Mohon tunggu...
Bayu Segara
Bayu Segara Mohon Tunggu... Administrasi - Lihat di bawah.

Penulis saat ini tinggal di Garut. 0852-1379-5857 adalah nomor yang bisa dihubungi. Pernah bekerja di berbagai perusahaan dengan spesialis dibidang Layanan & Garansi. Sangat diharapkan jika ada tawaran kerja terkait bidang tersebut . Kunjungi juga blog saya di: https://bundelanilmu.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Citarumku yang Hitam

4 Mei 2011   05:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:05 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_107140" align="aligncenter" width="640" caption="Aktivis Greenpeace membentangkan bendera berisi tuntutan perbaikan lingkungan untuk Sungai Citarum, Selasa (3/5). Greenpeace resmi berkampanye untuk Sungai Citarum./Admin (KOMPAS/Didit Putra     Erlangga Rahardjo)"][/caption] Ketika pertama kali kaki ini menginjak kota Karawang, yang paling pertama masuk dalam memori otak saya adalah sungai Citarum. Tidak goyang Karawang, tidak Jaipongan ataupun julukan "Karawang Kota Padi" yang disematkan pada kota di utara Jawa Barat ini. Karena saya belum mengerti dan faham sedikitpun mengenai budaya, ekonomi ataupun sejarah waktu itu. Kebetulan rumah kami dekat dengan sungai ini, jaraknya kurang lebih seratus meter terhalang oleh pepohonan. Sungai yang begitu jernih, tempat mandi dan berenang. Sehingga kami tidak risih ataupun jijik untuk melakukannya pagi, siang dan sore hari. Tidak terlihat ada sampah plastik atau limbah yang ikut mengalir dengan sungai ini mendatangi tempat kami. Jika sore hari terlihat pemancing berdatangan dari seluruh penjuru kota untuk mengail ikan. Sungai ini menyediakan ikan yang lumayan banyak bagi mereka. Hal ini terbukti, jika bendungan Walahar dikuras, maka di pinggir sungai, akan kita dapati banyak ikan yang sudah tidak berdaya alias pada mabuk. Tradisi kuras Walahar ini biasanya dilakukan setahun sekali. Dan pelaksanaannya selalu dinanti oleh warga di sekitar Citarum. Apabila datang waktunya unutk menguras, warga kota di sekeliling Citarum yang sudah mendengar kabar bahwa bendungan Walahar akan dikuras, biasanya akan berjejer di pinggir sungai. Bersiap-siap dengan segala peralatan untuk menangkap ikan. Dan ketika sudah terlihat ikan yang mabuk mendekati pinggir sungai, maka dengan cepat mereka berlomba-lomba untuk mengambil ikan tersebut, bermodalkan sair, jala atau bagi yang pintar menangkap ikan, dengan menggunakan tangan kosong saja sudah cukup. Namun, kejadian ini sudah lama terjadi, beberapa tahun yang lalu. Sungai Citarum mulai berubah ketika jalan Toll Jakarta-Cikampek dibangun melewati kota Karawang. Akibat dari pembangunan jalan ini, Karawang menjadi salah satu kota industri di Jawa Barat. Pabrik-pabrik mulai berdiri menjejali kota ini dari ujung barat hingga ujung timur yaitu Cikampek sana. Menyebabkan sungai Citarum mulai kebagian imbasnya berupa sampah-sampah dan limbah industri. Ketika polusi mulai berinteraksi dengan Citarum. Kami mulai mandi dengan air bercampur minyak yang dibuang oleh industri ke sungai ini. Sebulan dua bulan kami masih bertahan untuk bermain dengan Citarum seperti biasanya. Namun lama-lama, ketika air mulai berubah warna dan ada bau menyengat yang menghampiri hidung, kami sudah tidak tahan lagi. Akhirnya, kamipun mulai enggan untuk mandi ataupun berenang di sungai ini. Perlahan-lahan kami melihat Citarum mulai rusak dari waktu ke waktu. Puncak dari pencemaran sungai Citarum ini terjadi kira-kira tahun 1996-1997. Air Citarum warnanya berubah menjadi Hitam!!! Saya sampai tidak habis pikir dengan keadaan ini. Sungai yang begitu lebar, tidak mampu menampung lagi limbah sehingga menghitam. Dan ini terjadi berbulan-bulan lamanya. Waktu itu saya hanya mengutuk pemerintah kota Karawang atas ketidakcakapannya. Kenapa saya katakan tidak cakap? Karena mereka tidak tanggap dengan kondisi yang akan terjadi dan sedang terjadi. Ketika mereka membuka keran industri masuk ke kota ini, seharusnya mereka sudah siap siaga dengan akibat yang timbul dari hal ini. Dengan menyiapkan sarana dan aturan-aturan yang melindungi alam khususnya sungai Citarum. Karena kebetulan kawasan industri di kota Karawang, lokasinya berdekatan dengan sungai ini. Dan ketika sungai ini sudah hitam, tidak terdengar ada teguran dari pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan keji ini yang menyebabkan Citarum menjadi sungai yang penuh limbah. Sehingga membuat kami begitu gusar dan berburuk sangka. Kami menganggap, pemerintah tidak perduli dengan keadaan sungai ini karena mulut mereka sudah ditutup dengan uang oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Ini yang terjadi di kota Karawang, coba bayangkan jika limbah itu ditambah dengan kota-kota yang dilalui oleh sungai ini, contohnya kota Bandung. Jika dari kota ini menumpahkan jutaan kubik limbah ke sungai ini lalu digabung dengan jutaan kubik dari kota Karawang. Maka, kejernihan dan kebersihan sungai ini hanya akan tinggal cerita atau legenda saja dikemudian hari. Citarum akan menjadi Ciliwung baru yang membelah kota Jakarta. Sungai yang penuh dengan sampah dan limbah. Dan jika sudah penuh sampah, hanya tinggal menunggu pendangkalan saja. Ketika pendangkalan terjadi, Karawang dipastikan akan menjadi salah satu kota yang disambangi banjir tiap tahunnya. Butuh waktu lama untuk memperbaiki Citarum. Ini bisa kita lihat dari kebiasaan masyarakat yang membuang sampah terakhir mereka ke sungai ini. Saya sudah biasa menyaksikan jika Citarum banjir, maka pepohonan di pinggir sungai akan penuh dengan plastik. Sedangkan  untuk mengatasi kebiasaan masyarakat agar tidak membuang sampah ke sungai butuh biaya yang besar dan penyuluhan yang sangat intensif. Saya pribadi, waktu itupun kebingungan. Bagaimana caranya membuang sampah ke tempat yang layak. Karena masyarakat di pinggir sungai Citarum tidak seperti masyarakat di Jakarta. Tempat mereka membuang sampah, ya sungai Citarum ini. Sedangkan orang Jakarta, mereka membuang sampah di tempat-tempat yang sudah disediakan. Yang nantinya akan diangkut oleh dinas kebersihan ke Tempat Pembuangan Akhir. Hanya tinggal kesadaran masyarakatnya saja. Karena tidak ada pembuangan sampah yang benar, kami warga di sekitar sungai Citarum dengan sangat terpaksa ikut membuang sampah ke pinggir sungai Citarum. Kebiasaan buruk ini dapat dicegah tentunya ada biaya yang harus dikeluarkan. Biaya tersebut untuk membangun pos-pos pembuangan sampah masyarakat di sekitar Citarum. Biaya mobil angkutan dari tempat pembuangan ini ke Tempat Pembuangan Akhir. Serta biaya untuk kampanye atau penyuluhan yang berkesinambungan tentang kebiasaan membuang sampah pada tempatnya terhadap masyarakat. Jika, tidak mulai dari sekarang untuk mengatasi masalah tersebut. Maka Citarumku, Citarummu dan Citarum kita, sulit untuk diselamatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun