Pesawat saya berangkat pukul 6.30 pagi. Tidak ada keterlambatan sama sekali walaupun saya menggunakan pesawat low budget Air Asia, padahal beberapa teman saya sering memiliki pengalaman delay ketika menggunakan pesawat low budget. sedikit tips saya untuk menghindari delay, mungkin anda bisa memilih penerbangan yang paling awal. Untuk anda yang ingin juga berburu mendapatkan tiket murah, log in ke airasia.com dan menjadi member adalah salah satu jawabannya, karena mereka akan memberikan informasi mengenai program promosi satu hari sebelum promosi itu ditampilkan di media cetak. Saya bukan duta Air Asia dan saya tidak dibayar untuk mempromosikan perusahaan ini, tapi buat saya, suatu keberuntungan saya bisa berkenalan dengan Air Asia. Perusahaan penerbangan ini memiliki rute hampir keseluruh negara di asia walaupun kebanyakan destinasi dapat dicapai melalui penerbangan dari Kuala Lumpur sebagai ‘base camp’. Trust me, kalau dalam masa promosi, anda bisa mendapatkan tiket pulang pergi ke bangkok senilai Rp.900.000 saja sudah termasuk biaya lain-lain. Bahkan jika sedang promosi kursi gratis (yang ini setahun diberikan dua kali) anda bisa mendapatkan tiket Jakarta-Kuala Lumpur, Kuala Lumpur-Shenzhen, Macau-Kuala Lumpur dan Kuala Lumpur-Jakarta seharga Rp.1.000.000an SAJA!!! (seperti yang saya gunakan untuk liburan saya sekarang). Air asia biasa mengeluarkan program “Kursi Gratis” dua kali dalam setahun dan program promosi terbang dengan biaya rendah dihampir setiap musim liburan seperti Natal, Lebaran, Imlek atau Liburan Sekolah. Satu hal yang harus anda ingat adalah, untuk mempersiapkan liburan anda jauuhhh-jauuhh hari. So, now everyone can fly! Seperti tag line mereka saat ini. Tiba di Kuala Lumpur Low Cost Carrier Terminal (LCCT) saya dihadapkan dengan kondisi airport yang kurang baik, maklumlah karena terminal ini benar-benar dibuat untuk kepentingan low budget airlines khususnya Air Asia baik penerbangan dalam negri Malaysia maupun penerbangan internasionalnya. Masih ada waktu kurang lebih empat jam sambil menunggu penerbangan saya selanjutnya menuju Shenzhen, China. Dari pada bengong di terminal yang jelek dan bocor (ternyata tidak hanya di indonesia saja yang bocor, dengan ember berwarna merah untuk menadah air yang bocor dari atap), lebih baik saya menuju ke airport yang sesungguhnya. Dengan menggunakan kereta sewa (a.k.a Bus) “AIRPORT LINER” saya menuju ke KLIA (Kuala Lumpur International Airport) dengan hanya membayar MYR 1,50, sekitar Rp.5000,- saja. Perjalanan dari LCCT ke KLIA hanya memakan waktu 10 menit saja. KLIA adalah airoprt yang sebenarnya, modern dan menyebut diri sebagai The Best Airport in Asia. Dengan luas 70 kali luas lapangan sepak bola (katanya), airport ini memiliki standar internasional. Saya jadi berpikir, kapan ya Soekarno Hatta Airport bisa menjadi airport yang hebat. Sedangkan service taxi saja masih banyak yang gelap, belum lagi masalah taxi tanpa argo, kebersihan, petugas yang mengecewakan dan design airport yang ketinggalan jaman bahkan banjir sepanjang jalan menuju airport. Sudahlah, tak banyak yang bisa diharapkan dari Indonesia kita yang tercinta. Saatnya lunch, banyak pilihan makanan di “Food Garden” semacam food court di KLIA, mulai dari makanan khas Malaysia seperti Nasi Lemak, makanan khas China seperti Nasi Hainam sampai makanan India yaitu Roti Prata dan Teh Tarik. Tak ada yang menarik buat saya, sampai saya melihat KFC. Kenapa KFC? Mungkin standar, tapi yang menarik di restoran francise seperti ini adalah mereka selalu memadukan makanan standar mereka seperti Original Recepy Chicken dengan sesuatu yang tradisional. Dan saya benar, saya menemukan sebuah paket (MYR 13) dimana didalamnya terdapat dua buah ayam original namun dipadukan dengan Nasi Hainam, dan dua buah bakso kuah khas makanan China. Menarik bukan? Chinesse People Saatnya menuju destinasi yang sebenarnya, Shenzhen. Kembali ke LCCT, kembali menggunakan Air Asia. Tidak ada keterlambatan penerbangan, semua tampak seperti biasa, kecuali setelah boardng diatas pesawat. Saat itu pesawat cukup penuh, terjadi beberapa kekacauan yang dikarenakan “kebiasaan” orang-orang yang seenaknya, misalnya dalam memilih tempat duduk, walaupun telah diberikan nomor tempat duduk, namun tetap saja mereka duduk seenaknya sesuai dengan keinginan, tugas tambahan bagi para pramugari cantik untuk mengecek semua boarding pass mereka. Dan bukan bermaksud rasis, semua ini kebanyakan dilakukan oleh Chinesse people. Pesawat saya dari KL menuju Shenzhen dioperasikan oleh Malaysia Air Asia. Mungkin karena itulah, bukan hal yang aneh jika saya mendengar lagu-lagu dari Ungu, atau Rossa yang diperdengarkan didalam pesawat oleh awak kabin melalui speaker selain lagu dari Datuk Siti Nurhaliza dan penyanyi mandarin lainnya. Empat jam perjalanan terasa kurang menyenangkan karena sangat sulit untuk menemukan kedamaian didalam pesawat. Bukan karena turbulance tapi karena Chinesse people berbicara sangat keras dan selalu bergerombol berdiri di sepanjang lorong sehingga menyulitkan pramugari yang sedang berdagan asongan di dalam pesawat. Wanna Eat? Come with me to the kitchen!! Sampai di Shenzhen, sudah agak larut, sekitar jam 10 malam sampai di airport, saya sudah tidak sanggup untuk melihat-lihat lagi. Saya putuskan untuk menggunakan taxi sampai ke hostel (hostel adalah hotel kecil yang ditujukkan untuk backpacker, setiap kamar terdiri dari beberapa ranjang, biasanya susun seperti asrama). Hostel yang saya pesan cukup bagus untuk harga Rp. 100.000 per kasur permalam. Memiliki lobby dan cafe untuk bersantai dan terdapat wi-fi connection disana. Cukuplah untuk bisa beristirahat dengan nyaman. Hostel yang saya tempati bernama Shenzhen Loft Youth Hostel (saya mendapatkan ini melalui situs hostel di Air Asia) berada di district Nan Shan, jika menggunakan MTR, berada di dekat stasiun Qiao Cheng Dong. Cukup berjalan 10 menit saja dari stasiun MTR. Hostel ini cukup strategis karena berada hanya dua stasiun dengan obyek wisata Window of the World, Happy Valley dan satu pusat perbelanjaan di Shenzhen. Lapar... saatnya untuk mecari makan di tengah malam, saya bertanya kepada resepsionis, dimana tempat makan yang masih buka di tengah malam, ia menunjukkan sebuah restoran kecil di sebelah hostel. Baguslah,tidak sanggup berjalan jauh, saya memutuskan untuk kesana. Urusan makan-memakan ini pun bukan perkara yang mudah bagi saya, duduk dan sedikit kebingungan karena baru tiba dinegri berbahasa yang tidak saya kuasai, saya didatangi oleh seorang perempuan dengan membawa menu. Wakkk... semua menu menggunakan tulisan China dan tidak ada gambar atau foto di menunya. Saya sedikit kebingungan, begitu juga pelayan itu ketika saya menyebutkan nama makanan dalam bahasa inggris. Ya, kebanyakan orang di Shenzhen tidak dapat berbahasa Inggris. Sambil kebingungan dia menarik kawannya sesama pelayan restoran untuk melayani saya, saya pikir lelaki ini dapat berbahasa inggris, namun ternyata lagi-lagi dia berbicara dalam bahasa China. Tiba-tiba, lelaki itu mengisyaratkan saya untuk berdiri dan ikut dengannya. Saya diajaknya masuk ke dapur. Dapur itu kecil dan ada beberapa tukang masak disana. Seperti sedang tur, saya diajak untuk mengelilingi dapur, kemudian kami berhenti di tempat persediaan makanan. Disana ada mie, telur, sayuran daging dan sebagainya. Dia menggunakan bahasa isyarat agar saya menunjuk apa yang ingin saya makan. Saya tunjuk bihun dan telur yang berada paling dekat dengan tempat saya berdiri. And then setelah saya kembali ke tempat duduk, hadirlah bihun goreng dengan telur dan sayuran seperti yang biasa saya dapatkan di tukang mie tek-tek di dekat kos saya di Jakarta, namun yang ini sedikit lebih lezat. Baru kali ini saya makan di restoran sampai harus masuk ke dapur. I want one what she eat!! Lain kalinya, saya tidak mau masuk kedapur, saya memilih makan direstoran yang cukup ramai, disini semua menu juga dibuat dengan menggunakan tulisan China dan tidak terdapat foto makanan. Satu cara lain adalah dengan menunjuk apa yang orang lain makan. Saya menunjuk makanan yang sedang dimakan oleh orang di meja sebelah saya. Sejujurnya saya tidak tahu apa yang mereka makan, namun saya pikir, jika orang itu makan dengan lahap, berarti makanan itu enak dan bisa saya makan. Untunglah ketika makanan saya datang, yang hadir adalah nasi dengan daging ba** yang di cah dengan cabe hijau dan wortel. Enak dan bisa saya makan, coba kalau saya salah menunjuk dan yang datang ke meja saya adalah cah mata sapi atau cah cacing kalung. Yaikksss!!! Hehe. Satu tips buat anda yang juga tidak mengerti bahasa China seperti saya, ada baiknya mencari restoran yang menyediakan foto di setiap menunya, sehingga kita bisa tinggal menunjuk apa yang ingin kita makan. Makan di China, kita juga tidak bisa berleha-leha setalah makan, karena perputaran pelanggannya sangat cepat, jadi setelah selesai makan, sebaiknya kita langsung pergi, atau kita akan di ‘juteki’ oleh pelayan dan pelanggan yang lain. Satu hal yang menjadi kebiasaan masyarakat di sini adalah berbagi meja dengan pelanggan lain, kalau di Indonesia jarang ada orang yang mau berbagi meja dengan orang lain, jangan harap hal itu bisa berlaku disini. Apalagi jika anda hanya seorang diri, siap-siap saja berbagi meja dengan orang lain. Beruntung bagi anda yang berbagi meja dengan orang yang rapih, karena kalau tidak, seperti pengalaman saya, berbagi dengan orang yang ‘berantakan’ cara makannya, sehingga semua tulang dan ‘sampah’ makanan dia taruh di meja makan. Menjijikan! Dress code for winter. Kamis, 19 februari 09. Hari kedua di Shenzhen saya memutuskan untuk pergi kebeberapa tempat wisata yang terdapat di buku petunjuk wisata yang saya dapatkan di airport. Menggunakan subway atau dikenal dengan sebutan MTR, tujuan pertama saya adalah Window of the World, sebuah tempat wisata yang mengedepankan replika dari bangunan-bangunan terkenal di seluruh dunia. Kemudian saya akan mengunjungi beberapa tempat lagi yang mungkin akan menarik. Sebelum tiba di sana, ada sedikit kejadian memalukan (menggelikan) untuk saya, di dalam MTR, saya merasa beberapa orang memperhatikan saya dari kepala sampai ujung kaki. Bukan bermaksud ge-er, tapi saya tidak merasa ada keanehan di diri saya, saya menggunakan kaos dua lapis karena musin dingin, celana jeans dan sandal!!! Ahhhh... saya tahu apa yang mereka perhatikan, SANDAL!!! Saya melihat ke sekeliling untuk mendapatkan jawaban dari penasaran saya. Apakah salah menggunakan sandal di Shenzhen? Dan ternyata memang saya tidak menemukan satu orang pun di dalam kereta (bahkan di seluruh kota) yang menggunakan sandal!. Oopsss.. saya tidak tahu mengenai kebiasaan atau gaya berpakaian disini. Salah kostum nih!! Gaya berpakaian musim dingin mungkin agak kurang biasa bagi saya yang hanya biasa mengalami musim panas dan musin banjir (maksud saya musim hujan). Untuk wanita disana, baju musim dingin yang wajib adalah jacket dengan bulu-bulu dibagian leher dan SEPATU BOOTS!! Saya kemudian memperhatikan (gara-gara masalah sandal saya jadi lebih perhatian terhadap orang lain) sepatu yang digunakan oleh wanita-wanita disana di musim dingin. Satu dari tiga wanita menggunakan sepatu boot. Sebagian menggunakan boots dengan hak tinggi, yang lain dengan hak pendek namun rata-rata sepatu boots itu tinggi sampai menutupi betis. Yang membuat saya geli, tidak semua wanita cocok dengan sepatu itu, sebagian memang terlihat gaya dengan setelah jacket bulu dan sepatu boots hak tingginya, namun untuk sebagian orang, terlihat seperti “koboy maksa” atau seperti Tantowi Yahya ketika sedang bernyanyi country. By the way, if this is winter and they use boots and fur jacket to keep warm, why they still mix it with HOT PANTS????? Is it freezing? Beauty is pain, hahhh?? SSSSTTTTT!!!!! Entah karena pengaruh bahasa yang memiliki tone atau memang kebiasaan, orang China selalu berbicara dengan nada yang tinggi, sulit bagi saya membedakan mereka sedang bertengkar atau bermesraan atau berbicara biasa. Bahkan saya bisa mendengar orang sedang menelepon disebrang jalan, padahal ia berbicara menggunakan handphone. Andai saya mengerti apa yang ia bicarakan mungkin ia sedang memarahi istrinya, atau sedang berbicara mesra dengan selingkuhannya? Tidak ada bedanya! Saya rasa, mereka agak sulit untuk menyimpan rahasia, sebab ketika berbicara semua orang bisa mengetahuinya. Agak mengganggu bagi saya, tapi ya itulah indahnya perbedaan. Where do you want to go? Sebagai salah satu kota di China yang menurut saya tidak memiliki alam yang terlalu bagus, Shenzhen tidak mau kalah dalam segi pariwisata, mereka membangun sebuah ‘Dunia’ dimana didalamnya terdapat hampir semua replika bangunan-bangunan terkenal dari seluruh dunia, mulai dari Candi Borobudur, Grand Tample dari Bangkok, Pyramid termasuk Sphynx dari Mesir, Air terjun Niagara sampai menara Eiffel hadir disini. Walaupun hanya dalam ukuran mini, untuk yang belum pernah berkeliling dunia seperti saya, cukuplah untuk menikmati dan mengambil beberapa foto supaya terlihat seperti di negara aslinya. Untuk urusan tempat wisata seperti ini dimana hampir disetiap tempat anda ingin berfoto, untuk traveller yang sendirian seperti saya cukup sulit untuk berfoto di setiap bangunan. Ada satu trik yang mungkin bisa digunakan. Di dekat pintu masuk, carilah ‘lonely travellers’ lain yang kira-kira cocok untuk dapat bekerja sama. Sebagai awal, pura-pura lah untuk meminta tolong mengambil foto anda, kemudian tawarkan diri untuk mengambil fotonya. Jika tanggapannya positif, ajaklah berkeliling bersama agar dapat saling tolong-menolong mengambil foto.. trik ini berhasil untuk saya. Bahkan, tidak jarang banyak informasi yang bisa kita peroleh dari obrolan sepanjang perjalanan di tempat wisata. Kali ini saya berkenalan dengan seorang traveller yang ternyata polisi di negaranya. Saya tidak bisa berbahasa mandarin, dan dia tidak bisa berbahasa Inggris, jadi kami tidak saling berbicara, hanya menggunakan bahasa tubuh untuk meminta bergantian mengambil foto masing-masing. Tak apalah, yang penting dapat memuaskan hasrat narsisisme saya. Big Boring city! Shenzhen is big city, but for me, it’s a boring city.. Not just for me, saya bertemu seorang wanita di hostel tempat saya menginap, namanya Chengly, dia berkewarganegaraan German, tapi berasal dari Kamboja. Lahir dan besar di German, Chengly kemudian belajar bahasa dan tradisi China di Shenzhen. Karena udara sanga dingin, kami menikmati sebotol besar bir di lobby hotel sambil mengobrol banyak. Kami bercerita mulai dari kehidupan dia di Eropa, atheisme yang dia anut, sampai ke masalah transportasi di Indonesia. Waduhh saya seperti menjadi duta wisata untuk Indonesia disini. Jika anda pernah membaca buku “The Naked Travellers” mungkin anda merasa geli ketika membaca bagian tentang tur pohon pisang. Tadinya saya juga berpikir itu berlebihan sampai saya bertemu Chengly. Dengan berapi-api dia menunjukkan kamera digitalnya sambil bercerita bahwa dia baru saja mengambil foto sebuah pohon yang berada tepat di depan hostel kami. Dia bercerita mengenai pohon dengan buah yang sangat besar. Saya tentunya penasaran, karena ia bercerita dengan semangat. Tahu apa yang dia tunjukkan kepada saya?? Sebuah pohon nangka dengan buah yang memang besar.. yahhhh yang begini sih di kampung saya juga banyak, Neng Chengly. Nanti kalau kamu berkunjung ke Purwakarta tempat kelahiran saya, saya biarkan kamu memetik langsung dari pohonnya untuk diceritakan ke seluruh German. Haha. Saya bilang, saya boring di Shenzhen, tidak ada yang menarik untuk saya, mungkin untuk sebagian orang yang suka berbelanja, kota ini adalah salah satu surga, tapi tidak buat saya. Tak disangka Chengly yang notabene wanita pun berpendapat sama seperti saya, dia bilang dia sangat boring disini dan beruntung segera meninggalkan Shenzhen keesokan harinya. Dia bilang, lebih menyenangkan di Hongkong dan Macau. Ohh, thats great because thats my next distination and i’m so boring here.. Welcome to Hongkong!! Finally i come to Hongkong, pagi-pagi saya niat bangun untuk dapat segera meninggalkan Shenzhen. Sarapan secukupnya dengan kopi dan rokok, saya kemudian bertanya kepada resepsionis bagaimana dapat menuju ke Honghong. Cukup menggunakan MTR, saya hanya tinggal menuju stasiun Lok Ma Chau yang merupakan perbatasan langsung antara Shenzhen dengan Hongkong. Waktu saya sedang mengantri di bagian Imigrasi, saya melihat sekumpulan anak sekolah TK atau mungkin playgroup yang sedang berbaris di counter ‘jalur khusus’. Saya awalnya berpikir mereka sedang tour di imigrasi, namun ternyata dugaan saya salah, mereka adalah warga negara Hongkong yang bersekolah di Shenzhen. Jadi hampir setiap hari mereka melakukan perjalanan ke luar negri. Saking seringnya sehingga harus disediakan jalur khusus agar tidak menggangu antrian turis yang lainnya. Seberapa sering ya mereka berganti buku paspor karena hampir setiap hari buku paspornya bakal di cap oleh petugas imigrasi? Hehe.. (pertanyaan bodoh) Dari stasiun Lok Ma Chow, saya berpindah menggunakan kereta subway milik hongkong. Sebelumnya saya membeli kartu yang diberi nama “Octopus Card” kartu ini seharga HKD 150, namun hanya dapat digunakan sebanyak HKD 100 saja karena sisanya dijadikan jaminan dan akan diberikan pada saat kartu tersebut dikembalikan. Octopus card ini merupakan kartu multi guna, karena selain dapat digunakan sebagai kartu MTR, namun juga dapat digunakan untuk berbelanja di sebagian besar toko, kios atau supermarket di seluruh Hongkong (tentunya selama limit dikartu masih tersedia). Kartu ini dapat diisi ulang oeh pemiliknya. Kembali saya berpikir, apakah suatu saat Jakarta dapat memiliki kartu seperti ini, sedangkan sampai sekarang pembangunan sistem transportasi kota saja masih kacau sekacau-kacaunya. Pembangunan monorail di daerah senayan saja tehenti sampai tiang pancang besi yang tidak selesai. Aahhh!!! Satu jam perjalanan dari perbatasan menuju ke daerah Causeway Bay yang berada di Hongkong Island tempat saya menginap. Mudah menemukan alamat yang saya cari, karena selain berada tepat di pusat perbelanjaan elit di Hongkong, saya juga dibantu dengan peta kota yang disediakan secara gratis di hampir setiap stasiun MTR. Kembali saya menginap di hostel, kali ini bernama ‘Hongkong Hostel’ dengan letak di Patterson Street, merupakan sebuah apartemen yang oleh pemiliknya dijadikan penginapan untuk para backpacker, walaupun harganya termasuk murah (HKD 100/malam/orang) namun letaknya sangat strategis, tepat dibawah hostel yang saya tempati adalah pusat perbelanjaan high end seperti butik Armani Excange, CK, Fashion Walk dan tepat disebelahnya adalah departemen store SOGO yang terkenal di Hongkong. Hongkong adalah kota metropolitan yang besar dengan sistem tata kota dan sistem transportasi yang apik. Negara ini modern dan juga mahal untuk segal hal. Dengan penduduk yang sangat banyak ditambah dengan kehadiran wisatawan mancanegara yang tak kalah banyaknya. Kita bisa melihat betapa banyaknya penduduk hongkong ketika berada di dalam MTR atau perempatan lampu merah di pusat kota pada saat jam pulang kerja atau sore hari. Betapa orang saling mendahului dan berjalan dengan kecepatannya masing-masing menuju ke tujuannya. Who Do You Want To Meet? Hari pertama di Hongkong, sudah gatal rasanya bagi saya untuk memulai petualangan. Berbekal buku panduan wisata yang saya dapatkan di pusat informasi turis di stasiun MTR Causeway Bay, saya mulai merencanakan tujuan untuk hari ini. Saya putuskan untuk bertemu dengan beberapa kawan sesama selebriti di Madame Tussauds dan melihat seluruh kota Hongkong dari puncak. Ya,saya pikir ini adalah tujuan yang menyenangkan untuk membuka hari di Hongkong. Untuk menuju ke puncak (The Peak) ada beberapa alternatif pilihan transportasi, saya memutuskan untuk menggunakan ‘The Peak Tram’. Tram ini sudah beroperasi sejak tahun 1888, menuju kepuncak dengan derajat kecuraman sampai dengan 45 derajat memberikan sensasi tersendiri. Luar biasa. Anda dapat melihat rel yang akan anda lalui didepan mata anda dengan angle yang sangat curam. Perasaan takut mungkin akan hinggap bagi anda yang takut akan ketinggian. Sepanjang perjalanan menggunakan tram, anda sudah dapat melihat view dari kota hongkong. Namun tunggulah sampai anda berada di puncak!! Setelah sampai di The Peak (sebuah bangunan yang berbentuk seperti mangkuk) anda dapat langsung naik ke puncak gedung, namun seperti yang saya bilang tadi, saya memutuskan untuk bertemu beberapa kawan lama terlebih dahulu d lantai 1 gedung The Peak. Akhirnya rasa kangen terhadap kawan lama saya seperti The New Presiden Mr. Obama, Angelina Jolie & Mr. Pitt, Jacky Chan, sampai kawan sekolah saya si aa Aaron Kwok terobati. Saya juga sempat bertemu kawan baru seperti Si Beckham, dan musuh lama saya di sekolah si Mr.Bush. Senang rasanya melihat kawan lama di Hongkong. Setalah puas bersua dengan kawan lama (walaupun mereka tidak mau berbicara pada saya), saya naik menuju ke lantai paling atas dari gedung ini. Disini saya dapat melihat seluruh kota Hongkong dari puncaknya. Betapa maju dan modernnya kota ini bisa dilihat dari banyaknya gedung-gedung pencakar langit. Luar biasa!. Untuk menikmati semua pengalaman ini, saya harus rela mengeluarkan uang sebanyak HKD 180 termasuk biaya tram, naik ke puncak The Peak dan masuk ke Madame Tussauds. But i think thats worth it! I really enjoy and had a great time. Street market! Kata orang,jika ke Hongkong tidak pergi ke street market itu ibaratnya sayur tanpa garam (Menurut saya mungkin lebih tepat seperti sayur tanpa vetsin karena vetsin bisa diganti dengan gula atau bumbu penyedap lainnya). Oleh karena itu saya menganggap belanja bukan lah sesuatu yang penting dan utama. Tapi di Hongkong, street market ini bisa dijadikan tempat wisata juga. Bolehlah.. Di hari kedua di Hongkong ini saya akan sempatkan diri untuk berkunjung ke beberapa street market, yang pertama yang saya akan tuju adalah Stanley Market, saya sempatkan pertama kali kesini karena tempat ini adalah yang terjauh dari tempat saya tinggal. Lagipula Stanley Market ini buka mulai pukul 10 pagi sedangkan tempat lain rata-rata buka mulai pukul 4 sore. Pejalanan ke Stanley, saya menggunakan Green Minibus bernomor 40 dari Tang Lung Street di daerah Causewaybay. Perjalanan cukup panjang dengan rute yang berliku menuju ke puncak bukit. Stanley Market ini terletak di atas bukit. Sepanjang perjalanan saya berpegangan erat pada pegangan di dalam minibus, bukan karena saya takut ketinggian, tetapi karena sang supir mengendarai minibusnya dengan sedikit ugal-ugalan sedangkan jalan menuju ke atas bukit itu hanya pas untuk dilalui oleh dua buah mobil dengan bagian samping yang langsung menuju jurang. Cukup membuat mual! Ternyata di negara sehebat ini pun masih terdapat supir yang ugal-ugalan. Atau saya yang sedang tidak beruntung saat itu. Menuju ke Stanley Market, saya melihat pemandangan yang indah yaitu pantai-pantai putih Repulse Bay. Disini kita dapat menikmati berbagai wisata pantai seperti mendayung kano dan berenang. Namun saya sedang tidak mood untuk kepantai, jadi saya akan melewatkannya. Sampai di Stanley market sudah cukup ramai, padahal saat itu masih pukul 11 pagi. Stanley Market ini hampir sama dengan street market-street market yang pernah saya lihat di beberapa negara, tidak ada yang istimewa, hanya kios-kios yang menjual barang-barang mulai dari souvenir, pakaian, sampai makanan dan minuman. Bedanya.. mahal!! Haha. Tidak banyak yang perlu saya ceritakan di Stanley Market, yang lebih menarik adalah di ujung perjalanan saya di Stanley Market adalah saya menenukan sebuah tempat di pinggir pantai dimana terdapat beberapa restoran di pinggir pantai. Nama tempat ini adalah Muray House. Sepanjang jalan ini bisa kita temukan beberapa restoran mulai dari Italian, Chinesse, French, dan Asian food. Makanan yang kita temukan mungkin biasa, tapi dengan view dipingir pantai yang indah, mungkin rasa makanan yang standar bisa bertambah lebih nikmat. Another Street Market. Tur street market saya lanjutkan ke daerah Kowloon, dimana disini terdapat beberapa tempat untuk anda yang suka berbelanja barang-barang dan souvenir. Kunjungi Apliu Street Market di daerah Sham Shui Po, kemudian Ladies Market di daerah Mongkok, dan Temple Street Market di daerah Yau Ma Tei. Kesemuanya bisa anda tempuh dengan MTR, hanya tinggal jalan beberapa blok saja dari pintu keluar masing-masing stasiun MTR, dan vooaaallaa... disitulah surga bagi anda para pengemar belanja murah. Jika anda penggemar bargaining atau tawar menawar khas mangga dua, mungkin dapat mencoba berbelanja barang dan souvenir disni, namun jika anda hanya berniat tanya-tanya saja, lebih baik jangan menawar, karena jika sekali anda menawar, berarti anda harus membeli paling tidak satu barang. Kalau tidak, siap-siap saja di maki oleh para penjual disana dengan bahasa dewa. Di Ladies Market, niat saya adalah membelikan beberapa oleh-oleh untuk kolega dan teman-teman, namun saya tidak menemukan apapun yang murah dan bagus. Rasanya souvenir dan perhiasan yang saya temukan di Bali jauh lebih bagus dan lebih murah dibanding disini. Yang saya temukan adalah makanan seperti bakso, sosis, dan lain-lain yang ditusuk dengan tusuk sate, kemudian di goreng atau direbus dengan kuah khusus berwarna kekuningan, kemudian diberi bumbu seperti kecap. Rasanya menyenangkan sekali. Cobalah makan di pinggir jalan sambil melihat orang berlalu lalang membawa kantong-kantong plastik belanjaan. Rasaya seperti... orang yang aneh. Haha. Click Clock Click Clock!! Clock Tower! Dari acara melihat-lihat tempat shopping, saya menuju ke sebuah tempat di Tsim Sha Tsui. Disini saya mengunjungi sebuah bangunan jam tua, yang katanya dibangun ditahun 1915 dan mulai beroperasi di tahun 1921. Saat ini Clock Tower ini dijadikan salah satu monumen kebanggaan orang Hongkong. Jam ini mengambil design eropa dan tentunya memiliki nilai histori yang berarti. Yahh apapun historinya, buat saya hanyalah sebuah jam besar untuk penunjuk waktu. Am i the Stars? Tidak jauh dari si jam besar itu, saya menemukan tempat yang dinamakan Avenue of Stars. Yang berarti yang boleh berada disana adalah bintang film. Ohh bukan, Avenue of Stars dibuat untuk mengenang dan menghormati para bintang film yang berjaya dimasanya. Bukan foto yang berada disini, atau patung lilin seperti di museum Madame Tussouds, tapi handprints para aktor dan artis yang dipasang disepanjang jalan di sini. Ahhh, tidak ada yang menarik. Saat itu masih jam 6 sore, dan saya menantikan sebuah pertunjukan yang katanya harus dilihat di Hongkong yaitu Symphony of Light yang akan mulai tepat pukul 8 malamnya. Lebih baik saya mencari tempat untuk makan terlebih dahulu. Saya masuk ke sebuah shopping mall di Avenue stars, dan saya menemukan sebuah Cafe yang cukup menarik. Saya duduk di bagian luar cafe yang langsung berhadapan dengan jalan raya. Saya bisa menikmati kesibukan para pekerja di Hongkong yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan akan pulang. Cukup sibuk dan cukup banyak orang berlalu lalang disekitar saya. Saya memesan satu gelas wine, yang menurut saya harganya lebih murah dibandingkan segelas wine di Jakarta dan satu porsi spaghetti yang dimasak dengan saus cream bersama ikan salmon dan bayam. Perpaduan yang cukup ironis antara kenikmatan menikmati spaghetti dan wine dengan kesibukan lalu lalang orang yang memusingkan kepala. Symphoni of Hongkong Light Jam 8 malam sudah tiba dan saya kembali menuju ke Avenue of Stars untuk menikmati pertunjukkan, karena dari sinilah katanya view paling tepat untuk menikmati tata lampu yang muncul dari gedung-gedung bertinggat yang berasal dari Hongkong Island diseberang pulau. Saat itu cuaca sangat dingin dan berembun. Saya melihat gedung-gedung bertingkat di seberang sana kurang begitu jelas karena tertutup embun, saya pikiri pasti pertunjukkan malam ini tidak akan terlalu spektakuler karena cahaya yang berasal dari lampu-lampu laser di sebrang pulau tidak akan terlihat dari sini. Dan apa yang saya pikirkan itu benar, pada saat pertunjukkan dimulai, lampu-lampu laser yang seharusnya memancarkan cahaya yang indah mau tidak mau tertutup oleh embun. Tapi tak apalah, pertunjukkan selama 15 menit itu cukup membuat saya kagum, karena betapa hebatnya mereka menciptakan sebuah seni pertunjukkan yang di buat dari puncak setiap gedung-gedung bertingkat sepanjang daerah Wan Chai sampai dengan Central. Bisa dibayangkan betapa besar biaya untuk membuat pertunjukkan itu setiap harinya untuk memuaskan para turis dan pengunjung di Hongkong. Mungkin akan jauh lebih indah jika saat itu tidak berembun dan langit cerah. Salah saya memang datang dimusim dingin! Di Indonesia.... boro-boro mau buat pertunjukkan lampu berkekuatan tinggi setiap hari, mati lampu bergiliran aja masih sering terjadi karena keterbatasan supply listrik!!! Star Ferry to The World Longest Escalator Habis menikmati lampu tertutup embun, saya putuskan untuk kembali ke Hongkong Island, tapi kali ini saya tidak menggunakan MTR, saya putuskan untuk menggunakan public transportation lainnya yaitu Star Ferry. Perahu besar ini beroperasi dari Kowloon, Tsim Sha Tsui dan Hung Hom menuju ke Hongkong Island di Wanchai dan Central. Transportasi yang murah ini, melewati Victoria Harbour. Dari tempat saya naik di Tsim Sha Tsui ke daerah cental, waktu tempuhnya hanya kurang lebih 15 menit saja. Dan untungnya kapal Star Ferry ini berangkat dalam jangka waktu 15 menit sekali di setiap stasiun dan cukup murah yaitu hanya sekitar HKD 2 saja. Diatas Star Ferry, saya bisa kembali menikmati gemerlap lampu dari gedung-gedung bertingkat di sepanjang Victoria Harbour. Sangat menyenangkan bisa menikmati transportasi yang baik sementara di negeri saya tercinta, sistem transportasi yang ada membuat kepala pening!! Ferry merapat di Hongkong stasiun, saya berjalan menuju ke daerah Central menuju ke Central Escalator. Menurut apa yang saya baca, escalator ini adalah escalator tertutup yang terpanjang di dunia dan sudah masuk kedalam Guiness Book of Records. Kontur Hongkong yang berbukit-bukit, memungkinkan dibuatnya escalator ini. Dan memang escalator ini sangat panjang menaiki bukit. Disamping escalator ini dapat kita temui beberapa jalan yang juga ramai. Namun yang menurut saya paling menarik adalah SOHO. Sepanjang jalan SOHO ini, kita bisa menemukan bar, night club, sophisticared wine bar dan restoran yang menarik (dan mahal). Mereka menyebutnya sebagai Trendy Night District, sepanjang jalan yang saya lihat, banyak sekali wisatawan atau para pekerja kantor (kebanyakan orang kulit putih) yang sedang hang out di banyak cafe disekitar SOHO. Saya masuk kesebuah Bar menikmati musik, beer dan wine serta berbaur dengar pengunjung lainnya sepanjang malam. Everynight is a party here.. And i had a wild night here.. muka sudah memerah dan pikiran agak kacau, tak sanggup berjalan lagi saya pulang dengan taxi!! HKD 20! The Cheapest Food? Makan di Hongkong bukan sesuatu yang murah buat saya, ada satu cara untuk mencari makan murah adalah dengan mengunjungi superstore (supermarket) yang menyediakan makanan masak siap saji. Untuk satu porsi nasi dan satu sayur, saya harus membayar HKD 20. Masih mahal untuk kantong saya, tapi itulah makan paling murah di Hongkong! Buat anda para wanita, porsi makanan disini cukup untuk beramai-ramai. Semua porsi makanan di Hongkong dibuat untuk porsi kuli alias porsi besar!! TKW in style! Saya tidak tahu apakah hari Minggu adalah hari libur bagi para pembantu rumah tangga, karena sajak saya keluar dari hostel saya menuju ke superstore sampai dengan didalam MTR saya menemukan banyak sekali wanita yang berbicara dengan bahasa jawa!! Sebenarnya saya senang melihat banyak sekali para pekerja Indonesia bisa bekerja disini, namum banyak hal yang membuat saya tertawa geli melihat tingkah laku para pejuang devisa dari negeri kita ini. Yang pertama adalah masalah cara berpakaian. Dengan maksud mengikuti tren yang berlaku, para TKW ini juga mengenakan dress code yang sama dengan wanita-wanita dari Hongkong di musim dingin, dengan jaket bulu dileher dan sepatu boot. Buat saya, agak berlebihan melihat tingkah laku mereka yang cekakak-cekikik bergerombol di tengah jalan dengan gaya yang selangit seperti artis Hongkong! Terlebih lagi ditambah make up yang full, mulai dari pewarna mata berwarna biru, lipstik berwarna merah dan dandanan rambut yang aneh. Buat saya mereka malah menjadi seperti dakocan! Apalagi saya menemukan seorang TKW Indonesia yang mengenakan longcoat berwarna schocking pink, berbulu di bagian leher, dengan rok jeans mini dan sepatu boot tinggi sedengkul ditambah makeup norak bin norik!! Harajuku Style atau Harakiri (bunuh diri) Style?? ampuunnnnnnnn!!!! Big Sitting Buddha! Hari minggu itu saya putuskan untuk berkunjung ke sebuah pulau bernama Lantau Island. Satu pulau kecil yang berada di sebelah barat Hongkong Island. Tujuan saya hari itu adalah berkunjung ke Po in Monastery dan Giant Sitting Buddha. Dari Tung Chung Station, saya menggunakan bus bernomor 23. Tidak terlalu penuh (dan seperti biasa, bus berangkat sesuai jadwal, tidak berlaku istilah nge-tem di Hongkong), bus kemudian melalui jalan berkelok-kelok menuju ke puncak gunung Ngong Ping. Hampir satu jam perjalanan saya berada di dalam bus hingga akhirnya sampai di pemberhentian di dekat Giant Sitting Buddha. Hanya berjalan sekitar lima menit dari pemberhentian bus, saya sudah dapat meyaksikan Sang Buddha duduk dengan agung di puncak bukit. Dari bawah bukit, saya melihat secara samar patung itu karena bagian atas tertutup oleh embun yang cukup tebal. Ada ratusan anak tangga yang harus saya naiki untuk sampai ke puncak tempat Buddha itu berada. Banyak sekali orang yang juga hadir saat itu dan bersama-sama menaiki anak tangga, kalau nafas anda tidak terlalu kuat seperti saya, istirahatlah di tengah-tengah anak tangga. Tidak sia-sia mengeluarkan keringat menaiki anak tangga, saya akhirnya sampai dipuncak. Dari sini saya dapat melihat indahnya pulau Lantau dan dapat mengamati lebih dekat patung Buddha ini. Patung ini terbuat dari perunggu dan memiliki ukuran yang sangat besar, sepertinya ini bukan patung Buddha yang terbesar yang pernah dibuat di dunia, namun ini adalah patung Buddha yang tertinggi dan terbuat dari perunggu terbesar di Asia. Eating like Buddha! Turun dari bukit, saya menuju ke Po Lin Monastery, sebuah kelenteng yang cukup besar dan didalamnya terdapat tiga buah patung Buddha dengan berbagai posisi. Tidak terlalu istimewa, yang lebih istimewa adalah, disini kita bisa mencicipi makanan vegetarian yang dibuat langsung oleh para pendeta Buddha. Dengan membayar sekitar HKD 60/orang, kita sudah dapat menikmati menu lengkap vegetarian yang berbeda-beda setiap harinya. Hari ini menunya terdiri dari Sup jagung dan kacang sebagai appetizer, kemudian nasi dengan tiga macam sayur yaitu tumis sosis ala vegetarian, tumis jamur brokoli, dan lumpia isi sayur-sayuran. Menu vegetarian ini menetralisir semua makanan yang kurang sehat yang saya nikmati sebelumnya di Hongkong. Saya makan sendirian dan menu yang dihidangkan sangat banyak, mungkin cukup untuk dua orang atau lebih. Keluar dari restoran, walaupun saya sudah cukup kenyang, namun ternyata ada yang menggoda saya, saya melihat ada kantin yang menjual beberapa makanan dan snack, saya tertarik untuk mencoba kembang tahu yang masih hangat dan diberi gula merah cair, kemudian dilengkapi dengan 3 buah kue yaitu mochi isi kacang merah, dan dua kue lainnya yang saya tidak tahu apa namanya, namun cukup memuaskan lidah saya. Wuahh kenyang sekali hari ini. Cable Car From Ngong Ping 360! Untuk kembali ke Hongkong Island, saya sebenarnya dapat kemblai menggunakan bus, namun saya lebih tertarik untuk mencoba nyali saya dengan menggunakan Cable Car. Untuk mencapai stasiun Cable Car saya melewati sebuah tempat yang dinamakan Ngong Ping 360. Sebuah desa yang dibuat dengan apik, dimana didalamnya terdapat banyak sekali toko penjual souvenir dan restoran. Saya hanya melewatinya saja. Perut saya terlalu penuh untuk melihat-lihat lagi. Cable Car yang menghubungkan Ngong Ping 360 ke Hongkong Island menurut saya sangat menyenangkan, rute yang dilewati sangat panjang, anda akan diajak menyaksikan pemandangan yang luar biasa indah dari atas langit, mulai dari pemandangan Lantau Island, Laut China Selatan sampai Hongkong International Airport. Anda akan diajak naik turun dan melintasi lautan serta gunung. Saya jamin anda tidak akan menyesal menaiki cable car ini! Good Night Causeway Bay! Malam ini saya agak letih, saya putuskan untuk bersantai sejenak mencari tempat yang nyaman disekitar tempat saya menginap di Causeway Bay. Saya menemukan Starbucks Coffe yang nyaman di lantai dua Fashion Walk, sebuah tempat perbelanjaan. Tidak perlu menjelaskan mengenai Starbucks, namun yang saya ingin bagi adalah apa yang bisa dilihat dari dalam sini. Saya melihat orang berlalu lalang dengan cepat, menenteng shopping bags dari pusat perbelanjaan, orang bergerombol mengobrol sambil merokok dipinggir-pinggir jalan, televisi besar yang diputar di bagian dinding sebuah gedung yang memutarkan siaran berita ekonomi sehingga siapa saja yang lewat dapat menyaksikan perkembangan ekonomi terbaru sampai kunjungan mentri luar negri terbaru America Hillary Clinton ke Hongkong. Saya menikmati malam ini dengan secangkir kopi americano, ditemani lampu-lampu di pusat perbelanjaan dan hiruk pikuk masyarakat Hongkong yang hilir mudik dengan gayanya masing-masing.. Last Day in Hongkong! Tadinya hari ini saya berencana untuk mengunjungi Disneyland Hongkong, saya sudah membuat janji dengan teman sekamar saya dari German untuk pergi bersama, namun pada harinya, ternyata rasa malas untuk bertemu Mickey Mouse dan kawan-kawan lebih besar. Kami memutuskan untuk tidak berangkat (selain harga tiket yang sangat mahal tentunya). Hari ini saya bersantai di hostel, bangun cukup siang, kemudian sarapan di hostel dan sedikit browsing di internet untuk persiapan menuju destinasi saya berikutnya yaitu Macau. Saya mencari lokasi penginapan yang sudah saya buking sebelumnya melalui Google Map. Saya mencari beberapa referensi tempat wisata di Macau. Tidak terasa hari sudah sore,dan sama sekali saya belum bergerak dari hostel. Saya putuskan untuk berkeliling disekitar Causeway Bay yang belum pernah saya lakuka selama di Hongkong. Walaupun sepanjng jalan yang saya temui adalah pusat perbelanjaan kelas atas, namun tidak ada salahnya masuk dan melihat-lihat, hanya cuci mata dan membanding-bandingkan harga saja, karena tidak ada satupun barang yang mampu saya beli . Saatnya makan, saya menemukan satu restoran sushi yang sedang memberikan potongan harga (tetep mencari yang murah). Saya masuk dan menikmati satu demi satu potongan sushi yang sudah lama sekali saya rindukan (berlebihan). Kesukaan saya terhadap salmon sushi ternyata dikalahkan oleh orang disebelah saya. Pria ini masuk dan memesan 8 piring sekaligus salmon sushi (yang berarti 16 buah salmon sushi). Wah ternyata saya punya saingan di Hongkong. Tidak puas dengan 8 piring, kemudian dia memesan 4 piring lagi menu yang sama. Entah karena dia suka sekali salmon sushi atau karena memang saat itu menu yang termurah memang salmon sushi, tetapi rekor pemakan salmon sushi terbanyak sulit dipecahkan oleh saya. Missing Indonesis? No Problem! Kalau anda benar-benar rindu dengan kampung halaman, saya menemukan suatu toko bernama Chandra’s Mart di daerah Causeway Bay dekat sekali dengan Victoria Park. Ditoko ini, anda bisa menemukan semua makanan khas indonesia, mulai dari kerupuk udang, rengginang, kue risoles, kue lapis, rempeyek sampai ke produk khas Indonesia seperti indomie gokar, supermie,koyo cabe, salonpas, minyak kayuputih caplang, tolak angin, sabun rinso, sampai ke bedak pixy. Disini kita juga bisa mendapatkan kaset dari para penyanyi indonesia seperti Radja, Peterpan, sampai ke penyanyi daerah seperti Hetti Koes Endang, sampai penyanyi cucakrawa yang saya lupa namanya. Voucher handphone mulai dari Simpati, XL, Mentari juga bisa anda temukan. Disini juga anda bisa mengirimkan uang ke Indonesia tanpa potongan ketika sampai dirumah. Oya, bahkan anda tidak akan ketinggalan gosip dari artis-artis Indonesia karena disini tabloid gosip terbaru pun hadir untuk menemani anda yang kangen dengan kasus pernikahan siri Dewi Persik atau kelanjutan kasus hukum Marcella Zalianti. Saya rasa ini adalah surga bagi para TKW Indonesia yang berada di Hongkong atau anda yang tidak bisa berada jauh dari rumah. Last Journey! Tujuan saya yang terakhir dalam liburan kali ini adalah Macau, sebelum kembali ke Jakarta di hari Rabu, saya berangkat ke Macau di hari Selasa pagi dari Hongkong. Dengan menggunakan MTR menuju Sheung Wan kemudian dilanjutkan dengan menggunakan Turbo Jet (kapal Ferry) menuju Macau. Hanya satu jam perjalanan melintasi laut, saya tiba di Macau pukul 11 siang. Tujuan pertama saya adalah hotel Ole LOndon di daerah Praca de Ponte e Horta. tidak seperti di negara China lainnya, nuansa Portugis masih sangat kental disini. Walaupun sekarang sudah dikembalikan ke China, namun Macau merupakan negara bekas jajahan Portugis, tak heran banyak sekali nama daerah atau nama jalan yang menggunakan bahasa Portugis. Tidak terlalu sulit menemukan lokasi hotel saya, karena walaupun kecil dan murah, namun hotel saya berada di dekat hotel Soffitel Pier 16 yang terkenal dan besar dan juga tidak terlalu jauh dari tempat wisata Senado Square yang terkenal di Macau. Cek in dan beristirahat sebentar di hotel, hotel saya kecil dan murah untuk ukuran Macau, namun sangat bersih dan memiliki kasur yang luar biasa enaknya, tidak kalah dengan Hotel Mulia di Jakarta. Uhh kalau saya punya lebih banyak hari di sini,mungkin saya akan berleha-leha menimati empuknya kasur saya ini. Namun saya tidak punya banyak waktu, karena penerbangan saya kembali ke Jakarta besok adalah penerbangan pagi hari. One day in Macau! Hanya satu hari yang saya punya untuk berkeliling Macau, mustahil saya bisa berkeliling ke banyak tempat, oleh karena itu saya memutuskan untuk berkunjung ke tempat-tempat terbaik di Macau. Melalui peta yang kembali saya dapatkan di imigrasi, saya putuskan untuk hanya berkunjung ke Senado Square, Reruntuhan Gereja St. Paul dan tentunya Casino sekaligus pusat entertainment terbesar di Macau yaitu The Venetian Macau. Sebenarnya kalau punya banyak waktu, saya ingin sekali mengunjungi Macau Tower, dan juga patung besar yang katanya merupakan perpaduan dari Bodhisatta Avalokitesvara dengan Bunda Maria. Sayangnya waktu saya tidak banyak. Senado Square atau Largo do Senado adalah pemberhentian pertama, selain letaknya paling `dekat dengan hotel saya, juga dekat dengan Ruins of St.Paul yang terkenal di Macau. Jalan kaki dari hotel, tidak sampai 10 menit saya sudah berasa seperti di eropa. Senado Square merupkan tempat perbelanjaan dan tempat nongkrong yang terkenal di sini. Dengan arsitektur gaya eropa tempat ini memiliki kesan tersendiri. Berjalan di sini anda akan menemukan banyak sekali toko dan pusat belanja, namun yang menarik hati saya adalah makanan dan jajanan khas Macau. “Pemberhentian” pertama saya adalah penjual kue khas Macau yaitu Egg Tart. Egg Tart ini sebenarnya berasal dari Portugis, namun telah menjadi salah satu makanan khas Macau. Saya banyak menemukan egg tart yang dijual dalam ukuran mini, namun saya menemukan penjual yang menjual dengan ukuran sedkit lebih besar dari yang lainnya. Toko ini terletak di seberang Senado Square, letaknya memang sedikit terpencil, disebrang jalan Avenida Almeida Ribeiro namun itulah seninya berjalan-jalan bukan?. Mencoba Egg Tart ini rasanya memang luar biasa, saya merasakan gigitan kenikmatan dari pertama sampai habis. Makanya tidak heran saya masuk ke gigitan pada kue yang kedua dan ketiga saking enaknya, namun percayalah, segala sesuatu yang berlebihan itu memang tidak baik, saya sarankan anda cukup untuk pada puncak kenikmatan di kue pertama atau kedua, karena begitu masuk kue yang ketiga yang timbul adalah rasa eneg. Haha.. Next stop adalah sebuah toko kecil yang menjual kue seperti pastel yang isinya daging ba** cincang dan lada hitam. Namanya Taiwan Paper Cake. Latak tokonya tepat di pertigaan Senado Square bagian dalam. Belajar dari pengalaman, saya hanya membeli satu buah saja. Rasanya enak, daging hangat yang ada didalam pastel, bercampur dengan rasa pedas dari lada hitam, kembali luar biasa untuk kesenangan lidah saya. Apalagi sambil menikmati pastel, sambil duduk menikmati arsitektur toko-toko yang indah. Maknyuss!! Tidak berhenti disitu, tepat disebelah kios Taiwan Paper Cake, saya melihat ada seorang bapak tua yang sedang membuat sesuatu, saya mendekati dan penasaran. Tulisan ditokonya pastelaria. Kue atau lebih tepatnya biskuit ini dibuat dengan manual dengan alat press tradisional yang diletakan diatas bara api. Semuanya tradisional, bahan kuenya pun seperti adonan kue yang keras, dibuat menjadi bagian bulat kecil dengan tangan si kakek. Rasanya? Seperti biskuit telur, renyah dan gurih, harganya HKD 10 per bungkus (di Macau kita bisa menggunakan mata uang Hongkong di setiap tempat), kakek itu menggunakan timbangan tapi saya tidak tahu berapa yang ia timbang tapi yang saya dapatkan kurang lebih 20 keping biskuit yang bentuknya tidak beraturan karena dibuat secara tradisional. Saya menikmati biskuit sambil berjalan menuju reruntuhan Gereja St. Paul yang terkenal itu, letaknya dibelakang Senado Square. Sepanjang perjalanan, banyak sekali orang yang menawarkan daging asap semacam dendeng (seperti Bee Cheng Hiang yang terkenal), mereka menawarkan para pengunjung yang berlalu lalang untuk mencoba dengan potongan-potongan kecil, karena saya tidak niat beli, saya hanya mencoba saja setiap mereka menawarkan, sepanjang perjalanan mungkin lima atau enam kali saya mencicipi dendeng tanpa beli. Ya cukup lah untuk merasakan enak dan nikmatnya daging asap itu. Haha.. Untuk anda yang tetap ingin berbelanja, disepanjang Senado Square terdapat toko-toko barang bermerek, namun anda yang ingin menikmati street market, tidak perlu jauh-jauh karena disekitar Senado Square anda bisa menemukan jalan-jalan kecil yang disulap menjadi street market. Di Ruins of St. Paul sudah banyak orang yang datang, hanya berfoto dan berkeliling sebentar, saya dapat merasakan kebesaran gedung itu ketika masih kokoh, sayang saat ini yang masih berdiri tegak hanyalah bagian depan Gerejanya saja dan ditopang dengan besi agar menjaga bangunan itu tetap dapat berdiri tegak. Kata orang, belum resmi ke Macau, jika belum berfoto didepan Gereja St. Paul ini. Maka kembali saya meminta bantuan orang yang sedang lewat untuk mengambil foto saya berdiri di depan bangunan ini. Bet Your Luck! Saatnya memcoba keberuntungan di negara yang disebut-sebut bakal menyaingi kebesaran casino di Las Vegas. Tujuan saya adalah The Venetian, pusat entertainment terbaru, terbesar yang menggabungkan pusat belanja, hotel dan juga casino dengan nuansa Venesia. Lengkap dengan kanal buatan mengelilingi Mall, anda juga dapat menaiki perahu yang dibuat seotentik mungkin dengan aslinya di negara Venesia. Ditambah nyanyian berbahasa Italia yang dinyanyikan oleh ‘supir’ perahu. Lengkap sudah, benar-benar seperti dinegara aslinya. Didalam The Venetian, pusat perbelanjaan dibuat seperti di luar ruangan, atap dibuat dengan lukisan awan-awan, sehingga anda tidak pernah akan merasakan malam disini, yang ada adalah langit cerah disepanjang hari. The Venetian Untuk makan sore, saya berkunjung ke food court yang ada di sini, anda bisa menemukan makanan dari berbagai negara mulai dari makanan Jepang, China, Eropa sampai masakan Korea. Saya mencoba memesan di tempat makanan Korea, restoran ini namanya “ Korean Traditional Cuisine by Dae Chang Khum” katanya mengedepankan masakan dengan resep asli dari si tukang masak kerajaan Korea, yang pernah dibuat serialnya di televisi yaitu Dae Chang Khum. Entah benar atau tidak, tapi ya sudahlah, mari kita coba saja. Saya memesan nasi dengan daging sapi khas korea, dengan pelengkap salad korea, kimchi dan suun yang dimasak, porsi yang disiapkan sangat banyak, namun karena rasanya nikmat maka tak ada salahnya makanan ini dihabiskan. Setelah kenyang menikmati masakan Jang Geum, saya berjalan-jalan di sekitar The Venetian, saat itu sedang ada pertunjukkan yang menampilkan penyanyi dan opera di suatu pojok Mall. Pertunjukkan itu menampilkan empat orang penyanyi opera, tiga orang asia dan satu orang kulit putih. Mereka menyanyikan beberapa buah lagu dan melakukan sedikit drama ditemani dua orang badut dan satu kelompok pemain musik. Dipojok yang lain, sedang berlangsung pertunjukkan tarian. Ada tiga pasangan penari yang secara bergiliran menarikan tarian seperti tap dance, waltz dan tarian khas eropa lainnya. Saatnya saya mencoba keberuntungan di meja Judi, kata orang, tidak ada seorangpun yang akan kaya di meja judi. Saya bukannya tak percaya, namun rasa penasaran saya untuk mencoba bermain di meja judi yang notabene dilarang di negara kita, rasanya lebih besar dibanding keyakinan akan merugi di meja judi. Oleh karena itu saya memang menyediakan budget khusus untuk berjudi, artinya saya sudah siap kalah dengan nominal tersebut, tidak ada penambahan lagi untuk mencoba keberuntungan karena niat saya adalah hanya mencoba bermain, bukan mencoba untuk menjadi kaya di meja judi. Betul kata Bang Rhoma Irama, judi memang memabukkan pikiran dan kantong tentunya, dalam sekejap, uang saya habis di meja judi, rasa deg-degan dan perasaan senang ketika menang menyebabkan orang menjadi lebih berani bertaruh di permainan berikutnya. Dan tiba-tiba habislah uang saya. Tahu kapan saatnya berhenti adalah ungkapan yang pas jika kita hanya ingin mencoba bermain di meja judi. Maka saya tinggalkan meja judi dan hanya melihat-lihat permainan yang ada disini. Come to My Room! Ada seorang gadis muda, cantik, dan sexy mendekati saya pada saat saya melihat-lihat di casino. Dia berbicara kepada saya dengan menggunakan bahasa Cantonisse atau Mandarin (Saya tidak tahu), lalu saya bilang, “I dont understand what you said, speak English please” kata saya. Kemudian gadis itu berpikir sebentar dan dengan sedikit terbata-bata dia berkata “Come to my room!” begitu katanya. Waduh, saya sedikit syok, tersenyum dan langsung menjawab, “ No, Thanks”. Bukannya tidak tergoda, namun yang saya pikirkan saat itu adalah, ini tempat judi, dan tidak ada yang gratis disini, maka saya berpikiran bahwa gadis itu pasti mengharapkan bayaran dari saya. Makanya dengan cepat saya menjawab tidak. Dan gadis itu berlalu meninggalkan saya sambil tersenyum. Agak saya sesali kemudian, seharusnya, sebelum saya menjawab “ No, Thanks” saya terlebih dahulu bertanya “ free or for money?” Siapa tahu (ngarep) dia bilang “its free honey, lets come to my room!” Hahahahaha.. Good bye Macau! Makan malam terakhir di Macau, saya kembali ke Senado Square. Saya menemukan sebuah restoran kecil di sebuah gang. Tempatnya tidak terlalu besar namun terdiri dari dua lantai. Saya memesan Baked rice with meat yaitu nasi dengan daging masak saus tomat diatasnya, diberi keju mozarella dan dipanggang. Seperti risoto ala italia namun dengan rasa asam manis khas China, menarik dilihat. Dan ketika dimakan ternyata rasanya semenarik penampilannya. Ditemani segelas bir, dan daging Maling goreng (bukan daging pencuri, tapi seperti kornet yang terbuat dari daging ba**). Sudah lama rasanya saya tidak menikmati daging Maling ini, maka engkap sudah makan malam terakhir saya di Macau. Menutup perjalanan saya kali ini, saya putuskan untuk menikmati malam saya disebuah coffe shop di Senado Square. Saya mengambil tempat di teras bagian luar sehingga saya bisa menikmati pemandangan Senado Square diwaktu malam yang indah dengan secangkir kopi. I close this journey with a cup of hot coffee, italian jazz music, cigarettes and the Senado Square beautiful view in the midnight. My coffee is still hot, but the weather getting cold. A very nice night to close the story. Perfecto... taken from my notes on FB : http://www.facebook.com/notes/perano-gustiandi/travelling-a-la-me/59471306681
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H