Oleh: Marfian Rizky Ersanta, Pegawai On the Job Training di KPPN Surabaya II
 [caption caption="OJT Ditjen Perbendaharaan"][/caption]
"Masnya kerja dimana?" Tanya seorang Bapak di angkot, menuju Stasiun Gubeng.
"Di Ditjen Perbendaharaan" bapak itu hanya berkerenyit.
"Kementerian Keuangan pak." Imbuh saya.
"ooh, Pajak ya mas" Saut bapaknya sambil manggut-manggut.
Saya tersenyum.
"Ya, temannya lah pak. Kalau Pajak kan yang cari duit, kalau kami yang ngeluarin duitnya, nyalurin APBN" Saya beri penjelasan dan bapak tersebut manggut-manggut lagi.
Pertanyaan dan anggapan tersebut sering menghiasi obrolan saya dengan orang-orang asing, teman, tetangga, juga keluarga saya. Saya maklum bila orang-orang kurang mengenal Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Ditjen PBN / DJPB). Bahkan saya yang tiga tahun di sekolah kedinasan Kemenkeu, STAN, baru mengenal dan paham tugas fungsi DJPB setelah lulus, menjelang memilih instansi penempatan.
Saat memilih instansi penempatan, yang menjadi favorit tentu adalah Ditjen Pajak dan Bea Cukai. Namun saat itu saya kurang berminat dengan dua instansi yang sudah kondang tersebut. Tapi bukan berarti saya memilih DJPB. Saat itu saya memilih instansi yang hanya ada di Jakarta, alias tidak memiliki kantor vertikal di pelosok-pelosok Bumi Pertiwi. Tuhan berkata lain, maka jadilah DJPB instansi yang dipilihkan takdir untuk saya.
Saat itu memang teman-teman saya banyak yang menghindari instansi DJPB. Mungkin karena stereotype-nya yang penempatan pelosok-pelosok dan juga kalah "famous" bila dibanding instansi lain. Insting pembelaan saya pun muncul. Saya cari tahu apa itu Ditjen PBN atau DJPB dan berkah Tuhan yang seperti apa yang saya terima. Sampai saya menemukan sebuah lelucon arti singkatan DJPB yang menarik.