Mohon tunggu...
Jalu Perkasa
Jalu Perkasa Mohon Tunggu... wiraswasta -

selain penulis lepas bergerak pula di bidang Event Organizer - Talent Search. Hal yang paling disukai aadalah dunia hiburan dan seni.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

"Spirit" Lintas Budaya Banyuwangi

25 Desember 2013   18:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:30 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagai daerah dengan luas wilayah 5.800 km2 yang berjarak 239 km sebelah timur Surabaya, merupakan wilayah ujung paling timur jalur pantura serta titik paling timur jalur kereta api Pulau Jawa yaitu Stasiun Banyuwangi Baru; yang mempunyai potensi cukup besar dalam mengelola seni dan budaya lewat kemasan pariwisatanya. Wilayah yang dihuni berbagai suku diantaranya: Suku Using/Osing (“wong Blambangan”), Suku Madura, Suku Jawa, Suku Bali dan Suku Bugis.Dari berbagai suku yang hidup damai dan berdampingan itulah tumbuh budaya-budaya khas Banyuwangi. Dan Kabupaten Banyuwangi selain menjadi perlintasan dari Jawa ke Bali, juga merupakan daerah pertemuan berbagai jenis kebudayaan dari berbagai wilayah. Sebut saja budaya Jawa, Bali, Madura, Melayu, Eropa, Tionghoa dan budaya lokal yang saling mengisi dan akhirnya menjadi tipikal yang tidak ditemui di wilayah manapun di Pulau Jawa. Maka tidak heran kalau Banyuwangi adalah satu ikon budaya perlintasan berbagai budaya dan suku yang mempunyai potensi menjanjikan untuk kepentingan parawisata. Apalagi ditopang dengan pesta tahunan Banyuwangi yang rutin dilaksanakan di penghujung tahun dan pesta-pesta seromonial lainnya di berbagai daerah kecil tentunya, akan menambah daya pikat dan pelestarian yang semakin kental.

Sebagai wilayah yang saat ini selalu rajin dalam pencarian "jati diri' dalam mengelola potensi tatanan lokalnya, banyak motivasi yang telah dikembangkan, seperti  desa wisata yang menggali seni-budaya yang dihuni oleh masyarakat Osing yang terletak di daerah Kemiren-sekitar 15 menit perjalanan dari pusat kota Banyuwangi- dengan difasilitasi homestay bagi para wisatan, dengan rumah adat arsitektur khas Osing yang mencerminkan keramahan dan sikap egaliter. Ada juga Desa Wisata Kemiren, yang sedikitnya terdapat 32 acara budaya, 18 diantaranya pementasan kesenian.

Di antara kekayaan seni budaya Banyuwangi terdapat tradisi Ndog-ndogan, Penampan, Ider Bumi, Tari Gandrung Banyuwangi (penyambutan kedatangan tamu dalam acara-cara resmi, sekaligus lambang Kabupaten Banyuwangi), Angklung Paglak, Kendang Kempul, Tiban, Barong Kemiren, Seblang, Janger, Rengganis, Hadrah Kunthulan, Patrol, Mocopatan Pacul Goang, Jaranan Butho, Barong, Angklung Caruk, Angklung Tetak, Angklung Paglak, Angklung Blambangan Gedhogan, Batik, Kebo-keboan, Petik Laut, Jarah Goyang, Tari Punjari, Cengkir Gading, Kembang Pesisir dan lain sebagainya.

Adapula yang dilakukan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi dan Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh yang rutin menggelar tradisi Kebo-Keboan. Tradisi yang awalnya bertujuan untuk memohon datangnya hujan saat musim kemarau agar penduduk bisa bercocok tanam, ini bermula saat Dusun Krajan didera oleh masalah yang salah satunya adalah serbuan berbagai macam hama yang berimbas pada matinya tanaman (pagebluk). Seorang tokoh masyarakat bernama Buyut Karti mengadakan ritual dengan cara menirukan perilaku seekor kerbau yang sedang membajak sawah. Ritual tersebut berhasil mengusir hama dan menghasilkan panen yang melimpah. Sejak saat itulah ritual Kebo-Keboan dilakukan setiap tahun.Selain dipercaya dapat membawa berkah dan menolak bala, Tradisi Kebo-Keboan ini sarat akan nilai kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan religious. Tak heran jika Tradisi Kebo-Keboan masih dijalani hingga sekarang, sekaligus Ngleluri (memelihara) warisan nenek moyang.

Harus disadari bahwa Banyuwangi juga memiliki potensi sumber daya alam yang subur terhampar sangat indah dan sungguh kekayaan yang tak terkira. Akulturasi budaya (Banyuwangi-Bali) sungguh mencolok sejak zaman kerajaan Blambangan dan Macan Putih, sehingga memberi nuansa pada tata budaya Banyuwangi. Simbol Akulturasi budaya tersebut adalah bambu, sekalipun belum seoptimal Bali dalam pemanfaatannya, baik dalam aspek ekologis, ekonomi, seni, tradisi dan historis. Namun apa yang dilakukan pada sebuah diskusi budaya bambu sebagai embrio bagi festival bambu Nusantara yang digagas sejak tahun 2011(baca:Kemilau Budaya Gerbang Timur Festival Bambu Nusantara 2011) menjadi angin segar untuk terus berinovasi. Maka perlu dilakukan upaya mengangkat dan mengaktualisasikan kearifan budaya bambu dalam rangka merevitalisasi potensi bambu dan produk budaya berbasis bambu yang mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat. Ambil contoh  Angklung, Angklung khas Banyuwangi. Para pemainnya terdiri dari 12 sampai 14 orang. Instrumen musik terbuat dari bambu dan memiliki empat jenis pertunjukan yaitu, Angklung Caruk, Angklung Tetak, Angklung Paglak, dan Angklung Blambangan. yang bisa diangkat menjadi kegiatan seni budaya yang dikemas oleh pariwisata, tentu akan menghasilkan potensi keuntungan yang sangat besar bagi pelakunya maupuun bagi citra daerahnya sendiri.

Kini bambu bagi masyarakat Banyuwangi telah berperan dalam dinamika seni budaya. Musik angklung, patrol, kerajinan, killing, tulup, suling dan lain-lain adalah produk budaya yang telah mengantarkan Banyuwangi pada jajaran daerah yang berkategori memiliki lokal genius yang tinggi.

Gagasan ini menjadi pelajaran penting dalam meletakkan peta "kekuatan" Banyuwangi dalam mengolah kekayaan seni budaya sekalipun letaknya di ujung timur Pulau Jawa yang dekat dengan Bali. Potensi budaya Bambu inilah adalah salah satu garapan bidang pariwisata untuk memiliki peran strategis dalam menumbuhkan dan gairah kepariwisataan Jawa Timur.

Produk-produk kebudayaan di Banyuwangi yang dinamis, sedinamis tari gandrung, kegairahan kerja dan pekerja seni adalah kemilau warna budaya yang lekat di tanah kanvas kreatifitas yang telah memberikan kebahagiaan lahiriah dan makna hidup masyarakat Banyuwangi. Produk  budaya yang selama ini terhampar, dari presfektif estetika dan ekonomi perlu diaktualisasikan menjadi sebuah tontonan sekaligus mampu mengais dan mengumpulkan potensi itu menjadi prasasti titik awal peningkatan kegairahan kreatifitas dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pelaku seni.

MULTIKULTUR dan PENDIDIKAN BERKARAKTER

Sebagai julukan "The Sunrise of Java", "Kota Banteng" dan "Kota Pisang", maka tidak heran apabila Banyuwangi memiliki kekayaan seni budaya tradisional yang sangat luar biasa. Hal itu ditunjukkan dengan masih banyaknya ritual, aktivitas budaya dan upacara adat maupun event-event budaya yang dilaksanakan oleh masyarakat. Salah satunya HARJABA ( Hari Jadi Banyuwangi ) yang diperingati tiap tanggal 18 Desember. Suatu event budaya yang diharapkan mampu Ngleluri dan menjembatani modernisasi dengan seni budaya lokal yang selama ini tumbuh kembang dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi yang  berskala Internasional tanpa harus merubah nilai-nilai yang sudah berkembang dan tumbuh di dalam masyarakat baik spirit maupun filosofinya.

Hal ini tidak menutup kemungkinan banyaknya peminat turis asing atau mahasiswa asing yang ingin belajar maupun sebagai studi banding untuk mempelajari keanekaragaman seni budaya Banyuwangi. Terbukti, Banyuwangi dipilih sebagai satu dari empat kota di Indonesia yang menjadi tujuan bagi mahasiswa asing yang mendapat beasiswa Seni dan Budaya Indonesia (BSBI) dari Kementerian Luar Negeri RI untuk belajar seni, kultur dan budaya. Belasan mahasiswa yang berasal dari 12 negara datang ke Banyuwangi untuk mempelajari kebudayaan setempat. Antara lain Amerika Serikat, Polandia, Maroko, Kroasia, Yunani, Papua Nugini, Fiji, Australia, dan Filipina, dan sejumlah negara lainnya. Banyuwangi dipilih oleh Kementerian Luar Negeri sebagai tujuan belajar mahasiswa asing karena kekayaan seni-budayanya. Banyuwangi, yang identik dengan masyarakat Osing, mempunyai beragam produk seni-budaya yang telah mendunia, seperti Tari Gandrung dan Seblang (Jaringnews.com-13 Agustus 2013) Hingga nyanyian lagu-lagu klasik Osing  yang mulai dinyanyikan oleh warga asing sekalipun dengan logat "bule"nya yang kental.

PELASTARIAN SENI BUDAYA

Di satu sisi sangat senang lagu-lagu klasik Osing diapresiasi oleh warga asing. Disisi lain sungguh ironis apa yang terjadi terhadap warga lokalnya sendiri khususnya remaja yang memakai bahasa sehari-harinya dengan bahasa gaul jawa (baca:bahasa Jawul) bukan bahasa Osing. Sungguh sebuah ironis.

Padahal berbagai instansi pendidikan dalam melestarikan budayanya sendiri melalui moment penting kenegaraan (17 agustus) maupun event-event tahunan lokal sering bergulir. Namun esensinya masih belum kental di generasi muda, sebagai penerus sejarah kearifian lokal. Seperti Pawai Budaya di Banyuwangi merupakan pergelaran tahunan yang diadakan diberbagai tempat. Pawai Budaya biasanya dibagi menjadi beberapa kelompok antaranya tingkat Paud dan TK,SD, SMP,SMA,dan UMUM. Tingkat Paud dan Tk menampilkan anak-anak yang lugu dengan pakaian adat yang beragam. Tingkat SD pun masih sama dengan memamerkan aneka ragam budaya. Mulai dari SMP dan SMA pawai budaya sudah mulai kehilangan makna, pamer sensasi dan persaingan kreatif antar sekolah. Parahnya tingkat umum sudah benar-benar hilang makna. Bukan pawai budaya lagi melainkan gila sensasi. Hanya 20% instansi yang mengekspose budaya Banyuwangi contoh Jaranan, Kebo-Keboan, Gandrung ataupun pakaian adat Banyuwangi. Padahal masih banyak potensi budaya lokal yang harus diangkat dan dilestarikan.

Sungguh disayangkan pawai budaya disalahgunakan. Mirisnya lagi anak-anak kecil didandani bak seorang perempuan. Remaja perempuan berjoged dan mengumbar aurat sedangkan remaja lelaki tak malu berperan sebagai ibu-ibu hamil. Sangat meremehkan kemuliaan seorang perempuan. Seperti itukah karakter Banyuwangi? Urakan. Eksistensi dan mencari sensasi tanpa sedikit rasa malu.Memang penonton terhibur dengan adanya pawai budaya umum yang sering diadakan tiap tahun atau hari-hari tertentu. Namun hanya sekedar tertawa, menertawakan kebodohan yang mereka pamerkan tanpa ada eksistensi dalam menjaga kebudayaannya sendiri? Mengenalkan “ini loh Budaya Indonesia”  lebih susah dibandingkan dengan budaya pop yang terlanjur menggelobal bahkan mengkerucut pada tatanan nilai yang jauh dari budayanya sendiri begitu gampang terserap dan dicerna dengan baik dalam aktualisasi dunia global. Tidak hanya lewat serimonial belaka saja namun diperlukan pendidikan berkarakter melalui usia dini baik dalam pendidikan, sosial dan peningkatan event-event seni budaya baik tingkat regional, nasional maupun internasional yang melebitkan generasi muda sebagai tombak penerus dari esensi dan ciri khas budaya lokal itu sendiri yang dilestarikan selama berpuluh-puluh tahun oleh nenek moyang meraka.

Kunci keberhasilan dalam mengelola dan menjaga budaya lokal selain adalah jejaring akademisi/sekolah/perguruan tinggi sebagai intelektuaitas dalam mengajarkan dan menyebarkan "virus" pelestarian budaya secara teoritis dan detail hingga lembaga indiependent maupun instansi pemerintah sebagai payung, "promotor" dan penyokong dari aktivitas budaya lokal dalam mempromosikan daerah–daerah seni dan budaya khususnya. Dan masyarakat sebagai pelaku budaya adalah satu kesatuan yang saling menopang untuk menunjang pelestarian budaya tersebut menjadi lebih maju dan terarah. Pun demikian generasi muda Banyuwangi yang melanjutkan pendidikan di luar Banyuwangi berpotensi pula untuk menjadi agen-agen budaya mereka ke tingkat yang lebih nasional. Maka secara langsung dan tidak langsung generasi muda Banyuwangi telah ikut ambil alih dalam proses mempromosikan daerah wisata Banyuwangi. Inti dari semua itu diperlukandilibatkan generasi-generasi muda dalam melestarikan budayanya sendiri.Sangat mungkin jika hal-hal di atas diberlakukan secara lebih teratur tanpa harus menunggu ajang-ajang seremonial belaka.

Selamat untuk hari jadi Banyuwangi yang ke 242. Semoga kekuatan dan pelestarian budayanya menjadi penopang pariwisata yang menjanjikan hingga dapat memberi semangat bagi generasi muda dan motivasi bagi penggiat seni budaya disekitarnya.*JP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun