Setahun sudah masyarakat dunia, khususnya Indonesia mengalami perubahan mobilitas sosial yang sangat signifikan dengan cara membatasi diri untuk tidak melakukan aktivitas diluar ruangan guna memutus rantai penyebaran virus COVID-19 agar tidak semakin menyebar luas. Di Indonesia sendiri, perkembangan virus COVID-19 semakin meluas dengan beragam jenis varian barunya yang mengharuskan masyarakat untuk mematuhi kebijakan baru pemerintah yaitu pemberlakuan kebijakan PPKM Mikro Darurat (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Selama pemberlakuan kebijakan pemerintah ini, seluruh masyarakat Indonesia disarankan untuk menghabiskan waktu dirumah agar tidak menambah klaster penyebaran virus COVID-19. Kebijakan baru ini terbilang lebih fleksibel dari pada kebijakan pemerintah RI sebelumnya yaitu kebijakan lockdown serta penutupan tempat kerja, tempat peribadatan, gedung sekolah, tempat wisata, serta pembatalan sejumlah rangkaian pertunjukan acara musik yang telah direncanakan sebelumnya.
Pada awal pandemi COVID-19 mulai menyebar di berbagai wilayah Indonesia, pemerintah menerapkan kebijakan ketat serta memperlakukan kebijakan baru mulai dari beribadah dari rumah, bekerja dari rumah (WFH), serta kebijakan untuk belajar dari rumah (SFH). Meskipun menimbulkan banyak dampak negatif dari adanya pandemi COVID-19 ini, pandemi COVID-19 dinilai membawa banyak dampak positif bagi keberlangsungan hidup umat manusia di masa yang akan datang seperti samakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk berlaku hidup bersih, meningkatnya kadar oksigen karenakan polusi yang mulai berkurang, dan juga lebih banyak waktu yang dapat digunakan untuk mempererat hubungan kekeluargaan seperti bermain dengan anggota keluarga lain yang jarang bertemu, berolahraga bersama, belajar memasak, serta mendengarkan musik atau menonton film bersama sanak keluarga.
Belakangan ini industri perfilman mengalami perubahan termasuk kemerosotan jumlah pendapatan bioskop dikarenakan keresahan dan kekhawatiran penonton dengan adanya penyebaran virus ini, sehingga mengharuskan produser film untuk memutar otak agar dapat merilis film yang telah dijadwalkan sebelumnya seperti melalui layanan siaran streaming berbayar HBO Max atau HBO Go, Disney + Hotstar, Viu, Amazon Prime Video, Iflix, Netflix, Vidio, HOOQ, We-TV serta aplikasi karya anak bangsa yang bernama Muvee dan Bioskop Online. Salah satu aplikasi layanan streaming film yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia di masa pandemi adalah Netflix, yang memiliki 208 juta pelanggan dari seluruh dunia terhitung 22 April 2021 (dikutip dari Liputan 6 com). Pada awal tahun 2020, BBC News.com telah menyampaikan bahwa terdapat peningkatan drastis hingga 30% pertambahan pengguna aktif terhitung dari tahun 2019 dikarenakan pembatasan aktivitas diluar rumah sehingga memunculkan hobi baru yaitu dengan menonton film.
Netflix memiliki beragam acara menarik dengan beragam genre seperti Action & Adventure, Anime, Children & Family, Classic, Komedi, Dokumenter, Drama, Horor, Music, Romantic, SCI-Fi & Fantasy, Sports, Thrillers, serta TV Shows dari seluruh penjuru dunia. Salah satu genre yang diminati oleh pengguna Netflix adalah genre dokumenter, yang merupakan film dokumentasi dari kejadian nyata yang pernah terjadi di masa lalu dan memberi banyak pelajaran terhadap baik buruknya perjalanan seseorang di masa lalu sehingga dapat memotivasi para penontonnya. Penulis kerap kali menonton dan menyukai beberapa film bergenre dokumenter ini seperti American Murder: The Family Next Door, why did you kill me?, Athlete A, The Great Hacks, Seaspiracy, Murder by the Coast, Born in Gaza serta Don't F**k with Cats: Hunting an Internet Killer yang mengisahkan tentang pembunuh cerdik yang berkeliaran di negara barat serta terobsesi untuk menjadi bintang terkenal dengan mewujudkan keseluruhan dari adegan dalam film Basic Instinct (1992).
Dalam genre ini, Netflix membagi lagi menjadi bagian seperti Biographical Documentaries yang biasanya dipadukan dengan acara live music seperti dalam film dokumenter musik yang berjudul HOMECOMING: A film by Beyonce pada tahun 2019 yang mengisahkan tentang perjuangan seorang diva bernama Beyonce yang akan tampil sebagai headline dalam sebuah acara musik besar Coachella pada tahun 2018. Selain HOMECOMING: A film by Beyonce, penulis juga menyukai film biographical dokumenter milik seorang rapper bernama Travis Scott berjudul Look Mom I Can Fly, Metallica: Some Kind of Monster, Miss Americana dan reputatuion Stadium Tour milik Taylor Swift, Who Shot the Sheriff? Yang mengisahkan tentang skema penembakan misterius seorang penyanyi Reggae ternama asal Jamaica Bob Marley, Gaga: Five Foot Two, tour dunia sweetener berjudul excuse me, I love you milik Ariana Grande serta In Wonder dan Live in Concert milik Shawn Mendes.
Dalam layanan streaming film milik Netflix tersebut, terdapat salah satu film bergenre dokumenter yang cocok ditonton untuk menemani waktu santai bersama keluarga. The Social Dilemma, merupakan salah satu film dokumenter yang cocok untuk ditonton bersama keluarga, terlebih bagi orang tua untuk selalu mengawasi anak-anaknya agar tidak terdampak oleh media sosial mereka. Dirilis pada tanggal 9 September 2020, dokumenter Netflix ini disutradarai oleh Jeff Orlowski dengan Larissa Rhodes sebagai Produsernya yang memadukan ilustrasi adegan yang mudah dicerna penontonnya dengan hasil wawancara dari mantan petinggi dan eksekutif perusahaan yang pernah bekerja dibalik layar pembuatan berbagai macam aplikasi media sosial maupun media komunikasi lain di era globalisasi seperti sekarang ini, yang menjelaskan sisi buruk dari adanya dampak dari penggunaan media sosial seperti maraknya peredaran informasi palsu yang tidak bisa dibendung, berkurangnya interaksi antar individu, kesehatan mental di usia anak-anak hingga remaja, kasus bullying yang berujung bunuh diri, serta hal-hal yang berbau fundamental dalam sebuah negara misalnya berhubungan dengan dampak politik suatu negara. Dan yang paling parah dan sering diabaikan oleh penggunanya adalah pengeksploitasian dan penggalian terhadap data-data penting dari para penggunanya melalui kebiasaan pengguna dalam melakukan kegiatan dalam berselancar di dunia maya.
Dalam film dokumenter berdurasi kurang lebih 94 menit ini juga menampilkan tentang kekhawatiran beberapa narasumber mengenai dampak berkepanjangan yang akan terjadi melalui aplikasi yang pernah mereka kembangkan tersebut. Salah satu perusahaan yang menjadi sorotan dalam film ini adalah aplikasi besutan Mark Zuckerberg yang bernama Facebook. Hal yang paling disorot dalam film ini adalah kejadian dimana pembantaian, pemerkosaan masal, serta pembakaran pemukiman etnis Muslim Rohingnya beredar luas sehingga menggiring opini negatif publik yang kemudian ditunggangi dengan propaganda manipulatif pemerintahan militer Myanmar terhadap kebenciannya kepada kaum Muslim yang menyebar dengan cepat melalui aplikasi Facebook.
Menurut Facebook, gambaran dari film dokumenter berjudul The Social Dilemma memberi persepsi yang berbanding terbalik dari kenyataan. Facebook juga menambahkan bahwa film dokumenter The Social Dilemma hanyalah menjadikan media sosial sebagai sasaran empuk untuk disalahkan bagi keseluruhan masalah sosial yang terjadi seperti sekarang ini. Balasan tersebut ditulis Facebook melalui keterangan resminya dan juga menyatakan bahwa sang pembuat film tidak mengikutsertakan pandangan berbeda dari pekerja yang masih aktif bekerja dibalik platform media sosial Facebook hingga saat ini. Namun sang pembuat film hanya mendengar kisah dari mantan pekerja yang telah memutuskan untuk hengkang dari perusahaan tersebut. Facebook juga mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan membantah tudingan terhadap penayangan film ini yang mana menyebutkan bahwa Facebook dengan sengaja memanipulasi penggunanya agar merasa kecanduan dan menstimulasi otak penggunanya agar lebih banyak menghabiskan waktu lebih lama untuk menggunakan media sosial. (mengutip dari Kompas.com)
Dalam hal ini penulis merasa sangat setuju dengan penggambaran yang ada dalam film The Social Dilemma dimana manusia lebih sering menghabiskan waktunya untuk berselancar di dunia maya, daripada berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Penulis menemui salah satu bagian terpenting dimana telah disebutkan oleh beberapa narasumber sebelumnya bahwa rata-rata dari platform yang sering digunakan tersebut seakan-akan berlomba untuk menarik minat perhatian para penggunanya agar dapat menghabiskan waktu yang berharga dengan mencari tahu hal-hal yang tidak berfaedah tersebut. Tidak jarang juga dampak tersebut memengaruhi penggunanya untuk melakukan hal-hal yang disenangi oleh publik sehingga mengakibatkan penggunanya kehilangan jati diri aslinya.
Seluruh kegiatan manusia di era globalisasi dan kemajuan teknologi seperti sekarang ini memang telah diatur oleh media sosial, sehingga banyak ditemukan kasus yang menjadikan media sosial sebagai tolak ukur kehidupan penggunanya dalam kehidupan nyata, seperti dalam sebuah cuplikan ilustrasi yang menggambarkan Isla sebagai tokoh termuda dalam film dokumenter tersebut yang mendapat pujian sekaligus cacian dari pengguna media sosial lainnya setelah memposting foto selfie menggunakan efek sehingga muncul dorongan kuat untuk melakukan hal terbaik lagi agar mendapatkan lebih banyak pujian serta merasa down setelah mendapat ejekan atau perundungan dari akun yang memposting komentar negatif "kuping gajah" tentang dirinya. Hal ini tentu sangat relevan jika dirasakan dalam kehidupan seperti sekarang ini dimana seseorang dengan mudahnya melakukan perundungan kepada pengguna media sosial lain meskipun tidak saling mengenal satu sama lain yang dilakukan atas dasar kesenangan belaka. Tidak sedikit juga kasus tentang perundungan yang berujung bunuh diri yang pernah terjadi di berbagai belahan dunia.
Di Indonesia sendiri, kasus perundungan ini telah banyak dialami oleh berbagai macam kalangan dengan beragam alasan seperti perbedaan ras, suku, agama, sifat iri terhadap pencapaian orang lain di media sosial, perbedaan pandangan mengenai sesuatu hingga perbedaan pendapat yang akhirnya menuai peperangan playing victim yang membawa fisik jika korban merasa dirinya telah tersudutkan oleh opininya sendiri karena banyak yang membela orang yang tengah dirundung tersebut atau si perundung merasa telah kehabisan kata-kata untuk membalasnya. Cyberbullying seperti ini sering terjadi di kalangan publik figur, selebgram maupun seleb lain yang telah dikenal oleh publik tentunya. Hal ini dikarenakan banyak hal, alasan yang paling umum dijumpai adalah karena tidak suka dengan gaya yang ditampilkan oleh publik figur tersebut, sehingga netizen membuat akun bodong untuk melakukan bullying terhadap publik figur yang tidak ia sukai. Alasan lain adalah munculnya rasa iri terhadap prestasi, pencapaian, serta ketenaran yang telah didapatkan oleh individu lainnya sehingga mengakibatkan kekesalan yang tak berujung oleh pelaku perundungan tersebut.