Mohon tunggu...
Perhimpunan Pergerakan Indonesia
Perhimpunan Pergerakan Indonesia Mohon Tunggu... -

Salam Perjuangan!!! Bergerak Serentak untuk Indonesia Gemilang

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Dialog Pergerakan: TNI, Budaya Demokrasi & Pemilu 2014

5 Oktober 2013   21:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:57 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1380981811562946349

Salam Pergerakan. Berbicara mengenai hubungan antara militer dan sipil dalam konteks demokrasi tak akan ada habisnya. Namun yang layak diperhatikan adalah bagaimana mencari benang merah antara keduanya. Persaingan militer dan sipil dalam konteks politik menjadi isu utama mengingat konstalasi antara keduanya semakin memanas seiring semakin dekatnya proses pemilihan umum 2014. Bagaimanakah peran TNI dalam pemilu 2014 besok? Apakah tetap menjadi penonton atau menjadi pelaku, mengingat banyak jenderal-jendral militer yang kini mulai masuk ke ranah politik. Proses peralihan budaya komando menjadi budaya demokrasi menjadi titik poinnya. Suatu kajian yang harus diulas mengingat isu militer dewasa ini tidak banyak dibahas dibandingkan dengan isu ekonomi. Pengamat militer, Al Araf, menekankan pentingnya memikirkan konsep mengenai bagaimana membangun konstruksi militer di negara yang demokratis seperti Indonesia. Harus ada prasayarat yang tepat untuk meletakkan konstruksi militer ke dalam negara demokratis demi mencegah tumpang tindih fungsi. Contohnya, hari ini ada kondisi dimana militer bisa leluasa masuk di domain-domain yang notabene bukan domain mereka, seperti KPU & KPK. Ini akan menjadi hal yang berbahaya ketika masuknya militer ke domain yang bukan urusan mereka rentan disusupi oleh kepentingan penguasa.

Paradigma yang diciptakan militer hari ini adalah cipta kondisi. Jika kondisi yang diciptakan adalah kondisi positif, maka tidak akan ada masalah, sebaliknya ketika penguasa dfungsikan sebagai komandan tertinggi militer dan akhirnya memakai militer sebagai perpanjangan tangan, maka cipta kondisi yang dilahirkan justru akan mengancam stabilitas nasional. Bagaimana jadinya jika BIN hari ini diikutsertakan dalam kasus-kasus tertentu yang dikehendaki oleh penguasa? Bukankah teror yang nantinya akan tercipta dimasyarakat? . Memang tidak bisa dipungkiri jika militer juga ingin berkontestasi di bidang politik, namun harus diatur fungsi dan mekanismenya secara jelas. Pengamat politik Alfan Alfian ikut menegaskan jika hari ini terjadi gelombang besar perpindahan para milisi ke dunia politik. TNI bergerak cepat dan cerdas untuk masuk kembali ke ranah yang dulu pernah mereka kuasai di era Orde Baru. Maka untuk menekan arus besar perpindahan militer ke politik ini, Alfan secara tegas menekankan betapa pentingnya netralitas TNI hari ini dan ke depan. Netralitas TNI dalam konteks politik, utamanya pemilu tidak boleh hanya sebatas jargon belaka. Di Indonesia pola kutu loncat dari militer ke politik sangat perlu dikritisi. Banyaknya jendral masuk hanya beberapa selang setelah pensiun atau bahkan ketika belum pensiun mencerminkan relasi antara politik dan militer berjalan tanpa filter. Lebih lanjut, menurut Alfan perpindahan para jendral ini dikhawatirkan nantinya akan membawa budaya komando yang biasa diterapkan di dunia militer. Budaya komando ini dikhawatirkan akan merusak budaya demokrasi yang selama ini dibangun oleh kalangan sipil. Untuk itu, perlu ada jeda waktu bagi mereka untuk menyamakan atau mentransformasikan budaya mereka ke arah demokrasi.

Di kesempatan terpisah, mantan Jenderal TNI (Purn) Joko Santoso ikut menegaskan betapa pentingnya transformasi di tubuh TNI untuk meningkatkan stabilitas negara. Joko juga mendukung agar TNI tidak bertuan kepada siapa-siapa karena TNI adalah milik rakyat dan negara. Pengabdian untuk negara, bukan pengabdian untuk penguasa. Joko mencontohkan bagaimana di Cina para perwira militer tidak diperbolehkan untuk ke luar negeri agar mindset nasionalisme yang mereka bangun tidak tercampur oleh doktrin-doktrin yang diajarkan oleh luar. Dengan demikian pahan liberal yang diajarkan oleh pihak luar tidak ikut masuk ke dalam paradigma militer mereka, karena paham liberal dikhawatirkan sangat rentan untuk ditunggangi oleh para penguasa yang sudah melakukandeal-deal politik dengan pihak luar. Sehingga mungkin sudah seharusnya TNI bisa mencontoh apa yang diterapkan oleh militer Cina. Mengenai masalah demokrasi dengan TNI, Joko menilai jika tak ada salahnya kalangan militer ikut berpolitik, karena itu adalah perwujudan demokrasi hak warga negara. Joko juga menambahkan perlunya kontribusi yang nyata terhadap NKRI bagi para calon pemimpin bangsa. Tidak lucu jika nantinya Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang hanya lahir dari pencitraan di televisi belaka, karena itu pemimpin negara sudah selayaknya minimal pernah melakukan kewajiban bela negara seperti berperang. Negeri ini perlu pemimpin yang berani dan transformatif. Berani mempertahankan warga negara, berani mempertahankan batas wilayah dan berani untuk menjunjung tinggi kedaulatan dari ancaman negara-negara lain. Salam Pergerakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun