Mohon tunggu...
Dewi Equino
Dewi Equino Mohon Tunggu... Jurnalis -

Jangan ragu di jalan yang benar. Mundur mati kafir

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hatta Rajasa, Apa Lagi yang Kau Cari di Politik?

10 Februari 2015   22:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:28 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14235566282042593185

[caption id="attachment_396034" align="aligncenter" width="477" caption="Hatta Rajasa, Apa Lagi Yang Kau Cari di Politik? (sumber foto :bisnis.com)"][/caption]

Saya tidak punya dendam pribadi dengan Hatta Rajasa. Dalam soal apapun. Kecuali saya jenuh melihatnya selama sekian periode mengulangi kegagalannya di pentas pemerintahan di republik ini. Lalu kali ini, ketika ia kembali ke pentas politik, sungguh itu menggelikan, karena ia nyaris tak memberikan ruang nafas, bagi regenerasi kader partai, dan juga memunculkan pelaku baru demokrasi di negeri ini. Jadi kasarnya, lu lagi lu lagi.

Ditangannya sebagai menteri perhubungan RI, ia meninggalkan sistem transportasi yang bermasalah. Di tangannya sebagai Menristek, tak ada inovasi prestisius yang dihasilkan, dan ditangannya sebagai Menteri kordinator Perekonomian, ekonomi kita semakin neolib. Hutang luar negeri meningkat, leberalisasi sektor perminyakan kian menggerogoti APBN, defisit neraca perdagangan menganga tiap tahun. Dan MP3EI yang bodong berakhir punah setelah lengsernya Hatta dari tampuk kekuasaan.

Oleh sebagian orang menganggap MP3EI itu sebagai karya/ide terbesar Hatta yang sering disebut mereka dengan Hattanomik, tapi pendapat ini perlu diuji secara akademik, bahwa apakah Hattanomik itu memiliki legal branding sebagai sebuah teori pembangunan? Atau Hattanomik adalah suatu cabang pengetahuan yang patut disebut Hattanomik? Atau justru terminologi Hattanomik sendiri tak punya legitimasi akademik. Klise ?

Dari sisi ekspektasi pembangunan, MP3EI ini menawarkan angin surga infrastruktur, terutama konektivitas yang mempersatukan koridor ekonomi berdasarkan klaster kawasan daerah. Namun dari sisi pembiayaan, MP3EI diserahkan ke tangan swasta dengan modal investasi. Saya lebih menyebut, konsep PM3EI ini sebagai liberaissai pembangunan infrastruktur.

Walhasil pasca Hatta, MP3EI tak berbebkas. Program MP3EI hanyalah pencitraan Hatta dan SBY, karena kesungguhannya tidak tercermin dalam suatu alas hukum (perundang undangan) yang kuat.

MP3EI hanya bermodal Perpres (Perpres Nomor 32 Thn 2011 tentang MP3EI), sehingga tidak memiliki payung hukum yang mumpuni berasarkan undang undang. Kareanya ia tak punya mata anggaran sendiri dalam struktur belanja pemerintah di APBN.

Disetiap pembahasan APBN, MP3EI hanya menjadi retorika pembangunan. Programnya tidak muncul di pos belanja APBN, tak punya mata anggaran. MP3EI hanya menjadi pemanis argument, bahwa “dalam rangka MP3EI” maka kami melakukan ini dan itu.

Jadi apa yang ditawarkan Hatta hanya ide kosong melompong. Lima kali Hatta jadi menteri, tak ada yang membekas, nama Hatta tak begitu manis di mata publik. Yang dilakukannya selama menjadi menteri adalah membangun kerajaan bisisnis diseputar perminyakan.

Namun perjalanan politiknya yang muncer itu, telah mengantarkannya sebagai calon wakil presiden pada pemilu 2014 dengan pasangan Prabowo-Hatta. Akhirnya Hatta kandas di puncak klimaks perjalanan politiknya. Dari dalam partainya (PAN), ia dibilang tak maksimal bekerja, dari luar PAN, ia dibilang tak mengangkat suara pasangan Prbowo-Hatta.

Kegeraman tim Prabowo-Hatta memuncak, ketika pasca Pilpres, Hattalah orang yang terburu-buru menyiapkan pidato kekalahan dan mengakui kemenangan Jokowi-JK. Hatta yang punya modal sebagai politisi flamboyant, diduga sedang bermain mata dengan Jokowi-JK. Dus, borok itu terbongkar, ketika Hatta dia-diam tertangkap kamera wartawan bertemu Jokowi di kediaman Surya Paloh. Singkat kata, diam-diam Hatta bermanuver murtad dari koalisi merah putih (KMP). Sangat mungkin, bila PAN masih di tangan Hatta, maka kedepan KMP akan kehilangan satu anggota koalisi, karena PAN berpindah dukungan ke koalisi KIH.

Perjalanan Hatta di PAN

Hatta memulai karirnya sebagai Sekjen PAN dimasa ketua Umum PAN Amien Rais. Berganti ke Sutrisno Bachir, Hatta tetap bertengger sebagai salah satu elit DPP PAN. Hingga ia terpilih sebagai ketua umum PAN. Sejak nimbrung di PAN, ia sudah mengecap manisnya kekuasaan. Dari sebagai ketua Fraksi PAN di DPR, sebagai Menristek, Mensesneg, Menhub, Menteri Kordinator perekonomian dan terakhir sebagai cawapres (gagal) mendampingi Prabowo.

PAN telah memberikan ruang yang luas baginya selama ± 20 tahun mengulum manisnya kekuasaan. Artinya, sudah cukup Hatta mendapatkan semuanya dari PAN. Baik dari sisi kekuasaan, harta dan kekayaan. Tapi terlepas dari itu, sebagai kader PAN, HR punya tugas berat mendorong proses regenerasi kepemimpinan partai. Terkecuali ia ingin tetap menggenggam kuasa di tangannya untuk tujuan-tujuan tertentu.

Maju kembalinya HR sebagai calon ketua umum PAN, menandakan HR tak peduli kaderisasi kepemimpinan partai. Nafsu berkuasanya terlalu besar, hingga menyumbat ruang sirkulasi bagi regenerasi kepemimpinan partai. Maka banyak kader yang menduga, kembalinya Hatta mencalonkan diri sebagai calon ketua umum PAN petahana, adalah dalam rangka menjadikan partai sebagai instrumen mengamankan kerajaan bisnis serta aset-asetnya. Petral yang saat ini dalam proses investigasi tim pengawas Jokowi, adalah ancaman bagi masa depan kerajaan bisnis HR di industri perminyakan. Tentu ihwal ini, tak lepas dari hubungan manis Hatta dengan Pemilik grup Global Energy Resource (GER), Muhammad Riza Chalid. Sampai di titik ini, Hatta benar-benar butuh suplemen politik, dalam rangka menghadang pemerintahan Jokowi yang sudah mulai mengendusbau busuk Petral.

Selama memimpin PAN, HR pernah sesumbar mendorong persentase perolehan suara PAN pada pemilu 2014 sebesar dua digit. Namun apa hasilnya? Perolehan suara PAN jauh dari dua digit pada pemilu 2014. Namun HR tetap mengklaim sukses karena PAN berhasil memperoleh 48 kursi di DPR-RI dari pemilu sebelumnya (2009) sebesar 46 kursi.

Alih-alih menganggap HR berhasil, kader PAN justru menertawai klaim Hatta itu, karena variabel yang digunakannya untuk mengkalim keberhasilannya tak begitu kuat dan terkesan tidak reliable dan tingkat kepercayaannya rendah. Pasalnya di pemilu 2009, jumlah partai yang ikut pemilu adalah 38 partai politik. Sementara pada pemilu 2014, jumlah partai kontestan pemilu cuma 12 partai politik.

Hatta menggunakan metodelogi pengukuran yang keliru untuk meng-compare tingkat keberhasilannya dengan pimpinan PAN sebelumnya (Amin Rais dan Sutrisno Bachir). Bagimana caranya ia meng-compare suatu objek keberhasilan dengan variabel yang beda nilai? Sementara ia mengukur objek yang sama, yaitu keberhasilan perolehan suara PAN? Metodelogi pengukur dari kampus mana yang dipakai Hatta? Atau dari teori siapa? Mungkin kiranyabelakngan Hatta sadar akan kekeliruan ini, ia akan minta maaf pada kader PAN terkait klaimnya itu. Jika tidak, ia pun agak susah dan blepotan mempertanggungjawabkannya.

Dengan demikian, klaim keberhasilan Hatta itu, oleh sebahagian kader PAN menganggap ia seakan mempertontonkan kegagalannya dengan klaim yang membabibuta. Dari sini pula kita tahu dan paham, bahwa Hatta sedang memaksakan kehendaknya untuk memimpin kembali memimpin partai. Lagi-lagi dengan begitu, kita kembali bertanya, Hatta, apa lagi yang kau cari di politik?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun