan sesaji. Mungkin syarat yang paling penting,” ujarnya.
Selain mengungkap masalah rokok dalam konteks sosial, Sobari juga melihat sisi sejarah hubungan rokok dengan masyarakat. Kisah klasik Rara Mendut dan warung rokoknya di pasar anyar (wilayah katumenggungan Wirogunan Yogyakarta jaman dulu memberi kesan yang romantis. Pada zaman Sultan Agung di Mataram, (1613-1645), rokok juga sudah menjadi jenis komoditi dan ada kesan warung rokok Rara Mendut sukses besar. “Ini terjadi karena merokok sudah menjadi kebiasaan mendarah daging di dalam masyarakat. Dalam lakon sejarah yang didramatisir itu terkesan bahwa demi rokok orang rela menjual lembu, atau barang apa saja. Ada kesan, rokok sudah menjadi candu,” jelasnya.
Ada juga cerita menarik dari Kang Sobari tentang Sastrawan Besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang pernah punya pengalaman sebagai pedagang rokok. “Pram merokok pada usia belasan tahun dan dia merasa tenang secara psikologis dengan rokok. Kita memang tidak tahu mengapa, tetapi dalam kaitannya dengan kerja karang mengarah, merokok memberi inspirasi dan meningkatkan daya kreatifitas. Tanpa merokok, Pram merasa buntu pikirannya,” jelasnya.
Tanpa bermaksud mengabaikan masalah kesehatan,kampanye internasional hidup sehat dan anti rokok yang akhir-akhir ini gencar disuarakan kalangan kesehatan dipertanyakan karena menurutnya terlalu berlebihan. “Mengapa tak lebih dipandang lebih mendesak kampanye nikmatnya kaya dan AS jadi contoh agar kita diberi kesempatan kaya?”
Pada hubugannya dengan fatwa haram rokok, Budayawan ini mempertegas pernyataan, “belum ada program yang lebih absurd daripada pemerkosaan agama agar tokoh-tokohnya mengharamkan rokok tapi tak mengharamkan strategi dagang yang tetap VOC minded. Penjajahan macam ini dari dulu lebih haram dibandinkan dengan rokok,” ujarnya lugas.(Nila)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H