Dengan berjinjit kaki perlahan-lahan, agar Ibu tidak terganggu dengan kehadiranku. Kutemui Ibu di kamarnya. Kulihat Ibu sedang meratap. Ibu menangisi cerminnya yang pecah seribu.
"Le, cermin Ibu pecah!" kata Ibu saat aku sudah mendekat.
"Ya sudah Ibu ndak usah dipikirkan," hiburku.
Aku melihat Ibu masih tersedu-sedu.
"Tapi itu cermin mendiang dari Ayahmu. Karena cermin itu Ibu selalu merawat kecantikan Ibu sampai sekarang. Kamu lihat sendirikan Le walau diusia Ibu sudah kepala 4 masih tetap cantikkan..."
Aku hanya tersenyum bias.
Aku kembali mengatur nafas. Kulakukan agar aku bisa berucap dengan tertata rapi agar kali ini perkataanku tidak melukai Ibu yang saat itu hatinya sedang duka. Cerminnya pecah tanpa sengaja saat mengambil kebaya lurik untuk kondangan saat itu.
Kutatap Ibu. Kudekatkan hati ini dengan Ibu.
"Ibu bagiku wanita paling cantik sedunia. Tanpa cermin itu Ibu tetap cantik. Sebab Ayah menikahi Ibu bukan karena cantik paras tapi cantik yang ada di sini...!" Ujarku sambil kutunjukkan hatiku agar memaknai sebuah kecantikan sesungguhnya.
"Cantik itu di sini, Ibu!" ucapku sekali lagi.
Ajaib. Saat itu Ibu kembali tersenyum. Ibu tidak lagi memikirkan cerminnya yang telah pecah. Dan itu kuketahui saat Ibu menyuruh Mbok Nah untuk membersihkan pecah cermin itu dari kamarnya.[]1811201
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H