[caption caption="Sukabumi - Kasus kekeringan melanda di seluruh pelosok Pulau Jawa, termasuk daerah subur Sukabumi."][/caption]INDONESIA KEKERINGAN LAGI, SEBUAH RUTINITASKAH?
Indonesia sebagai salah satu negara tropis di dunia kembali dilanda bencana kekeringan di sejumlah daerahnya. Kasus kekeringan akut terjadi di daerah Nusa Tenggara, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, dan Lampung. Bencana kekeringan di Indonesia berdampak serius terhadap air bersih untuk penggunaan aktivitas warga, seperti untuk air minum, kebersihan warga, dan khususnya untuk pengairan sawah dan perkebunan. Kurangnya air untuk aktivitas warga di setidaknya 700 kecamatan Indonesia telah mencapai angka rugi kurang lebih 7,9 triliun rupiah, menurut Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Rahmat Ajiguna.
Kasus kekeringan di Indonesia merupakan dampak dari El Nino – naiknya suhu laut di Samudra Pasifik. El Nino tahun 2015 diperkirakan berintensitas lebih besar daripada El Nino yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, bahkan memiliki potensi melebihi El Nino pada tahun 1997. Tahun 1997, Indonesia mengalami kekeringan panjang yang berkontribusi besar ke krismon 1998 lalu. Fenomena alam yang menyebabkan penyimpangan iklim di berbagai negara ini juga menjadi penyebab kebakaran hutan dan ladang gambut di Sumatra dan Kalimantan.
Edvin Aldrian dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPTT) menyatakan bahwa El Nino membawa keadaan yang kering di bagian Asia Tenggara, terkhusus Indonesia. Sehingga awan hujan tidak dapat terbentuk, maka menjadi wajar bila Indonesia tidak mengalami hujan selama musim kering.
Dampak El Nino sudah berkali-kali dirasakan Indonesia, artinya ancaman kekeringan seharusnya sudah dimengerti oleh rakyat dan pemerintah Indonesia. Namun tetap saja ketika musim kering datang, Indonesia selalu mengalami kekeringan. Kekeringan yang menyebabkan kebakaran ladang, gagal panen, dan kurangnya air bersih untuk konsumsi warga ini menjadi bencana tahunan bagi Indonesia. Rakyat Indonesia, khususnya para petani, yang merasakan secara langsung kekeringan dan dampaknya ke kehidupan mereka berulang kali berseru meminta pertolongan pemerintah. Mereka meminta untuk pembangunan jalur irigasi, pembenahan aliran sungai, dan pengeboran sumur untuk cadangan air tanah. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada September 2014, sebanyak 86 kabupaten/kota di 20 provinsi Indonesia berpotensi mengalami kekeringan tiap tahunnya. Sejumlah waduk dan embung di daerah kekeringan sudah tidak ada airnya lagi. Selain berdampak pada pendistribusian air ke warga, kosongnya waduk dan embung membuat beberapa PLTA setempat berhenti beroperasi.
Saat ini pemerintah memberikan penanggulangan berupa mobil tangki air bersih dan lebih dari 800 unit pompa air untuk membantu suplai air di perumahan dan jalur irigasi. Walaupun demikian, daerah-daerah akut kekeringan tetap kekurangan air bersih terkhusus untuk pertanian dan perkebunan. Banyak petani terpaksa harus panen dini – beberapa gagal panen – dan pendapatan mereka terpotong hampir 50% dari pendapatan normal mereka. Selain menyebabkan pemotongan pendapatan, beberapa hasil panen pertanian Indonesia juga berkurang baik secara kualitas maupun kuantitas. Seperti kelapa sawit di Kalimantan Selatan, padi di Sulawesi Selatan, Sumatra Selatan, dan Karanganyar, serta jagung di Sumatra Selatan mengalami penurunan produksi. Mentri Dalam Negri, Rachmat Gobel, mengatakan akan menggunakan opsi impor bahan pangan bila kondisi pasar terus menurun dalam mengatasi krisis pangan karena kekeringan. Impian masyarakat produktif Jokowi kembali terhalang oleh kekeringan, Indonesia kembali menjadi masyarakat konsumtif karena produksi yang tidak memuaskan dan kebutuhan rakyat yang berjibun.
Sebenarnya hasil panen, terutama padi, sampai pada bulan Juli lalu tidak terlalu mengkhawatirkan – perkiraan produksi padi mencapai 75,2 juta ton GKG (sama dengan 43 juta ton beras). Sedangkan konsumsi beras nasional mencapai kurang lebih 28 juta ton, menurut data dari Kementrian Dalam Negri. Kebutuhan warga Indonesia terpenuhi bila dilihat dari perbandingan produksi dan konsumsi. Namun bila dihitung dari cadangan beras, Badan Urusan Logistik (Bulog) hanya memiliki sekitar 1,5 juta ton beras. Menurut Dwi Andreas Santosa, pakar pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Indonesia membutuhkan setidaknya 2 -2,5 juta ton cadangan beras. Bulog masih memiliki waktu hingga akhir tahun untuk memenuhi cadangan beras nasional di mana Indonesia memerlukan setidaknya 500 ribu ton beras. Kekeringan jelas akan berdampak pada cadangan beras nasional, tapi pemenuhan cadangan hingga akhir tahun diprediksi akan terjadi.
Kekeringan yang melanda Indonesia akan memuncak pada bulan September nanti. Namun di sejumlah daerah Indonesia telah kehabisan stok air untuk aktivitas mereka di bulan Agustus ini. Bila pemerintah tidak segera menanggulangi kurangnya stok air, maka tidak hanya hasil panen yang akan terpengaruh namun juga kesejahteraan rakyat. Pemerintah dan rakyat perlu bekerja sama tidak hanya dalam mengatasi masalah kekeringan, namun juga dalam mencegah kekeringan kembali terjadi di tahun-tahun ke depan. Mengingat pemanasan global yang tiap tahunnya menaikkan suhu bumi, maka kasus kekeringan pun berpotensi untuk meningkat intensitasnya.[caption caption="Cadangan Beras - Untuk sementara ini cadangan pangan berupa beras masih berada di titik aman, tapi pihak Bulog merasa khawatir di tahun-tahun yang akan datang."]
[/caption]
Nah, sebaiknya bagaimana pemerintah sebagai pembuat kebijakan dalam mengantisipasi kekeringan yang hampir tiap tahunnya terjadi di Indonesia? Indonesia memiliki hutan hujan tropis terbesar di dunia. Wilayah Indonesia yang berada di garis ekuator, membentuk musim hujan yang lebih lama daripada musim kering. Walaupun dengan pemanasan global saat ini, Indonesia masih memiliki musim hujan yang lama dengan curah hujan yang tinggi – rata-rata 2.000 sampai 3.000 meter/tahun – di daerah barat Indonesia. Curah hujan yang tinggi ketika musim hujan bahkan menyebabkan banjir alami atau banjir bandang – bukan banjir seperi di Jakarta – di beberapa daerah, seperti di Manado, Aceh, Sumatera Barat, dan di Jayapura. Banjir bandang disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan karena tidak adanya tanah resapan serta hutan-hutan yang berfungsi menyerap air.
Pemerintah dan rakyat seharusnya mampu melihat potensi dari tingginya curah air hujan untuk dijadikan cadangan air tanah. Kurangnya tanah resapan dan pohon untuk menyerap air menyebabkan bencana banjir yang merugikan warga sekitar. Pembangunan perumahan yang serampangan oleh rakyat dan tidak sigapnya pemerintah dalam menyediakan tanah resapan menyebabkan terbuangnya air yang sebenarnya mampu digunakan untuk cadangan bila diperlukan, seperti pada kekeringan saat ini. Tanah resapan banyak yang digunakan sebagai perumahan, pohon-pohon di sekitar sungai ditebang, dan sungai-sungai disempitkan untuk pemukiman warga. Tidak teraturnya pembangunan gedung di bantaran sungai menyebabkan banyak air sungai dan air hujan terbuang.
Penulis percaya Presiden Jokowi pun sebenarnya tahu cara pencegahan bencana kekeringan di Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang baru, Darmin Nasution, pun pasti tahu mengenai kurangnya cadangan air tanah di Indonesia terutama di daerah-daerah yang dilanda kekeringan saat ini. Lalu apa yang menyebabkan mereka tidak menindaklanjuti potensi cadangan air tanah Indonesia? Padahal bila Indonesia mampu mengalihkan curah hujan yang tinggi saat musim hujan untuk dijadikan cadangan air tanah, maka bencana kekeringan ketika musim kering bisa diantisipasi dan rakyat tidak akan kekurangan air. Apalagi dengan pemanasan global saat ini, cadangan air bersih sangat diperlukan untuk kebutuhan rakyat.