Mohon tunggu...
Peran Sabeth Hendianto
Peran Sabeth Hendianto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

yang sempat hilang,,,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bahasa Indonesia, Adalah Ibu yang Selalu Memaafkan

30 Agustus 2012   07:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:08 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap aku mengingat-ingat masa kecilku, adalah bayangan samar, kadang redup, kadang terang benderang seperti ketika aku nonton bioskop yang memutar sebuah film lawas, dan aku duduk di kursi barisan belakang,sendiri. Walau tampak kecil, tapi jelas di mataku, nyaris seperti sebuah album foto yang dapat bergerak dan berbicara: suara itu, orang-orang yang bergerak itu, semuanya aku kenal. Namun seiring berlalunya waktu, dari samar menjadi buram, dan kemudian lenyap. Tapi ada satu peristiwa yang aku ingat, tepatnya saat aku masih TK sampai SD kelas 2.

Semula aku hanya iseng, tapi lama kelamaan aku menikmatinya. Menikmati setiap perjuanganku dulu, perjuangan untuk bisa mengerti dan berbicara bahasa Indonesia.

Sungguh, hal ini sangat konyol, aku orang Jawa tulen, dan hidup dilingkungan orang Jawa, dan sudah tentu dengan bahasa Jawa-nya yang sangat kental itu. Bahasa Jawa adalah bahasa pertama yang aku kenal ketika aku pertamakali bisa mendengar dan menangis. Jadi dahulu bagiku bahasa Indonesia adalah bahasa asing, bahasanya orang-orang pintar yang mengerti seluk-beluk dunia. Sampai saat kejadiaan itu, aku bersumpah bagaimana pun caranya aku harus bisa berbahasa Indonesia.

Waktu itu malam hari, dan aku setengah tidur di kamarku. Mereka, ayah dan ibuku sedang berbicara dengan suara yang sengaja dikeraskan. Bahasa mereka aneh, dan tak sedikit pun kata yang kumengerti, hingga jauh hari sesudah itu aku baru tahu kalau mereka sedang bertengkar dengan menggunakan bahasa Indonesia supaya hatiku tak terciderai oleh sebuah pertengkaran yang seharusnya tak aku dengar.

Aku masih ingat, ketika aku masih SD dulu di rumahku ada sebuah televisi hitam putih buatan Jerman milik kakekku, televisi itu masih dengan desain klasik lengkap dengan kerangka kayunya. Dahulu di kampungku televisi adalah benda ajaib yang bisa memutar gambar dan berbicara sendiri, sekaligus menjadi barang mewah.

Setiap hari minggu banyak sekali orang-orang di kampungku yang berkunjung di rumahku hanya sekedar untuk bisa menonton acara berita yang disiarkan oleh TVRI di televisi. Tapi anehnya mereka tak mengerti sedikit pun bahasa yang di ucapkan oleh pewarta beritanya. Alhasil ayahkulah yang bertindak sebagai penerjemah bahasa Indonesia yang di ucapkan pewarta berita di televisi itu. Jarang-jarang sekali orang-orang di kampungku yang mengerti bahasa Indonesia, karena sejak kecil mereka tak pernah mengenyam bangku pendidikan dan mereka hanya mengerti bahasa ibu mereka: bahasa Jawa. Hingga aku mentasbihkan kalau ayahku adalah konsultan bahasa Indonesia pertama di kampungku.

Dari siaran televisi itulah lambat-laun aku mengerti dan bisa berbahasa Indonesia. Dan saat itu aku bangganya bukan main, ternyata aku dapat menggunakan bahasanya orang-orang pintar yang mengerti seluk-beluk dunia. Bahasanya indah, enak di lidah dan elok saat dicerna di hati.

Bagiku bahasa Indonesia bagaikan seorang ibu yang selalu memaafkan kenakalan anak-anaknya, seorang ibu yang selalu terbuka lebar rentang tangannya untuk memeluk kita dengan bahasa sederhananya yang mudah kita mengerti. Dan mungkin kita adalah si bengal kecil yang tanpa sadar selalu menciderai hatinya, tanpa sadar telah mencacinya dengan bahasa-bahasa asing yang tak ia mengerti, atau tanpa sadar kita ingin meracuninya, dan kemudian secara perlahan dia punah.

Mungkin benar kata A Teuw, atau Pramoedya yang mengatakan bahasa Indonesia itu belang bonteng, namun bagiku bahasa Indonesia adalah bahasa majemuk, fleksibel, dan terbuka terhadap bahasa-bahasa baru. Tapi pertanyaannya apakah kita tega untuk tak mengakuinya, tega untuk melupakannya, dan tega untuk meninggalkannya, seorang ibu yang pertamakali membisikkan arti kata cinta dalam hati kita? Alangkah Malin Kundang-nya kita bila semuanya itu benar-benar ingin kita lakukan. Sudahkah kita meminta maaf? Yakinlah untuk tidak malu berbahasa Indonesia. Jika tidak, kita tak akan pernah mengerti arti kata cinta.

---------

Peran Sabeth Hendianto,

Semarang, 30 Agustus 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun