Mohon tunggu...
Dikpa Sativa Padandi
Dikpa Sativa Padandi Mohon Tunggu... -

Dikpa, gadis kelahiran tanah Luwu yang sedang mengumpulkan serpihan-serpihan mimpinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jawaban Rindu

7 Januari 2013   22:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:24 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hari Rabu kedua Nopember. Rasanya, waktu satu minggu begitu cepat berlalu. Seperti baru kemarin Athifah melewati jalan ini. Aroma tanah basah yang menyeruak masuk ke dalam angkot Rabu lalu, masih lekat dalam ingatannya. Musim hujan belum pergi. Senja ini titik-titik air dari langit kembali merintik. Merenda dingin di pori-pori. Menyebabkan kantuk.

Senja menjingkat. Lampu-lampu kota mulai dinyalakan. Mulai memamerkan suasana malam. Hari Rabu, dan Athifah harus kembali pada rutinitas mengajarnya. Mengajar seorang anak SMP yang badannya lebih besar. Dalam angkot, Athifah melamun dan berusaha melawan kantuk. Juga beradu dengan rindu yang sudah berhari-hari menjajah. Entah pada siapa. Hanya ada jawaban kosong pada rindunya.

“Sudah sampai Mbak.” Suara supir angkot membuyarkan lamunan Athifah.

“Oh iya Pak. Terima kasih ya.” Athifah menyerahkan tiga lembar uang seribuan.

Athifah melangkahkan kaki. Pelan. Dia menikmati tetes-tetes hujan yang tersisa.Menikmati semilir angin yang membelai lembut wajahnya. Adzan maghrib mulai dikumandangkan. Hari Rabu dan mesjid ini lagi. Mesjid yang selalu jadi tempat istirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke rumah siswanya.

Mesjid yang sama, juga suasana yang sama. Hanya saja, kali ini Athifah berkesempatan shalat berjamaah. Jalanan tidak macet seperti biasa, dan ini sedikit menguntungkan. Akan ada waktu tambahan untuk berlama-lama menikmati indahnya lampu-lampu kota dari teras atas mesjid.

Shalat dimulai. Athifah merinding bukan main. Suara imam mesjid yang sangat merdu dengan tajwid yang pas, mengantar Athifah masuk ke dunia lain. Dosa-dosa berletikan di matanya. Menghentak hatinya. Entah dorongan dari mana, Athifah mulai terisak. Buliran air mata jatuh dalam shalatnya. Dan rindu itu, makin kuat membekap. Memenuhi seluruh rongga dalam hatinya. Menyesak dan membuat buliran air matanya menderas. Rindu itu, rindu yang berusaha diacuhkannya, adalah rindu pada Rabb-nya.

Shalat sudah usai, tapi tangisan Athifah belum juga berhenti. Air matanya masih jatuh satu-satu. Athifah melangkah ke teras mesjid, duduk memojok di sebuah bangku. Athifah meremas jemarinya. Berusaha menata hati yang begitu sesak dengan tayangan-tayangan masa lalu. Sesosok laki-laki muncul mengagetkan,

“kamu kenapa Fah? Menangisi dosa-dosamu?” laki-laki itu tertawa sinis. Dengan jelas dia mengejek Athifah.

“Ka…kamu? Kenapa kamu di sini? Apa maumu?” wajah Athifah memerah. Kenangan hina itu kembali menyesakkannya.

“Hahahaha…dasar perempuan berjilbab tak kenal Tuhan. Percuma kamu berjilbab Fah.” Laki-laki itu makin menjadi. Athifah terdiam. Ada sengatan yang menyakitkan. Sengatan kenangan itu lagi.

“Semua itu karenamu. Kamu yang menyebabkan semuanya terjadi. Kamu yang menyesatkan jalanku.” Setengah berteriak Athifah membela diri.

“Karena aku? Aku tak menyangka, perempuan berjilbab sepertimu bisa mengikuti keinginan bajingan sepertiku. Di mana Tuhanmu Fah? Kau letakkan di mana Dia? Bisa-bisanya kau mengabaikan larangan-Nya hanya karena manusia sepertiku.” Athifah merasa beku. Bibirnya kelu. Tak ada lagi kata-kata pembelaan. Athifah hanya mematung. Merutuki kesalahannya,

“ya, itu salahku, aku yang tak mampu menahan diri dari godaan bajingan sepertimu. Ya Allah itu salahku…hiks…hiks…hiks.” Kata-kata itu terdengar pelan dan berat. Athifah kembali mengurai air mata. Tubuhnya terasa lemas. Dan, sekelilingnya kembali sepi. Laki-laki itu menghilang, tak ada siapa-siapa.

“Apakah kamu sudah menunaikan janjimu, Nak?”

“Bapak?” entah dari mana munculnya suara itu. Athifah pening. Rasa bersalah menyiksanya. Janji untuk segera menyelesaikan kuliahnya. Janji untuk belajar sungguh-sungguh.Janji-janji yang harusnya sudah terpenuhi.

“Maafkan aku, Pak.” Athifah bergumam, sangat lirih. Isakannya makin menjadi.

“Sabarlah Nak. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Kembalilah memulai. Allah pasti membuka pintu ampunan-Nya.” Tak ada lagi suara Bapak. Suara itu berganti. Suara perempuan yang sangat dicintainya. Suara yang kini mendekapnya erat. Ibu.

Athifah berdiri, berbalik melangkahkan kaki ke dalam mesjid. Mengutarakan beribu doa dan keluh pada Sang Pencipta. Mengharap belas kasih dan ampunan. Tangisnya mulai reda. Ada rasa lega yang memenuhi seluruh tubuhnya.

“Ya Rabb, sungguh hamba merindukanMu. Hamba rindu kembali membaca ayat-ayatMu. Ampunilah hamba ya Rabb.” Athifah sempurna menyelesaikan tangisnya. Ada semangat hidup yang kembali diam-diam. Juga semangat untuk kembali menyulam mimpinya yang terlupa. Rabu, dan senja yang istimewa dengan jawaban rindunya. Athifah melukis seulas senyum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun