Om, Boleh Nggak Saya Jadi Muridnya?
Mengajarkan ilmu kepada orang yang belum mengetahuinya adalah shadaqah- Hadist Riwayat Ibnu Adil Barr
Saya ini orangnya tipekal kalau melihat orang yang suka memandang orang lain hanya dipandang sebelah mata saya paling tidak suka. Apalagi kalau sudah menilai orang lain tidak punya potensi atau tidak memiliki “something” istimewa rasanya saya ingin memberikan “petujuk” untuk “jalan yang benar”. Kalau apa yang dilakukan itu sebuah kekeliruan dan upaya sudah menjurus sok paling hebat daripada yang lain. Padahal tidak berkaca pada langit. Bahwa di atas langit ada lapisan langit lagi. Pantaskah seperti itu?
Maka dari itu ketika saya melihat dan menyimak di dunia online (dunia maya) ada orang-orang macam seperti itu hanya saya jadikan “cermin” untuk diri. Agar saya tidak sampai seperti itu. Karena saya khawatirapabila saya berlaku seperti macam itu (orang-orang yang selalu memandang orang lain hanya dipandang sebelah mata dan menilai orang lain tidak punya potensi atau tidak memiliki “something” istimewa) ternyata kebalikannya. Orang yang kita anggap sebelah mata dantidak punya potensi atau tidak memiliki “something” istimew sama sekali malah lebih unggul dari kita. Itu akan menohok jantung kita nantinya. Sebab apa?
Ya, kita tidak berkaca pada langit. Bahwa di atas langit ada lapisan langit lagi.
Hal ini mengingatkan saya pada sebuah pesan inbox di akun Facebook pribadi saya. Si pengirim pesan itu bertanya kepada saya.
“Om, boleh nggak saya jadi muridnya?”
“Mas, ajarin saya menulis dong!”
“Kak, jadi penulis baik itu bagaimana sih?”
Bukan hanya satu, dua dan tiga saja yang masuk ke inbox aku Facebook pribadi saya tetapi ada sepuluh atau lebih. Semua saya baca pesan-pesan yang masuk itu. Rata-rata dari pesan yang masuk itu intinya adalah MINTA DIAJARKAN MENULIS PADA SAYA!
Tetapi saya hanya menjawab dengan bijak di pesan-pesan itu. Saya tidak langsung mengiyakan! Karena saya harus berkaca pada masa lalu saya. Saya pernah dikecewakan oleh murid saya (baca: yang sudah belajar dengan saya). Dan ketika mereka berhasil bukan malah berterima kasih ini malah saya tidak diakuinya bahkan menjadi rivalnya! Bukan hanya itu saja terkadang tidak lagi menegur sapa. Menganggap saya musuh untuk bersaing!
Padahal saya tidak mengajar kelakuan macam itu. Kelakuan yang sungguh merugikan diri sendiri maupun pada orang lain. Dan dampaknya orang lain tidak akan mempercayai lagi.
Maka dari itu saya bukan pelit apalagi tidak mau berbagi ilmu kepada yang membutuhkannya. Walau saya tahu mengajarkan orang yang belum mengetahuinya lalu diberikan ilmu sudah termasuk shadaqah. Tapi apakah mereka akan sadar nanti dan melakukan hal yang sama jika sudah mendapatkan ilmu itu?
Apakah nanti akan membagikan ilmu itu kembali? Lalu berterima kasih dan bersyukur pada orang yang mengajarkannya? Dan bisa lebih bijak saat mendapatkan ilmu itu?
Hmm, saya rasa sifat alami manusia tentu akan membelenggu kembali. Hanya manis di bibir saja setelah didapat itu semua akan tidak memedulikan orang-orang yang sudah membuatnya sukses dan menjadi orang. Padahal sudah jelas-jelas ada dalam hadis tyang berbunyi. “….Balaslah orang yang berbuat kebajikan kepadamu. Jika tidak mampu, maka doakanlah.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Untuk itu saya belajar dari kehidupan dan pengalaman-pengalaman yang ada. Kalau manusia yang dipegang omongannya (lisan) dan bintang yang dipegang ekor. Jadi lebih mudah yang mana dipegangnya? Itulah kehidupan yang nyata. Tak bisa dipungkiri.
“Om, boleh nggak saya jadi muridnya?”
“Mas, ajarin saya menulis dong!”
“Kak, jadi penulis baik itu bagaimana sih?”
Saat itu langsung tiba-tiba kenangan lama bermain di benak pada salah satu murid saya yang tidak bersyukur.[]08052014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H