Bermula dari kabar burung yang dilontarkan bude dari suami bahwa berobat di RSUD Duri tidak dipungut biaya sesen pun, saya yang memang berniat mengecek kondisi kehamilan akhirnya mencoba untuk periksa di rumah sakit milik pemerintah di kota Duri ini.
Semula tidak terlintas untuk periksa kesana, karena stigma rumah sakit milik pemerintah biasanya lamban, antrinya banyak dan prosedur yang berbelit-belit. Namun dengan iming-iming kata gratis akhirnya saya pun tertarik juga (harap maklum, kaum ibu sangat tergoda dengan kata ajaib yang satu itu :D).
Terletak di kelurahan Air Jamban (nama kelurahannya ngeri booo), bangunan RSUD Duri lain dengan yang saya bayangkan sebelumnya. Bangunannya masih baru, bertingkat pula. Sempat heran juga karena di Jawa jarang ada RSUD sebagus ini. hehe..
Memasuki areal parkir motor, jumlah motor yang terparkir pun hanya ada sekitar tiga puluh sampai empat puluh buah saja. Sepi..
Kemudian saya masuk ke bagian pendaftaran. Adeem, ber AC boo.. Karena saya pertama kali berobat disitu, maka saya mengisi data pasien terlebih dahulu. Sepuluh menit kemudian saya dipanggil ke loket pendaftaran dan mendapat sebuah kartu berobat yang harus dibawa jika akan berobat kembali. Saya heran kok tidak ada tagihan biaya pendaftaran ya? Ah cuek aja lah. Mungkin pendaftarannya saja yang gratis, obat belum tentu kali.
Selanjutnya saya menuju poli kebidanan dan kandungan. Perjalanan dari loket pendaftaran hingga poli tersebut melewati sebuah lorong yang terang dan dingin. Woww,, bahkan lorong-lorong pun dingin karena AC. Sesampai di depan poli, saya lihat hanya ada lima orang saja yang mengantri di poli ini. Sambil duduk menunggu panggilan saya membaca name tag dokter spog dan bidan yang bertugas. Menurut keterangan ibu mertua, dokter2 dan bidan yang tertera pada name tag itu sudah senior dan berpengalaman di kota ini. Hmm... boleh juga ini rumah sakit pemerintah.
Tak lama kemudian saya masuk ruang periksa. Seperti ibu-ibu hamil yang lain, saya berkonsultasi dan bertanya ba bi bu.. Dokter pun menjelaskan ini itu.. Dan beliau memberi saya secarik kertas resep untuk ditebus ke apotik. Dan perjalanan pun dilanjutkan ke apotik.
Di apotik, antrian pasien agak lumayan banyak. jadi saya pun agak lama menunggu untuk mendapatkan obat. Tapi toh mengantrinya tidak terasa membosankan, karena saya bisa duduk di kursi antrian dan tidak kepanasan akibat AC yang berhembus. Saya mengamati ruangan ini dengan seksama. Tidak ada papan nama loket pembayaran obat. Masa iya? Mmmm... Mungkin ada di ruangan lain..
Dan ketika nama saya dipanggil, saya maju mengambil obat yang dimaksud. Apoteker menerangkan aturan minumnya. Dan selanjutnya ia hanya mengucapkan terimakasih, semoga lekas sembuh. Kemudian ia memanggil urutan pasien berikutnya.
Saya pulang dengan tidak percaya dan bersyukur. Ternyata benar-benar gratis. Terima kasih Ya Allah. Masih ada pemerintah yang peduli dengan kesehatan rakyatnya. Semoga ini bukan hanya program sementara saja tapi dapat berlangsung selamanya. Amiin...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H