Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2045, pada tahun 2045, Indonesia menargetkan menjadi negara maju dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sekitar USD 7,4 triliun dan PDB per Kapita USD 23.199. Untuk mewujudkan target tersebut, Indonesia menargetkan keluar dari Middle Income Trap tahun 2036. Berbagai program dalam reformasi struktural melalui transisi dari perekonomian berbasis komoditas ke manufaktur bernilai tinggi berupaya terus dilakukan Pemerintah untuk mewujudkan target tersebut.Â
Upaya tersebut mendorong untuk dilakukan revitalisasi Industri di Indonesia, termasuk revitalisasi Industri Obat dan makanan agar mampu berkontribusi lebih besar terhadap PDB. Sesuai dengan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035, sektor Industri Pangan, Farmasi, Kosmetik dan Alat Kesehatan ditetapkan sebagai Industri prioritas sekaligus andalan dalam mendukung peningkatan ekonomi Indonesia dimana sektor Industri diharapkan mampu memberikan kontribusi sebesar 30% terhadap PDB Indonesia tahun 2035.
Target tersebut mengharuskan kebijakan pengawasan obat dan makanan yang menjadi kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak hanya berorientasi pada kesehatan masyarakat, tetapi juga dituntut untuk mempertimbangkan dampak terhadap peningkatan daya saing, dunia bisnis dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.Â
Hasil kajian Bappenas terkait Diagnosis Pertumbuhan Indonesia yang dilakukan tahun 2018 menyimpulkan perizinan di BPOM dinilai menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya bidang Industri Obat dan Kesehatan menjadi tantangan tersendiri bagi BPOM dalam menyusun kebijakan dan melaksanakan pengawasan obat dan makanan.Â
Restrukturisasi kebijakan dan regulasi Pengawasan Obat dan Makanan menuntut untuk segera dilakukan agar mampu mendukung pengembangan ekonomi dan bisnis di Indonesia. Kebijakan harus disusun dengan analisa kebutuhan yang tepat agar menghasilkan kebijakan yang tidak lagi menjadi penghambat dan beban ekonomi Indonesia di masa depan.
Dampak Ekonomi dan Bisnis Pengawasan Obat dan Makanan
Dari berbagai studi literatur, setidaknya diketahui bahwa pengawasan obat dan makanan secara langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap daya saing, perekonomian dan bisnis di Indonesia. Sesuai data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistisk (BPS), Industri Obat dan Makanan mampu memberikan kontribusi sebesar 13,35% terhadap PDB tahun 2019, terbesar dibanding sektor Industri pengolahan lainnya dimana ekonomi Indonesia mampu tumbuh 5,02.Â
UMKM Obat dan Makanan pada tahun 2015 juga mampu memberikan kontribusi sebesar 44,29% terhadap output sektor industri obat dan makanan, tertinggi sejak 2010. Industri Obat dan Makanan juga mampu menyerap 5.287.491 orang tenaga kerja, 89,73% diantaranya dikontribusikan oleh sub sektor Industri Makanan diluar tenaga kerja yang diserap kelompok UMKM Obat dan Makanan.
Dari tahun 2016 sampai dengan 2019, setidaknya sebanyak 54 ribu UMKM Pangan telah mendapatkan pembinaan oleh BPOM melalui pendampingan terkait Cara Pembuatan Pangan Olahan yang Baik (CPPOB) dan cara mendapatkan Nomor Izin Edar (NIE). Selain itu, komitmen dukungan terhadap UMKM melalui pemberian diskon biaya registrasi Obat dan Makanan sebesar 50% untuk pemohon dari kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) juga diharapkan memberikan dampak terhadap dorongan untuk pengembangan dan peningkatan daya saing UMKM Obat dan Makanan.
Kebijakan BPOM tentang informasi nilai gizi pada label pangan olahan berpotensi menghemat triliunan rupiah yang harus dikeluarkan untuk menangani penyakit diabetes di Indonesia.Â
Dengan prevalensi penderita diabetes mencapai 8,2% pada tahun 2018 berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan dan rata-rata biaya penanganan penderita diabetes mencapai 100 juta rupiah per orang sesuai dengan penelitian yang dilakukan Fitri dkk tahun 2015, perkiraan beban ekonomi akibat penyakit diabetes mencapai 2.000 triliun rupiah diluar biaya akibat penyakit degeneratif lainnya jika pencegahan penyakit diabetes tidak dilakukan dengan baik di Indonesia. Yang tarbaru adalah kebijakan BPOM mengeluarkan Emergency Use Authorization (EUA) vaksin untuk COVID-19 tahun 2021 berdampak pada perekodomian Indonesia, termasuk dampak terhadap harga saham industri farmasi di Indonesia.