Masalah utama yang tengah melilit perekonomian Indonesia salah satunya adalah bagaimana kita dapat keluar dari jeratan sistem ekonomi nasional yang tidak memberikan nilai tambah. Tiadanya nilai tambah tersebut disebabkan oleh kondisi yang tidak menguntungkan yang membuat Indonesia tidak dapat maju setara dengan negara-negara maju lainnya. Kondisi atau sumber pokok permasalahan tersebut adalah ketidakadilan sistem perekonomian negara maju lewat berbagai Multinational Company-nya dalam mengeksploitasi kekayaan alam kita. Kondisi tersebut dimanifestasikan melalui paradigma atau cara pandang semasa jaman kolonial dalam mengelola kekayaan alam kita seperti minyak dan gas alam dan mineral dan batu bara, misalnya. Tanpa perlu menganalisis terlalu dalampun, kita sudah dapat memprediksi bahwa posisi Indonesia selalu lemah dan dilemahkan secara sistematis oleh perusahaan pertambangan raksasa.
Paradigma kolonial yang kita anut tersebut memberikan situasi an sich bahwa bangsa dan kekayaan alamnya ini memang sepantasnya hanya menjadi subordinasi negara- negara barat saja. Sejarah kolonial menunjukkan bahwa penguasaan kapital ekonomi dan politik itu dilakukan melalui okupasi langsung. Pada umumnya melalui pendekatan (kekerasan) fisik dan atau militer. Sejarah mencatat sebagai “penjajahan”. Namun pada era kini, kapitalisasi ekonomi dan politik dilakukan melalui berbagai perjanjian dan kontrak yang membuat Indonesia tidak berdaya. Seolah-olah paradigma ketidakadilan tersebut sudah menjadi acuan standar dalam sistem perekonomian nasional.
Situasi tersebut diperparah dengan paradigma ekonomi dan politik kolonial lainnya yaitu negara industri maju berhak mengolah bahan mentah (komoditas) menjadi barang jadi (finish goods) siap pakai, sementara negara kita yang kaya akan sumber daya alam hanya menjadi pengekspor komoditas belaka. Dengan demikiankeuntungan ekonomi yang sangat besar dari nilai tambah sama sekali tidak dinikmati oleh bangsa kita. Selanjutnya kita menjadi pengimpor barang jadi siap pakai tersebut yang bahan baku (raw material)nya berasal dari alam kita sendiri dengan harga berlipat ganda. Maka apabila pola hubungan kontrak karya semacam ini terus dibiarkan akan sangat sulit bagi Indonesia untuk mencapai kesetaraan dengan negara-negara maju tersebut.
Atas dasar pemikirandi atas, maka sudah saatnya kita merumuskan langkah besar bahkan radikal namun strategis intergratif yang membutuhkan keberanian para pemimpinnya. Hal ini sangat krusial untuk segera dilakukan agar haluan nalar ekonomi politik kita tidak menjadikan potensinya menjadi subordinasi kepentingan para kapitalis belaka. Tanpa perubahan paradigma dan keberanian pemimpin maka jangan harap Indonesia menjadi negara yang mandiri. Mandiri yang dimaksud bukanlah dalam arti terpisah atau terkucil dari arsitektur ekonomi global atau tidak membutuhkan bangsa-bangsa lainnya. Sikap mandiri yang dikembangkan adalah sikap mental dan pola pikir bahwa kita sebagai bangsa yang besar dan kaya tidak boleh bergantung kepada bangsa maju sehingga hanya menjadi “cash cow” belaka.
Perdana Wahyu Santosa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H