Aku sedih mendengar sepotong kisahmu senja tadi. Aku begitu luka tapi aku bukan marah, sayang.
Aku tak pernah tahu bagaimana lanjutan kisahmu setelah kita pisah, kita berjarak, jauh. Kau sengaja meninggalkanku. Dan aku, tak pernah menemu jawaban pasti dari pencarianku. Ya, sebenarnya aku selalu ingin tahu tentangmu. Ingin mendengar kabarmu, bahwa kau baik-baik saja. Ingin melihat semangat terus menemani mimpi-mimpimu. Itu saja sudah cukup bagiku. Aku bahagia melihatmu masih di jalan yang sama. Tapi apakah kau memang masih di sana? Aku tak lagi pernah bisa memastikan. Kau, tak memberiku celah walau hanya sekedar mengungkap tanya.
Aku, kau, tak lagi seperti dulu. Kau berubah sayang. Aku memang tak lagi pernah tahu tentang rangkaian kisah hidupmu, tentang jalan cerita yang kau putuskan untuk membuatnya sendiri. Mungkin yang kulihat dan kudengar tak seperti nyata yang ada. Tapi aku pilu setiap mendengar rangkaian kata itu. Rangkaian kata yang kau modifikasi menjadi luka. Kadang aku menyerah dan kalah, aku luka dan ingin pergi sejauh-jauhnya dari hidupmu. Kau pasti tahu siapa aku, terlalu banyak “tapi” dalam rasaku, dalam otakku. Seperti “tapi” yang selalu aku munculkan setiap kali aku ingin pergi.
Aku begitu merindukan sosokmu yang teduh. Kau yang kau munculkan di hadapku bukanlah kau. Kata-kata yang kau rangkai di setiap telponmu bukanlah kau. Bukan hanya aku yang merindukan sosok itu, sayang. Semua yang dulu dekat denganmu pun rindu. Apakah kau memang telah bersepakat dengan dirimu untuk mengubah sikap? Apa itu untuk pembaikan masa depanmu? Juga untuk mengejar mimpi-mimpimu? Hanya kau yang tahu jawabnya. Tapi yang perlu kau tahu, kami rindu dengan sosokmu dahulu.
Kalau boleh memberi saran, tak perlu bersusah merangkai cerita hidup, sayang. Ada Allah yang akan mengaturnya. Jalani saja dengan baik. Jalani dengan hanya mengharap cinta dan ridho-Nya. Kekosongan itu, kekosongan yang tak mampu kuisi pun sahabatku. Apakah kau sudah menemu isi sebenarnya? Ketahuilah sayang, kekosongan itu hanya bisa diisi satu nama, Allah. Rasanya, aku ingin memelukmu, sekali lagi. Aku ingin menghapus air matamu, sekali lagi. Bercerita tentang mimpi-mimpi hebat kita, sekali lagi. Berbagi suka dan luka, sekali lagi. Tapi tak akan ada lagi, telah kuputuskan istiqomah di jalanku. Telah kuputuskan untuk mencintaiNya saja. Aku, andaikan bisa, aku ingin mencintaimu karenaNya. Aku hanya ingin kau cintai karenaNya. Jika tak lagi, akan tetap ada iringan doa dalam sujudku, untukmu.
Di batas senja kudengar lagi sepotong kisah itu. Rangkaian yang hilang dari pencarianku. Aku sedih, sayang. Piluku menyeruak memenuhi ubun-ubun. Sudah kubilang dan kau harus tahu, bukan hanya aku yang rindu, mereka juga sangat merindukanmu, sayang. Merindukan sosokmu yang dulu. Bukan..bukan karena kau tak lagi punya banyak waktu dengan mereka. Tapi karena candamu yang mulai layu. Jika ini jalan yang kau pilih, beritakanlah. Beritakan pada mereka yang menunggumu. Tak apa, jika kau tak ingin memberitakannya padaku. Jangan ragu, jangan merasa tak enak atau sungkan, karena kami memang selalu menunggu. Menunggumu bercerita kembali. Sejatinya kami akan selalu ada untuk mendukungmu.
Aku, mungkin tak lagi seperti dulu, di matamu. Tapi kau, aku akan selalu berusaha melihatmu dari sisi yang beda. Karena memang kau beda. Aku hanya bisa berpesan pada mereka, jangan pernah meninggalkanmu. Aku tak mau kau sendiri. Pikirkanlah, sayang.
Curhat Seorang Perempuan, padaku.
Makassar, Jumat, 12 Oktober 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H