Sesuai pada kodratnya sebagai bank di Indonesia, bank syariah masih tergolong baru dan mungkin belum dikenal masyarakat luas. Embel-embel nama “syariah” menjadikan bank syariah menjadi tersendat didalam mengakselerasi kinerja mesin didalamnya. Hakikatnya, khalayak umum masih lebih memilih menabung di bank umum biasa yang memiliki banyak cabang dan berbagai kemudahan. Yang lebih penting dari kesemuanya ituadalah pandangan “Yang biasa digunakan orang adalah yang terbaik”.
Bukan menjadi hal biasa bagi suatu produk baru yang meluncur dipasaran, ditambah lagi produk baru tersebut tidak memiliki perbedaan jelas didalam pengaplikasian dan sosialisasi. Hipotesa otak manusia cenderung lebih memilih suatu produk yang berkelas yang high end dan kalau bisa, produk tersebut akan meningkatkan nilai prestige orang yang menggunakannya.
Sama halnya dengan bank, banyak serba-serbi yang membuat suatu bank laris manis bak pisang goreng. Yang didapati di masyarakat saat ini, istilah syariah terlalu berbau ke –arab-araban atau islami. Hal ini secara tidak langsung menimbulkan berbagai persepsi, yakni:
- Bank Syariah bukan bank bonafide karena sistem bank tersebut tidak berasal dan tidak diterapkan di negara maju
- Bank Syariah lebih mencerminkan suatu agama. Kalau boleh dibilang lebih mendeferensiasikan keragaman yang ada dimasyarakat yang dapat menimbulkan SARA.
- Pengelolaan Bank Syariah dianggap lebih sebagai personalisasi suatu agama dan hanya diperuntukkan untuk golongan tertentu
Ketiga persepsi awal yang didapatkan ketika seseorang mendengar nama bank syariah tersebut, menyebabkan matinya minat untuk lebih mengetahui lebih jauh tentang bank syariah. ”Pepatah mengatakan tak kenal maka tak sayang”. Tetapi bagaimana mau sayang kalau pada awalnya sudah enggan mengenal. Orang cenderung melihat sampul ketimbang isinya. Padahal yang terpenting adalah isinya. Isi dan prinsip pola kerja bank syariah cukup bagus, tetapi apa orang luar mampu melihatnya? Inilah yang akan menjadi suatu dilema.
Lalu bagaimana caranya?
Untuk memasyarakatkan bank syariah ada berbagai stratergi. Bank Syariah harus memiliki kemasan baru. Seperti layaknya kemasan instan dari suatu produk, bank syariahpun perlu membentuk image pasar terhadap keberadaannya.
Sebenarnya selain kinerja intermediasi yang mengaggumkan , perbankan syariah juga menunjukan prinsip kehati-hatian (prudential banking) yang lebih tinggi dibanding perbankan konvensional. Ini bisa terlihat dari jumlah pembiayaan yang relatif kecil.
Kemasan instan yang akan digagas untuk bank syariah ini adalah membentuk suatu bank baru dengan menonjolkan nama bank bukan menonjolkan kata ”syariah”. Istilah syariah mungkin tidak dimengerti oleh berbagai pihak oleh karena itu bukankah lebih baik menerapkan prinsip syariah dalam bentuk operasionalnya bukan dalam bentuk logo namanya. Basisnya memang perlu diberitahu tetapi jangan terlalu fokus pada kata ”Syariah”. Istilah Syariah bisa diperjelas dengan berbagai keterangan yang lebih bermanfaat dan dapat dimengerti.
Hal ini mengingat produk-produk syariah cenderung terbatas dikarenakan belum lengkapnya instrumen keuangan syariah.
Dalam hal sistem pembiayaan perlu dilakukan inovasi produk pembiayaan dengan skim yang menarik untuk menjaga agar tingkat bagi hasil yang ditawarkan tetap bersaing. Inovasi proses untuk efisiensi dapat dilakukan dengan cara menyederhanakan adopsi proses kredit bank konvensional untuk proses pembiayaan bank syariah.
Secara tidak sadar nasabah akan otomatis mengalami pengalaman bertransaksi perbankan secara syariah. Tentu saja mereka akan menerima berbagai kemudahan dan keuntungan yang mereka tidak dapatkan di bank konvensional. Selanjutnya peran viral marketing dari nasabah juga ikut membantu penambahan nasabah.
Karena bank syariah sudah berbasis hukum dan undang-undang menjamin kelangsungannya, maka tentu bukan hal yang sulit untuk melakukan tahap kedua, yakni mengubah kemasan produk yang ditawarkan (setelah tahap 1 mengubah kemasan bank). Tawarkan produk sesuai dengan perkembangan teknologi agar bisa bersaing dengan bank konvensional.
Semuanya itu perlu dilakukan sebagai 2 tahap awal dikarenakan ada kendala pada bank syariah, yaitu nasabah sendiri terdiri dari 2 jenis yaitu yang loyal menjalankan syariah tanpa memperdulikan bagi hasil dan golongan nasabahyang mempersoalkan berapa besaran persentase bagi hasil yang diberikan oleh bank syariah jika dibandingkan dengan besaran tingkat suku bunga yang ditawarkan oleh bank konvesional .
Masalah lainnya juga ditinjau dari jaringan, sosialisasi dan edukasi serta instrumen bank syariah yang keseluruhannya masih tergolong rendah. Investasi syariah tidak akan optimal tanpa promosi dan edukasi yang memadai tentang lembaga keuangan syariah. Berganti kemasan layaknya sebuah produk, sangat diperlukan dalam rangka menguasai pasar dan mengubah suatu image yang ada. Semuanya itu berujung pada harapan agar semakin banyak orang yang tahu tentang bank syariah dan semakin menyukainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H