Ketika manusia semakin beranjak dewasa, semakin banyak pula persoalan yang akan dihadapi. Terbesit sebuah kalimat yang dulu sering diucapkan oleh salah satu teman kuliah saya, Dalendra, “Hidup itu keras!”. Jika dipikir-pikir bukan hidup yang semakin keras, tapi manusia lah yang membuatnya seolah-olah menjadi suatu hal yang sulit untuk dilewati. Jika tanpa adanya proses berpikir mungkin kita sebagai manusia sering gegabah, melangkah ke sana kemari tanpa tujuan, berkata tanpa berpikir terlebih dahulu, menilai hanya dari satu sudut pandang, bahkan tidak ada yang namanya rasa kemanusiaan.
Dulu saat kita masih menduduki bangku sekolah kita juga jarang berpikir panjang ketika akan melakukan sesuatu, ya termasuk saya. Contoh umumnya adalah ketika adanya kasus bully-membully, itu termasuk dalam kategori kekerasan lho ya. Bully menurut kamus bahasa Indonesia memiliki arti perundungan, suatu perlakuan yang mengganggu, mengusik terus-menerus dan juga menyusahkan.
Di Inggris pernah dilakukan penelitian dari University of Warwick dan bekerja sama dengan Duke Medical Centre mengenai kasus tersebut dan hasilnya sungguh mencengangkan, orang-orang yang dibully di masa kecil dilaporkan cenderung lebih memiliki masalah mental pada masa dewasanya.
Saya pribadi sering menjumpai kejadian seperti itu, ada kepuasan tersendiri ketika membully orang lain meskipun dalam maksud hanya menggoda, tapi apakah kita sadar dampak apa yang dirasakan oleh korban bullying? Apa latar belakang korban membuat sesuatu hal yang tidak sama dengan kita sehingga menjadi perhatian para bullyer?.
Kita tidak pernah tau, yang kita tau kita hanya merasa senang, ya kan? Itulah contoh perilaku tanpa berpikir panjang dan sama sekali tidak menghiraukan cara berpikir orang lain. Padahal sejak menduduki bangku TK otak kita dituntut untuk bisa berpikir, apalagi ketika sudah menginjak bangku sekolah menengah atas yang seharusnya kita bisa berpikir lebih logis.
Beberapa hari yang lalu teman kuliah saya, Fifi juga mengangkat topik bullying di akun instagramnya @nooraisyiyahf dia memberikan contoh kasus Amanda Todd yang memutuskan untuk bunuh diri setelah mengunggah video di akun Youtube tentang curahan hatinya sebagai korban bullying. “Ngomongin bully mungkin semua korban ngga semua sadar kalo dia korban bully, ya mungkin yang ngebully cuma main belakang kalo ngga ya cuma ngata-ngatain doang. Sekarang coba kalo kamu jadi korban bully.”, begitu caption dari akun intagramnya. Dari sini kita bisa melihat bahwa kita memang diharuskan untuk belajar tidak menilai segala sesuatu dari sudut pandang kita sendiri dan mencoba untuk membuka mata tentang apa yang dialami oleh orang-orang di sekitar kita. “Tutup telinga, perlebar mata.”, seperti itulah kata Rahman.
Ternyata dunia perkuliahan bukan hanya sekedar kuliah, organisasi, pulang. Di sana kita banyak belajar dari pengalaman orang-orang yang bahkan kita sendiri tidak menyangka bisa dipertemukan dengan orang-orang baru dan luar biasa. Bahkan ketika kita berani untuk bergabung dengan komunitas yang notabene tidak hanya anak kuliah saja yang dapat kita temui. Secara tidak langsung kita mampu menantang diri kita sendiri untuk keluar dari zona nyaman.
Ada berbagai karakter yang bisa dikenali, cara berpikir yang berbeda-beda dan gaya hidup yang berbeda pula. Jika kita tidak lihai dalam memposisikan diri kita bisa jadi kita menjadi sosok yang terombang-ambing terutama ketika mengambil suatu keputusan. Bagi saya berkenalan bukan sekedar menjabat tangan lalu menyebutkan nama masing-masing, tapi bertukar informasi, pendapat dan meninggalkan pelajaran yang bisa dijadikan panutan itulah menurut saya perkenalan paling romantis.
Hal ini semakin membuat saya tersadar bahwa sebenarnya orang-orang yang mempunyai pemikiran berbeda dengan kita memiliki kebenaran yang belum kita temukan, dan secara tidak langsung kita harus belajar menempatkan diri kita sebagai mereka.
Tidak jarang saya menemukan hal-hal ganjil dari diri mereka, dan saya suka, itu artinya kita tidak seragam dan perbedaan-perbedaan inilah yang membuat kita bisa saling belajar mengenal dengan sepenuhnya, mempelajari tingkah laku, bertemu dengan karakter mereka yang tidak selalu sama meskipun dalam jangka waktu yang pendek, menemukan obsesi-obsesi baru ketika bertindak.
Mereka selalu berhasil membuat saya menjadi seorang pengamat. Mereka yang melakukan sesuatu hal yang berbeda dengan kita ternyata memiliki latar belakang tertentu, cara pandang dan segala kasus yang belum pernah kita alami, seperti trauma akibat domestic violence, gangguan kepribadian, obsesif kompulsif (over obsesi tehadap sesuatu), emosi yang mudah melunjak sehingga dengan mudah menggunakan kekerasan, anxiety disorder, atau tekanan batin akibat perlakuan yang berbeda dari lingkungan mereka.