Mohon tunggu...
Putra Perdamaian
Putra Perdamaian Mohon Tunggu... -

Kemanusiaan yang adil dan beradab !

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Beberapa Alasan Menolak Ahok

1 Maret 2017   18:38 Diperbarui: 1 Maret 2017   18:56 1008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenapa pada perkembangan terakhir ada banyak orang yang begitu membenci Ahok, dan pada frekuensi tertentu menolaknya dengan tegas? Tulisan ini tidak untuk menjelaskan banyak hal yang sudah dijlentrehkan dengan mudah di banyak media, terutama kasus penistaan agama yang menimpanya, tapi hanya ingin memastikan melalui tulisan sederhana, yang mudah dipahami dengan sebegitunya. Tulisan ini juga untuk menyederhakan sosok Ahok yang sebenarnya tidak cukup jika hanya disederhanakan dengan tulisan ini.

Pertama, Ahok terbukti sebagai pemecah belah dan perusak kerukunan umat. Beberapa bulan terakhir kita disajikan pemandangan yang sama sekali tidak elok, tentang bagaimana integritas bangsa hampir saja tergadaikan hanya gara-gara satu orang bernama Ahok, yang oleh banyak orang (bahkan legitimasi NU dan Muhammadiyah) sudah menistakan agama. Jutaan orang meradang dan kondisi rakyat menjadi begitu menyedihkan. Ahok telah berhasil memecah belah kerukunan dan kedamaian umat beragama, ketika mengusik hal yang psling prinsip dalam agama Islam.

Kedua, penolakan terhadap Ahok lainnya adalah dugaan keterlibatan Ahok dalam beberapa kasus yang korupsi. Namanya disebut-sebut dalam lingkaran kasus korupsi Sumber Waras dan “main mata” dengan orang-orang di balik reklamasi. Anehnya, BPK sebagai lembaga negara yang kompeten dalam urusan pemeriksaan keuangan dan dalam banyak kasus selalu menjadi rujukan, bisa melakukan kesalahan audit untuk kasus Sumber Waras. Sebuah keanehan yang tidak dapat dijelaskan hingga sekarang. Banyak suara masyarakat yang menduga adanya hal yang “disembunyikan”, karena sosok Ahok sepertinya memang “diistimewakan”.

Ketiga, selalu menggunakan cara-cara yang menyakitkan, terutama bahasa yang sarkas dan arogansi melalui kebijakan-kebijakannya. Pembangunan yang diagung-agungkan, ternyata menyimpan banyak luka dan air mata di belakangnya. Banyak orang merasa kecewa ketika Ahok secara “sadis” dan sarkas memaki-maki orang yang dianggapnya salah di depan banyak orang, bahkan di depan media. Mulutnya tak ubahnya harimau, yang setiap saat bisa menerkam. Ahok gagal menyampaikan pesan yang menyejukkan dalam setiap kalimatnya. Ahok telah menjadi sosok menakutkan, yang karakternya menjadi contoh buruk bagi generasi penerus bangsa. Bahkan untuk kebenaran, menurutnya, ia tetap menggunakan cara yang kasar dan sarkas.

Keempat, dalam posisinya sebagai terdakwa sekarang, bahkan Ahok masih sempat-sempatnya untuk mengadu domba. Dulu, ia bersama timnya ingin mengundang dan mendatangkan ulama import untuk membelanya. Kita tidak bisa melihat itu dilaksanakan atau tidaknya, tapi bahwa ada niat untuk mengadu domba antara ulama Indonesia dengan ulama import, yang belum tentu paham kondisi sosio-kultural Indonesia.

Kelima, Jakarta membutuhkan gubernur tegas, tapi bukan sosok yang sarkas. Gubernur yang berprestasi, tapi tidak suka membenci. Gubernur yang bekerja, tapi tidak selalu curiga. Tegas tentu berbeda dengan sarkas yang tak bisa disederhanakan hanya dengan kata kasar. Sarkas adalah bentuk lain dari penistaan dan harga diri seseorang secara verbal. Bukan tugas gubernur yang berprestasi untuk membenci rakyatnya. Prestasi tak bisa berbanding lurus dengan sosok pembenci yang sering menyakitkan. Prestasi itu positif, sementara pembenci itu negatif. Mencurigai rakyatnya akan selalu berbuat negatif dan tidak jujur bukan kerja dari seorang gubernur. Gubernur bekerja untuk memastikan kesejahteraan, bukan mendahulukan curiga kepada warganya. Hal ini akan menjadi preseden buruk karena akan menciptakan suasana ketidak-nyamanan yang akut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun