Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keadilan.
-Pramoedya Ananta Toer
Siapa yang tidak kenal dengan sosok beliau. Sketsa artistik biasanya menggambarkan sosok lelaki tua yang berwibawa dengan kaca mata tebal yang menandakan kepandaian. Walaupun beliau telah tiada namun kutipan dari roman Bumi Manusia di atas patut menjadi bahan renungan.
Saya bergabung dengan kompasiana hampir 6 tahun, terhitung sejak 12 November 2009. Dalam kurun waktu selama itu saya hanya menghasilkan 109 tulisan, yang tidak terlalu menarik, karena hanya dilihat oleh 37.186 pasang mata dan hanya 3 tulisan yang menjadi headline. Itu pun saya sudah lupa tulisan mana saja yang masuk headline, kalau tidak salah pertengahan tahun 2011, saat semangat saya menulis masih membabi buta.
Pada kesempatan ini, saya tidak akan membahas detil mengapa produktivitas saya menurun dari hari ke hari. Seperti keimanan yang berfluktuasi, saya kira, semangat menulis pun seperti itu. Namun, disela-sela semangat yang menurun saya selalu menyempatkan menulis di blog pribadi dan buku catatan yang saya selalu bawa kemana-mana.
Tulisan ini adalah wujud terimakasih saya kepada kompasiana. Blog rempugan yang berhasil mewujudkan demokratisasi informasi. Dari rakyat, untuk rakyat. Di dalam rumah bersama ini muncul ribuan orang dari latar belakang berbeda dan ide menulis yang beragam. Setiap harinya tulisan-tulisan diproduksi, diberi komentar dan menghasilkan tulisan-tulisan lain yang berkaitan satu sama lain. Sebuah dunia yang terbuka dan egaliter dimana penduduknya dengan gagah mengasah senjata intelegensi mereka.
Karena kompasiana, saya paham betul bagaimana menulis yang benar, merangkai ide dalam bentuk kata dan kalimat, membuat leading untuk beberapa tulisan dan memahami bahwa pemikiran kita harus siap dibenturkan dengan pemikiran kompasianer lain, karena kita hidup tidak sendiri.
Kompasiana, rumah ini, ibarat Athena, dimana sokrates berkeliling kepada kumpulan pemuda dan menyentil pemikiran-pemikiran mereka. Dan dalam mikroblog ini saya menemukan sokrates-sokrates itu. Dengan atau tanpa nama asli, yang berkeliling dari waktu ke waktu mengungkap kebenaran dan menyentil kemapanan.
Akhir kata, walaupun produktivitas saya menulis di kompasiana menurun, namun saya ucapkan sebesar-besarnya terimakasih atas jasa kompasiana. Kepada para founder, admin dan kompasainer lain. Dan, satu lagi, terimakasih juga kepada admin kompasiana yang telah melatih saya menulis secara langsung beberapa tahun lalu di bilangan Seminyak, Kuta, Bali.
Semoga kompasiana selalu di hati.
 Ferry Fadillah. September, 2015.