Oleh: Bambang Maryanto
Ketika menjelaskan mengenai demokrasi, Georges Burdeau, Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Sorbonne, Paris, Perancis, menyatakan bahwa wajah demokrasi ada dalam mimpi manusia. Ungkapan itu mengandung arti bahwa konsep demokrasi itu dimaknai sangat beraneka ragam tergantung konteks waktu dan tempatnya, kendati ciri-ciri dasarnya berlaku secara universal. Dalam bahasa yang sederhana, Abraham Lincoln mengatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi memiliki arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya karena dalam sistem demokrasi ada jaminan bagi masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara.
Dari berbagai indikator demokrasi, terdapat dua indikator yang terpenting yaitu adanya kekuasaan mayoritas dan pemilihan yang bebas dan jujur. Dalam konteks Indonesia, keduanya diperoleh melalui terselenggarakannya pemilihan umum yang LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan JURDIL (jujur dan adil). Banyak pengamat sependapat bahwa pemilihan langsung yang diselenggarakan semenjak tahun 2004 telah memenuhi kriteria di atas.
Apakah dengan begitu, pemilu tersebut bersih atau akuntabel? Nanti dulu.
Â
Ironi Pemilu 2004 dan Tantangan Pemilukada 2015
Kita tentu masih ingat bahwa penyelenggaraan pemilu di tahun 2004 ternyata menyisakan ironi bagi penyelenggaranya. Banyak penyelenggara pemilu pada saat itu harus berurusan dengan para penegak hukum dan dipenjara karena terlibat kasus korupsi. Kriteria penyelenggaraan pemilu yang sukses ternyata tidak melulu mengenai LUBER dan JURDIL, namun juga perlu ditambahkan kriteria akuntabilitas pengelolaan keuangan atau alih-alih terjadi kasus di atas. Dapat dikatakan, akuntabilitas ini juga memberi kredit tersendiri bagi penyelenggaraan pemilu yang LUBER dan JURDIL.
Di era pemilukada saat ini, kejadian di atas bukan tidak mungkin terulang kembali. Apalagi mengingat penyelenggaraannya dibiayai oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam bentuk dana hibah. Pengelolaan dana hibah yang tidak akuntabel akan berpotensi menurunkan kredibilitas penyelenggaraan pemilukada. Pada beberapa daerah di mana calon gubernur/bupati/walikotanya incumbent, hal ini dapat memicu kecurigaan money politics yang mendelegitimasi penyelenggaraan pemilukada itu sendiri atau bahkan menimbulkan kegaduhan politik dan keamanan. Kondisi ini tentu saja tidak diinginkan oleh semua pihak mengingat kehidupan bermasyarakat dan perkembangan ekonomi sangat bergantung pada stabilitas politik dan keamanan.
Dana hibah bagi penyelenggaraan pemilukada sejatinya merupakan amanat dari UU dan harus dikelola secara transparan dan akuntabel. Namun disadari, pengelolaannya perlu perlakuan khusus karena perbedaan entitas pengelola keuangan negara, yaitu pemerintah daerah selaku donor dan pemerintah pusat (kementerian/lembaga terkait) selaku penerima. Bagi pemerintah daerah dana tersebut on budget (masuk dalam APBD yang disetujui DPRD) dan on treasury (disalurkan dengan mekanisme pencairan yang baku). Sementara bagi pemerintah pusat dana hibah berupa uang dimaksud bersifat off budget dan off treasury, karena belum tercantum dalam APBN awal dan pencairannya tidak melalui Kuasa BUN.
Legitimasi Treasury: 3 R + 1 P
Untuk mengatasi permasalahan akuntabilitas dimaksud, Kementerian Keuangan mengeluarkan peraturan nomor 191/PMK.05/2011 yang mengatur mekanisme pengelolaan hibah. Dalam peraturan ini tertuang proses akuntabilitas agar hibah langsung dapat dipertanggungjawabkan kepada DPR pada akhir tahun. Inilah yang disebut dengan legitimasi treasury.