Dalam banyak pemberitaan dan opini, termasuk di Kompasiana ini, ada topik atau tema yang mengerucut pada kenyataan, bahwa Ahok dan para pemujanya, sepertinya mulai ketar-ketir, khawatir. Serangan dan isu-isu sadis yang digulirkan untuk menghajar pihak lawan, sebagai indikasi kepanikan Ahokers karena tidak bisa “mengangkat” suara di ranah publik, setidaknya jika mengacu pada release hasil survei dari dua lembaga.
Boleh lah dikatakan kalau itu “pihak sana” yang punya kepentingan sehingga nilai elektabilitas Anies-Sandi “dinaikkan”, tapi sejauh ini lembaga survei-survei yang dekat dengan Ahok pun belum mengeluarkan hasil apa-apa. Apakah karena belum melakukan, atau karena hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Selain itu, sulit untuk mendongkrak lagi suara Ahok, ketika mau tidak mau, pemilih Islam saat ini mulai menyatukan pilihan.
Memilih berdasarkan agama tidak rasional dan tidak logis? Benarkah? Siapa yang bilang seperti itu? Teori dan undang-undang yang mana? Rasionalitas itu, selalu menjadi rubjektivitas, pada kondisi tertentu. Contoh, si A memilih putih yang katanya tidak rasional menurut B yang memilih kotak-kotak. Tapi si A memilih putih, karena si A rasional dengan pilihannya. Kalau tidak sama dengan rasionalitas yang dimiliki si B, si B pun tak berhak mendelegitimasi rasionalitas si A.
Karena kekhawatiran itulah, ada cara-cara tertentu yang dilakukan oleh Ahok cs. untuk mendongkrak elektabilitasnya melalui “blusukan”, atau yang oleh banyak orang dikatakan sebagai kampanye senyap (istilah yang digunakan karena kampanye tidak tampak, tanpa peliputan media, dan tidak ada pemberitahuan kepada KPU dan Bawaslu).
Kampanye senyap yang dilakukan oleh Ahok, dikatakan hanya sebatas kunjungan, yang tidak mesti harus selalu dilaporkan. Cuma sekedar mampir-mampir untuk menyapa dan menyalami warga. Baiklah kalau alibi yang digunakan demikian, tapi apa iya, Ahok tidak menyampaikan visi-misi dan keinginannya untuk melanjutkan apa yang telah dilakukan? Apakah ia hanya salaman dan sapa-sapa sebentar? Kalau ada yang curhat dan mengeluh lalu meminta solusi? Ahok pasti menjawab. Ia tidak diam! Apa jawabannya? Yang jelas tidak mungkin, “maaf, Bapak/Ibu, ini bukan waktu kampanye, saya dan tim tidak melaporkan kegiatan disini kepada KPU dan Bawaslu”. Jelas bukan itu!
Inilah yang kemudian dipermasalahkan oleh Bawaslu. Bahkan menurut M. Jufri, anggota Bawaslu, telah terjadi kampanye pasangan nomor urut 2 di dua tempat di Penjaringan. keduanya sama-sama jalan, tapi yang dilaporkan hanya satu tempat. Ternyata benar, pada putaran kedua ini diperlukan kampanye lagi karena pasti calon petahana akan semakin liar, terutama jika tidak ada aturan yang mengikat terkait kampanye dalam pemilu. Mengatakan “melakukan tugas” dan menunjukkan kerja, sambil “berjualan” untuk dipilih.
Kita bisa memahami, bahwa apa yang dilakukan oleh Ahok dan pemujanya, yang akhir-akhir ini mulai kehilangan rasionalitas yang dibanggakannya, adalah bagian dari kepanikan ketika suara rakyat di bawah tidak bisa lagi dirayu oleh program kerja, termasuk juga kampanye senyap (terminologi yang digunakan KompasTV/190417) atau kampanye "silent mode" yang sedang dijalankan Ahok.
Percaya atau tidak, kepanikan-kepanikan itu tak bisa lagi ditutupi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H