[caption id="attachment_175030" align="aligncenter" width="300" caption="Peri Farouk Membuka Mata - Cover"] [/caption] Okelah, saya bersedia membuka buku ini dengan cerita bodoh rekaan saya… Seorang musafir berjalan berhari-hari membawa sebuah peti kecil mencari kekasihnya. Peti itu berbentuk kotak, terbuat dari kayu mahal dan berhias ukiran yang sangat indah dan teliti. Di suatu jalan sepi, ia dihadang kawanan perampok. "Serahkan barang-barang berharga yang kamu bawa!" Perintah si ketua rampok. "Maaf, saya tidak membawa apapun yang berharga, kecuali kotak ini!" Jawab si musafir. Kawanan rampok tidak percaya, lalu menggeledah si musafir. Tidak mendapatkan apapun, kemudian merebut kotak dari tangan si musafir. Lalu mengguncang-guncangkan isinya. Kosong! "Kamu isi apa peti ini?" Tanya si ketua rampok. "Tidak ada apapun yang berharga untuk orang lain!" Jawab si musafir. "Siapapun bisa merebut kotak itu dari tanganku, tapi hanya aku yang tahu betapa berharga sesuatu di dalamnya!" Lalu si rampok membuka, dan ternyata memang nihil, tidak ada apapun tampak di dalamnya. "Kalau kalian berjanji mengembalikan kepadaku," pinta si musafir, "Aku akan memberi tahu kalian rahasia tentang isi kotak ini!" Penasaran dan merasa tidak ada harganya, si ketua rampok mengembalikan peti itu, "Ya sudah, ambillah... Tapi apa rahasiamu itu?" Si musafir menerima kotak dengan hati-hati… "Isinya adalah ribuan ucapan kasih sayang dan kerinduan bagi kekasihku yang tengah hilang," ujar si musafir senang, "Setiap aku buka, aku ucapkan kata-kata cinta, kasih sayang dan kerinduanku ke dalamnya… khasanah cintaku dalam kotak itu bertambah-tambah, setiap saat!" Kawanan perampok tidak bisa menahan tawa mendengarnya, mereka tergelak sambil pergi, "Bodohnya!" Dalam hati musafir itu terbersit kata-kata: "LEBIH BODOH ORANG YANG MERINDUKAN KEKASIHNYA DAN TIDAK MENCARI JALAN APAPUN UNTUK MENYATAKANNYA!" Saya adalah sejenis musafir itu… Tulisan-tulisan pendek yang dirangkum menjadi buku “Peri Farouk Membuka Mata” saya tulis dua tahun terakhir ini, dan saya bagikan rutin melalui dinding Facebook dan Blackberry Messenger. Tahun-tahun menuliskan ini adalah tahun-tahun ujian terberat dimana segala sesuatu dan segala kejadian yang menimpa saya, seolah-olah membalik keadaan saya seratus delapan puluh derajat ke wilayah yang mungkin secara awam minus. Saya tidak persis mengetahui bagaimana semua bermula dan apa sebab-sebabnya, namun segala sesuatu dan segala kejadian seolah-olah sedang menghilangkan, mengurangkan, mengecilkan, menyempitkan dan merendahkan keberadaan saya sebagai sebuah pribadi. Saya tiba di titik nol… dan konyolnya merasa tanpa persiapan dan tanpa bekal… Saya adalah seorang musafir yang membawa peti kecil yang kosong… Sampai di sini, saya ingin pembaca tahu bahwa saya tidak menulis berbagai percikan Membuka Mata yang hampir semuanya menguatkan, gagah, membesarkan, melapangkan, meninggikan, anggun dan baik-baik itu, dalam keadaan kuat, gagah, besar, lapang, tinggi, anggun dan baik-baik saja. Saya menulisnya dalam keadaan nol: keadaan kehilangan, tertinggal, kurang, kecil, sesak dan kadang-kadang tanpa percaya diri. Tetapi ini ajaibnya… Setiap selesai menulis satu buah Membuka Mata, saya bermimpi dalam keadaan terbangun. Saya memeluk segala sesuatu yang baru tentang diri saya dan segala sesuatu yang saya inginkan ada untuk saya. Setiap hari saya hampir selalu menulis satu Membuka Mata, dan karena itu memancing saya bermimpi hampir setiap hari pula. Lalu tibalah pengungkapan. Ternyata, semakin jelas tampak, bahwa yang saya peluk bukanlah diri saya yang baru, melainkan diri saya yang terlupakan. Saya selama ini telah membangun diri saya lebih dari separuhnya tanpa sadar. Telak, karena yang saya bangun tanpa sadar itu berkenaan langsung dengan bagian dalam kehidupan saya. Mengejar-ngejar yang lain nun jauh di luar sana. Ketika mendapat sesuatu yang lain, gairah otentik hilang. Ketika mencapai sesuatu yang lain, jiwa yang jenuin tertinggal. Ketika memiliki sesuatu yang lain, hati yang hangat menjadi dingin. Ketika memperoleh yang lain, bakat pun terkubur. Saya adalah seorang musafir yang sempat setengah tegar setengah gemetar berhadapan dengan para perampok… Saya kemudian menjadi berterima kasih, karena saya sempat ‘hancur’. Ada kalimat yang mendukung. “Mengapa takut hancur? Melalui kehancuran, kita bisa membangun sesuatu dengan sama sekali baru!” Bukankah seni dari kehidupan adalah sementara menggenggam sementara melepaskan? Ketika kita menggenggam, kita merasa utuh. Dan ketika kita melepaskan, kita merasa hancur. Dan yang membuat kita merana sebenarnya hanya soal bersikap, kita membiasa tunduk dipermainkan perasaan kita sendiri. Sekarang waktunya mengambil sikap menang. Tidak memerlukan apapun sebenarnya. Dari pengalaman saya, yang harus selalu ada bagi kita ternyata sangat sederhana, yakni: “KATA-KATA TERBAIK YANG KITA UCAPKAN BAGI DIRI KITA SENDIRI.” Karena kata akan menjadi tindakan. Tindakan menjadi kebiasaan. Kebiasaan menjadi karakter. Karakter menjadi takdir. Memelihara kata yang baik untuk diri kita sendiri, adalah tidak lain membangun takdir yang baik. Saya adalah musafir yang setia senantiasa mengisikan kata-kata terbaik ke dalam sebuah peti kecil… Kata-kata terbaik itu saya beri nama Membuka Mata. Membuka Mata tidak lain merupakan pernyataan cinta saya kepada belahan jiwa saya. Dan ini lebih lucunya… Siapakah belahan jiwa kita? Ternyata belahan jiwa kita adalah diri kita di masa depan dalam keadaannya yang paling baik! Belahan jiwa saya adalah diri saya di masa depan dalam keadaannya yang paling baik! Itu… Sekarang giliran pembaca untuk menjadi musafir. Saya tidak memiliki hak ataupun kewajiban untuk merubah hidup siapapun. Saya hanya menitipkan peti kecil Membuka Mata ini untuk mengilhami. Dan tidak perlu khawatir, pada saat yang tepat di suatu tempat tertentu, peti kecil ini akan berbicara sendiri langsung, mengungkapkan keajaiban lahir batin pembaca yang bisa menjadi alat berubah ke arah manapun pembaca mau. Hanya perlu satu sirkuit yang pembaca harus siapkan, bisa serial bisa juga paralel, yakni: membuka mata, lapangkan dada dan besarkan hati. Saya telah mengalaminya… PS: Dapatkan buku 'Peri Farouk Membuka Mata' terbitan Gramedia Pustaka Utama di Gramedia Book Store Rp 65.000,- atau http://gramediaonline.com/moreinfo.cfm?Product_ID=770560
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H