Alhamdulillah, malam itu tidak ada gangguan. Sampai pagi, tidak ada satupun mahluk yang datang menemani saya. Cuman nyamuk dan semut aja yang menggigit badan bikin gatel.
Pagi cerah, matahari nakal mulai keluar dari sarangnya. Masak lagi, sarapan lagi dan nikmat lagi ….. Namun jujur, sepertinya itu adalah sarapan ternikmat yang pernah saya makan. Karena kalau biasanya sarapan bersama temen kemping, walau saya yang masak, biasanya ga berasa enak, karena merasa tidak ada perjuangannya.
Beres sarapan, badan seger, tapi belom mandi. Ah peduli amat, gak ada cewek ini, mau wangi ke… mau bau ke… sapa yang peduli. Beres-beres sebentar, berangkaaaat.
Seperti perjalanan sebelumnya, mendaki Gunung Sangga Buana, merupakan aktivitas yang sangat berat. Tiba di lereng gunung, menjelang dzuhur. Eh ketemu ama orang, duuh senengnya. Orang-orang tersebut adalah peziarah yang sudah duluan berada di atas.
Maksud dan tujuan mereka kembali ke lereng gunung adalah untuk mencari air untuk wudhu. Karena di atas gunung, tidak ada sumber air yang bisa diambil airnya. Selain wudhu, juga untuk mandi.
Saya pun mengikuti mereka ke arah sumber air, dengan maksud pengen mandi. Karena badan udah lengket dan wangi menyengat. Hingga tak ada satupun binatang hutan yang berani mendekat…. Hihi diri sendiri dihina.
Di perjalanan ketemu sama burung-burung yang lagi jalan-jalan. Ini mah bener-bener jalan, mungkin burung Puyuh.. tapi ngga tau juga burung apa itu, karena saya belum pernah dikasih tahu orang yang bagaimana burung puyuh tersebut.
Saya kejar-kejar, karena keliatan jinak. Kena?? Boro-boro, ternyata larinya kuenceng, kayaknya burung tersebut abis minum kratingdaeng apa torpedo hehe… gagal deh niat dapetin burung puyuh. Padahal lumayan tuh buat lauk, nanti di atas.
Tiba di sumber air, saya takjub. Karena melihat pohon-pohon yang sudah tua dan alami. Kalau anda nonton film Tarzan, ya seperti itulah gambarannya. Akar-akar pohon bergelantungan, yang bikin ngayal jadi si Tarzan.
Airnya jernih dan dingin, cuman ada lintahnya di bawah pancuran. Geli-geli gimana gituh ngelihat lintah, apalagih liat ada beberapa biji yang nempel di kaki. Kalo saya sih cuek aja, biarin aja lintah ngisep darah saya, gak bakal habis ini. Yang penting mandi….telanjang bebas hahaha…..eh jangan ngintip yah kamu pembaca.
Beres mandi, seger deh badan, berangkat lagi menuju tujuan akhir yaitu puncak gunung. Jarak dari pancuran ini ke puncak, kurang lebih menghabiskan waktu 1 jam. Lumayan kan! Lumayan capek. Makanya kalau nanti pembaca kesini, bawa botol/jerigen yang banyak buat persiapan.
Tiba di atas gunung sekitar jam 2 siang, walau tidak serame dulu, namun ada banyak orang datang berziarah. Cukup membuat hati tentram. Karena tidak terbayang bagaimana takutnya saya, kalau cuman sendirian di puncak gunung ini. Sumpah biar dibayarpun, ga mau saya tinggal di atas sendirian… kecuali… ya kecuali nih.. kalau bayarannya gede hahaha.
Malam tiba, suara-suara hutan yang sudah rame tambah rame saja. Hingga saya tidak perlu musik lagi, cukup mendengarkan simfoni alam yang tiada duanya. Tidak Mozart, tidak Bach, yang bisa menandinginya.
Saya tidur di musholla yang ada di gunung tersebut. Sedangkan peziarah lain, saya ga terlalu memperhatikan karena malam itu hujan turun. Mungkin mereka tidur di saung-saung yang ada kuburan di dalamnya, sambil meminta berkah sama penghuni kubur tersebut. Karena umumnya, peziarah yang datang ke seini adalah orang-orang musyrik.
Salah satu bukti dari kemusyrikan mereka adalah adanya rokok, uang recehan dan kelapa yang tergeletak di atas kuburan. Saya sendiri ga tahu buat apa mereka menyimpan barang-barang tersebut di atas kuburan. Pikir saya, ga ada kerjaan. Mendingan rokoknya diisep dan kelapanya diminum, kan mantep…
Hujan semakin lebat, puncak gunung gelap gulita. Terdengar geledek sambar menyambar sangat nyaring, hingga menambah suasana seram malam itu. Air hujan tampias masuk ke dalam musholla, karena musholla tidak mempunyai dinding kaca atau bambu. Hingga saya terpaksa, pindah-pindah terus hingga ke tengah-tengah musholla agar tidak kebasahan.
Sengsara, di sekeliling musholla basah. Hanya selonjoran badan saja yang tidak basah dan itupun mesti ngeringkelin badan. Maaa… dosa apa aku ini. Kesengsaraan ini ditambah dengan kejadian aneh yang saya lihat.
Saya lihat ada awan hitam deket saung kuburan terdekat datang menghampiri tempat saya tidur. Udah mah hujan, gelap, suara gledek yang bikin pekak telinga ditambah dengan kedatangan awan hitam yang bikin bulu kuduk merinding. Wadoooow…. Sial amat nih idup. Hiks hiks
Saya tutupin badan saya dengan sarung, ketika awan hitam tersebut semakin mendekat dan masuk ke mushollah. Segala macam do’a-do’a saya sebutkan, telinga saya tutup takut mendengar suara-suara ajaib. Ah pokoknya mah, saat itu kalo bisa kabur, pengen deh kabur secepatnya. Ato kalo bisa terbang, pengen deh terbang.
Alhamdulillah, walo ada kejadian serem, namun saya selamat juga sampai pagi. Terbangun dengan posisi badan masih seperti malam. Hiks hiks saking takutnya. Saya bahagia sekali, melihat matahari. Terasa seakan saya baru saja terlahir ke dunia ini.
Siangnya, saya ngobrol dengan seorang bapak-bapak. Saya tidak tahu namanya siapa, yang penting ngobrol. Dia ini orang hebat, gimana ga hebat. Selama 40 hari dia tidak tidur. Dan saya percaya, karena melihat matanya merah dan begitu sangat kelelahan. Luarbiasa apa gemblung yah nih orang. Ah peduli amat.
Dia bercerita tentang pesugihan. Katanya di puncak sebelah sana, ada tempat pesugihan ke siluman monyet. Wadow, nih cerita bikin menarik aja. Lanjut pak. Dia bilang ada sodaranya yang punya sawah cuman berapa petak, tapi kalo panen selalu tidak masuk akal. Karena hasilnya jauh diluar daya nalar.
Selidik punya selidik ternyata di pantatnya ada ekor, yaitu ekor monyet. Dan setelah diinterogasi oleh si Bapak tersebut, ternyata sodaranya itu sudah menjadi pengikut siluman alias nyugih.
Namun si Bapak tidak melanjutkan kisah akhir dari cerita dia tersebut. Gimana akhir dari si pesugih tersebut ngga ketauan. Namun dia menceritakan tentang adanya orang-orang yang datang sebelum ini. Orang-orang tersebut, menggedor-gedor pohon, dan banyak batu akik yang luruh dari pohon tersebut.
Hiks hiks cerita yang sulit dipercaya, tapi dengerin aja deh. Setelah dia cerita tentang kisah tadi, saya nanya sama dia, ngapain disini selama 40 hari. Dia cerita kalau sedang berusaha mengambil keris. Dia pun menunjukkan gundukan batu-batu yang katanya tempat keris tersebut. Weleh…weleh… cuman buat dapet keris, harus nyiksa diri selama itu. Sadar pak.
Malam itu datang, bintang-bintang terlihat jelas, gugusannya memanjang berserakan. Ada yang kerlap-kerlip seperti seorang wanita yang datang menggoga. Desau angin yang sejuk terasa nyaman di kulit. Saya duduk-duduk di atas bangku, di depan musholla.
Malam itu begitu romantis, walau penuh dengan keangkeran. Sebagai petualang sejati, tak perduli. Romantis dan seram adalah dua sisi kehidupan yang bagi orang seperti saya ini gak ada bedanya. Seram di tempat romantis atau romantis di tempat seram siapa peduli. Yang penting nikmatin….
Tiba-tiba dari arah bawah gunung, datang sinar berwarna merah terang sebesar buah rambutan terbang ke arah saya dan melintasi kepala. Saya terbengong. Apa yah yang barusan lewat? Kalo yang ini ngga bikin takut, tapi bikin penasaran. Gak seperti kejadian kemaren sama awan hitam. Saya menunggu ada lagi sinar seperti itu lewat, namun sayang, hingga saya berangkat tidur, tidak ada lagi peristiwa-peristiwa yang bikin penasaran lagi.
Besoknya, saya tanyakan kepada bapak yang kemaren. Karena arah terbang sinar itu mengarah ke tempat dia biasa nongkrong. Dan beliau jawab itu adalah keris. Hiks hiks percaya ga percaya… tapi itulah jawaban dia.
Ini baru 2 malam disini. Saya sudah mengalami pengalaman aneh, apalagih kalo lebih dari itu, kira-kira saya masih kuat ngga yah. Dan satu lagih cerita dari si Bapak, bahwa kalo kita lagi ‘kebetulan melihat’, kita bisa melihat ada batu hitam terbang keluar dari kuburan yang ada di dalam saung. Tapi hanya orang-orang tertentu katanya yang bisa lihat. Woooow….
Akhirnya saya pulang, walaupun masih betah. Betah-betah takut hehehe…..
Anda mau mencoba??
Cerita Sebelumnya
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2011/01/28/kisah-mistis-sangga-buana-1/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H