Mohon tunggu...
peringatan zendrato
peringatan zendrato Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang penulis apa yang dirasa perlu ditulis

Suka Kesasar, Asal ada Teman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mencari Air Hingga Kedalaman 82 Meter

7 April 2019   16:38 Diperbarui: 7 April 2019   20:22 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kami ambil saja, kami saring dan masak sampai mendidih, baru kami minum." kata Yovita Bui, seorang ibu rumah tangga di Dusun Nanaeklot, Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu.

Saat musim hujan tiba, air di sumber mata air Wekiar itu menjadi keruh. Tetapi, mau bilang apa, warga pasrah saja pada bencana ini dan tetap membawa air dari sumber mata air ini ke rumah mereka masing-masing. Sampai sekarang air Wekiar itu keruh di saat hujan tiba.

Sambil mencuci pakaian, perempuan berumur 35 tahun itu sesekali menatap saya sambil tersenyum, kemudian kembali memperhatikan tumpukan pakaian.

Di pagi hari yang dingin, pori-pori kulit wajahnya berkeringat. Kedua tangannya dengan cepat menggosok pakaian kotor yang sudah direndamnya. Dia memanfaatkan air hujan yang ditampungnya di dalam drum bekas aspal.

Bagi perempuan berkulit hitam manis ini air hujan bukanlah untuk diminum, tetapi untuk mencuci dan sesekali digunakan untuk mandi.

Sedangkan air untuk diminum diambil-nya dari sumur bor di Dusun Adubitin dan juga dari mata air utama yang dinamai Wekiar. Mata air Wekiar ini berada di perbatasan Desa Tulakadi dengan Desa Silawan. Kata "Wekiar" adalah gabungan dari dua suku kata bahasa Tetun yaitu "We" yang artinya Air, dan "Kiar" yang artinya Pohon Kenari.

Dahulu, sumber mata air ini diberi nama mata air Wekiar karena mata air ini terdapat di tengah-tengah pohon-pohon kenari. Untuk melihat sumber mata air ini kita mesti berjalan kaki dari jalan utama sejauh 500 meter ke arah selatan dari Kampung Jokowi, sebuah kampung moderen yang dibuat atas instruksi Presiden Jokowi di daerah perbatasan. Tidak sulit untuk menemukannya, deretan rumah dengan seng berwarna biru akan segera tampak jika kita datang lewat jalur Haliwen dari kota Atambua.

Salah seorang tokoh adat yang juga mempelajari sejarah Silawan, Domi Wadan, mengatakan kepada saya bahwa mata air ini ditemukan di tahun 1958 oleh dua misionaris. Mereka adalah Pater Fransiskus Kransen dan Yohanes Deuling. Meski pada tahun yang sama sumber mata air Webanahi juga ditemukan, tetapi sumber mata air Wekiar ini menjadi sumber air utama bila air di sumber mata air lain berkurang atau kering.

"Dulu pernah kami kesulitan mendapat air, sebelum ada sumur bor di dusun sebelah, di saat musim hujan begini air di mata air Wekiar situ jadi keruh." ucap Yovita Bui. Dia kembali berdiri dari tempat duduknya merapihkan pakaian yang dia gantung di sebuah kayu di bawah atap teras rumahnya.

Lantai rumah tanah yang retak seakan menyatu dengan tetesan air dari beberapa helai baju yang telah dia cuci. Pagi itu hujan, pakaian tidak bisa dijemur di halaman rumah. Sementara anak kesayangannya yang sekarang kelas 3 SMP sesekali melihat keluar berharap hujan berhenti. Sekolah Menengah Pertama itu satu kilometer jauhnya dari rumah, dan perempuan remaja itu harus berjalan kaki agar bisa mengikuti uji coba Ujian Nasional jam 8 pagi.

Sumur Bor, Air Hilang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun