Judul Buku:Dan Brown a Biography
Penulis:Lisa Rogak
Penerbit: Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka)
Cetakan:Pertama, Juni 2014
Tebal:236 halaman
ISBN: 978-602-291-041-1
Dibesarkan dalam rumah di mana teka-teki dan kode menjadi cara bersenang-senang dalam permainan, Dan Brown kecil tak menyangka bahwa cara ayah ibunya mengatur perburuan harta karun pada pagi Natal akan sangat berpengaruh terhadap masa depannya. Terbukti pada novel-novel thrillernya yang kisahnya selalu berakar dari sejarah dan perkumpulan rahasia; dimulai dari Digital Fortress, Angels & Demons, Deception Point, The Da Vinci Code, The Lost Symbol, hingga Inferno, kode dan teka-teki dijadikan alur yang mampu menyeret kepenasaran pembaca, bahkan kemudian dimanfaatkannya pula sebagai cara promo yang menarik. Namun siapa sangka bahwa novelis pemilik ‘Pulau Langdonia’—tempat favorit dalam menulisnya—ini ternyata pernah juga berkarier sebagai seorang guru bahasa Inggris, penyanyi dan sekaligus pengarang lagu.
Dimulai ketika ia memutuskan menciptakan satu album yang berisi lagu-lagu tentang hewan untuk anak-anak yang mampu terjual beberapa ratus kopi atas bantuan beberapa toko di sekitar kota kecil Exeter, Brown menganggapnya sebagai pelajaran dan usaha pertama yang sukses. Tak tanggung-tanggung, ia pun kemudian melangkah lebih berani lagi dengan membentuk perusahaan rekaman berbiaya pribadi bernama Dalliancedengan Perspective sebagai album panjang pertamanya yang ditujukan untuk orang dewasa. Pada musim semi 1991 dia membulatkan tekad pindah ke LA dengan harapan bisa memanfaatkan album itu sebagai demo musik untuk disodorkan pada produser dan agen di Hollywood. Lalu dia pun menerima pekerjaan sebagai guru bahasa Spanyol di Beverly Hills Preparatory School dengan tujuan memperluas jaringan pertemanan. Karirnya dalam dunia musik perlahan mulai menanjak ketika ia bertemu dengan Blythe Newlon, direktur pengembangan artistik dalam National Academy of Songwriters (organisasi yang menawarkan dukungan moral, petunjuk mengenai teknik dan cara menjalani bisnis bagi para musisi pemula) yang senantiasa memberi tahu prosedur yang berlaku, memberi tahu beberapa petunjuk, dan menerjemahkan politik bisnis yang sering kali picik. Seperti takdir yang tersusun sempurna, sosok Blythe inilah yang dikemudian hari justru menjadi bagian penting, di mana istrinya itu menjadi periset utama atas semua materi novel-novelnya.
Biografi kecil ini menyorot peran Blythe dengan amat terang, sejak Brown menapaki karir bermusik hingga kemudian sadar diri bahwa ‘dunia belum siap menerima seorang pria culun berkulit pucat dan rambut mulai botak menggoyangkan bokongnya di TV nasional’ (hal. 59). Blythe pula yang menginspirasi Brown menggabungkan teka-teki, kode, dan sejarah seni. Mereka menemukan persamaan yang kuat dalam hal kekaguman terhadap karya Leonardo Da Vinci, hingga akhirnya dari kesadaran penuh dalam memilih tema, lahirlah karya kontroversial yang sangat mengejutkan jutaan orang di seluruh dunia. Penerbit menyadari bahwa kontroversi bisa menjual buku, dan mereka mengharapkan ada sosok nasional yang murka dan menelepon untuk meminta buku tersebut diboikot. Tentu saja, biasanya hal ini justru menjadi senjata makan tuan, menyebabkan penjualan meroket dan membuat penerbit juga penulis sangat bahagia. Namun siapa sangka jika respons kritis terhadap The Da Vinci Code ternyata jauh lebih berbisa dari dugaan semula; Brown dan novel keempatnya ini menjadi target makian gereja yang tak bisa ditandingi oleh penulis mana pun sepanjang sejarah penerbitan buku modern (hal. 18). Gugatan pun muncul dari para penulis yang merasa idenya tercuri oleh kelahiran Robert Langdon dalam thriller ini. Namun di sisi lain, ketika The Da Vinci Code telah menunjukkan kekuatannya untuk bertahan dan akan terus laku dalam jumlah yang lebih besar dari beberapa bulan pertama publikasi, buku-buku kritis yang berniat menguliti sekaligus numpang tenar pun bermunculan seperti jamur di musim penghujan.
Meski tak tersaji secara detail, sosok Dan Brown yang jarang memberikan wawancara ataupun muncul di hadapan publik ini cukup tergambarkan dengan matang. Melalui biografi tipis ini kita akan tahu perjalanan karakter sang novelis fenomenal itu, dari sejak ia menggebu-gebu ingin menjadi seperti Billy Joel namun kemudian berubah pikiran setelah tanpa sengaja menemukan ‘Doomsday Conspiracy’ karya Sidney Sheldon di sebuah pantai Tahiti (hal. 63). Benarkah ketenaran selamanya membawa kebahagiaan? Melalui buku ini kita kemudian akan tahu bahwa seorang novelis kadang bisa sampai amat membutuhkan sebuah ‘pulau terpencil’ dengan pagar setinggi dua meter dengan sistem keamanan supercanggih demi mendapatkan gairahnya kembali bercinta dengan imajinasi.*
Diresensi oleh Nur Hadi, penulis yang tinggal di Kalinyamatan, Jepara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H