“Kalau boleh saya katakan Malaysia adalah negara tanpa konsepsi ! dalam hal pertahanan berulang kali , Hei Inggris tolonglah kami, Hei Australi tolonglah kami, Hei New Zealand kalau kau betul betul anggota Commonwealth, tolonglah kepada kami..tolong, tolong, mana berdikarinya saudara saudara ? sama sekali tidak !”, Pidato Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno.
***
Jika kita mendengar pidato Bung Karno di atas tentu akan terbawa suasana, hanyut dalam episode awal kemerdekaan : antara konfrotasi dan klaim saudara serumpun. Namun tulisan ini tidak akan membahas konfrotasi dengan segala hingar bingarnya karena yang menjadi perhatian saya adalah kata : konsepsi
Sebegitu pentingkah konsepsi ? Sehingga founding father kita begitu membenci saudara kita di utara itu. Apakah konsepsi itu sendiri ? apakah itu sebuah hal keramat yang harus melandasi setiap tindak tanduk kita ?
Jika kita berjiwa muda atau sekiranya menaruh perhatian terhadap kehidupan kawula muda di indonesia, tentu kita bisa saksikan berapa kali muda mudi kita digempur ratusan budaya asing, budaya baru, yang menyebabkan mereka terkurung dalam aktivitas baru tanpa ada proses filterisasi budaya asli : band jepang, K-Pop, Drama Asia, Musik Underground, Rok Mini atau celana ketat
Apakah salah semua contoh di atas ? tidak bisa dibilang seperti itu. Yang harus dipertanyakan adalah apakah mereka mengikuti arus budaya baru tersebut berdasarkan konsepsi mereka sendiri atau hanya sekedar mengikuti pergaulan agar dibilang gaul, tau mode atau gak ketinggalan zaman.
Saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri, mendengar dengan gendang telinga saya sendiri, alasan-alasan tidak masuk akal -contohnya- dari beberapa fanatik artis-artis asia timur : dia ganteng, dia berwibawa, dia sexy, dia cute. Lalu mereka menghambakan diri mereka dengan mengkoleksi benda-benda yang mengingatkan mereka dengan para pujaannya itu. Waktu berjalan cepat, budaya baru datang lagi menyergap, pujaan mereka berganti, cara mereka berpakaian berubah, gaya bahasa berubah, cara berfikir berubah. Stop ! Apa saya benci berubahan ?! tidak! Sekali lagi tidak.
KONSEPSI ialah penting dalam menghadapi serbuan budaya asing. Sebuah konsep hidup kita tentang siapa kita, dari mana kita, dan untuk apa kita, kiranya perlu kita angkat kembali agar kita kembali tersadar dari tidur panjang. Apakah hidup kita ini murni diri kita atau hanya mengikuti mainstream perlu juga kita kontemplasikan setiap hari agar kita menjadi kita yang sejati, kita diri sendiri, bukan kita yang dibentuk oleh mesin budaya global, bukan kita yang dibentuk dari arahan para kapitalis budaya, namun kita yang dibentuk dari dalam diri kita sendiri dari lingkungan kita sendiri.
Kita adalah wakil dari daerah-daerah dan suku-suku di nusantara ini. Angkatlah cerita kejayaan nenek moyang kita, angkatlah keluhuran ajaran nenek moyang kita, integrasikan dengan kepercayaan atau agama yang sekarang kita anut lalu bingkai dalam rangka kebangsaan indonesia maka niscaya kita akan dapatkan konsepsi itu, sebuah konsepsi luhur, murni dan adiluhung.
Boleh kita belajar dari budaya asing, boleh, namun sebatas ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal-hal yang berkaitan dengan konsep hidup, idea, biarlah kita yang menentukannya sendiri. Sehingga istilah The World is Flat bisa kita bantah dengan konsepsi kita tersebut karena : Kita plural, kita beragam, kita beda.
Ferry Fadillah, tukang mikir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H