Di tengah malam Ramadhan yang menurut berbagai persangkaan orang bisa jadi merupakan salah satu malam turunnya ‘lailatul qadar’, dalam permenungan, tiba-tiba pikiran saya menggambarkan satu rangkain cerita sederhana dengan dua adegan. Pertama; Seorang bocah menghadap ayahnya, “Yah, aku ingin pergi ke kebun binatang!” Ayahnya tersenyum dengan membalas, “Apa yang ingin kamu lakukan di sana?” Si anak menjawab dengan antusias, “Banyak, Yah! Aku ingin melihat harimau, singa, buaya, gajah, jerapah, orang utan, beruang, macam-macam burung… Terus aku juga ingin jajanan, strawberry, manisan, gula-gula arumanis… dan jangan ketinggalan, Yah, yang banyak mainannya!” Si ayah tersenyum lebih lebar, “Oke kalau begitu, Ayah akan mencarikanmu sebuah kebun binatang yang lengkap untuk kita kunjungi!” Kedua; Seseorang menghadap Tuhan, “Ya Allah, masukkan aku ke sorga!” Allah tersenyum dan membalas, “Apa yang ingin kamu lakukan di sana?” Orang dimaksud terkesiap mencari-cari jawaban, dan saat itu --sampai saya menyelesaikan permenungan, ia tidak menemukannya…
/
Lalu saya membuka-buka Kitab dan membentuk visualisasi sorga dari keterangan-keterangannya:
Ada aneka pohon, yang daunnya hijau subur. Ada kurma, ada delima, dan buah-buahan lain, yang buahnya dapat dipetik dari dekat. Ada mata air yang memancar dan mengalir. Ada permadani sutera tempat rebahan dan bertelekan. Ada bidadari yang perawan, yang dipingit dari sentuhan jin dan manusia, yang pandangannya menunduk tanpa cela. Mungkin orang yang hadir dalam permenungan saya, menyukai sorga jenis ini. Tetapi dalam sekelebatan keberadaannya di pikiran saya, saya yakin, sementara ini, bukan sorga itu yang menggiurkannya. Dia beranjak dengan lebih berani lagi:
“Saya menginginkan sorga yang di dalamnya ALLAH ada!”
/
Sahabat, saya ingin berbicara dengan hikmah permenungan di atas. Jangankan dalam niatan di dalam kehidupan ini, ketika kita mengimajinasikan sorga saja, kerap kita mengabaikan Keberadaan NYA. Seolah-olah DIA bukanlah tujuan yang sesungguhnya dari kelahiran dan kematian kita. DIA kita kalahkan, bahkan oleh ciptaan-ciptaan NYA sendiri. Kita kalahkan DIA ketika kita bayi, ketika kita kecil, ketika kita remaja, ketika kita beranjak dewasa, ketika kita tua, ketika kita uzur. Kita kalahkan DIA di dunya. Kita kalahkan DIA di barzah. Kita kalahkan DIA di sorga. Untuk menyusun dan menapak kembali perjalanan memenangkan DIA dalam segala ruang waktu hidup matinya kita --yang sesungguhnya pada akhirnya merupakan jalan-jalan kemenangan penciptaan kita sendiri, saya persembahkan “30 perikop, yang awalnya saya beri judul serial ‘Ramadhan di Hati’” ini. Sebuah cinta memerlukan keteguhan, dan keteguhan memerlukan bara di hati yang terus menyala. Bara hati seorang pecinta adalah kerinduannya demi mengungkap keajaiban-keajaiban kecintaannya sendiri. Jika cinta tidak tampil sebagai mukjizat, maka itu bukanlah cinta. Cinta ‘mesti’ pada akhirnya membesarkan pribadi pecinta itu sendiri. Pun demikian, ALLAH adalah dzat yang membuka lebar tangan NYA, yang siap menghamburkan Cinta NYA habis-habisan, ketika kita memasrahkan diri menjatuhkan diri ke pelukan NYA. Kita tidak sedang sembarang jatuh dan sakit, kita sedang tumbuh dan dikuatkan. Melalui ‘Munajat Keintiman’ ini, akhirnya menjadilah dirimu yang tak terkirakan, karena Cinta ALLAH hanya dibatasi imajinasimu sendiri! //Catatan di atas adalah bagian pengantar dari free ebook "Munajat Keintiman" Peri Farouk. Free ebook bisa didownload di link berikut:
http://www.box.net/shared/puqr10pnav6i0rnmbkdu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H