Mohon tunggu...
Onny Rosdiono
Onny Rosdiono Mohon Tunggu... -

menulis untuk berbagi dan memuaskan dahaga batin. tertarik dengan dunia pendidikan, seni, filsafat, teknologi dan bisnis.\r\nsilakan mampir ke blog saya yang lain di http://pepperonny.tumblr.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sang Rocker Yang Jadi Rektor

10 April 2010   17:40 Diperbarui: 25 November 2016   13:52 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konotasi pada umumnya terhadap musik rock memang tidak jauh dari anarkisme, setidaknya sampai saat ini masih sering kita mendengar konser musik rock yang berakhir rusuh. Bahkan aparat acapkali tidak memberi ijin digelarnya sebuah konser sebagai antisipasi kemungkinan terjadinya kericuhan. Namun apakah musik rock sebagai penyebabnya? 

Banyak yang berpendapat bahwa maraknya kerusuhan pada konser musik rock disebabkan oleh aksi panggung musisi rock itu sendiri. Rock yang dipandang sebagai bentuk pengejawantahan pemberontakan atas kemapanan memberi ruang bagi timbulnya aksi massa. Awak band, utamanya vokalis yang notabene menjadi pusat perhatian dalam sebuah konser, dituding sebagai pemicu melalui aksi-aksi panggung maupun ajakan melakukan anarki dalam liriknya. 

Hal ini sebenarnya bisa dirunut dari sejarah musik rock di belahan Amerika. Akar musik rock dimulai dari kemunculan musik blues dan rock and roll pada sekitar tahun lima puluhan. Musisi Inggris lalu mengadopsinya dan melahirkan band-band rock yang di antaranya menjadi fenomenal hingga saat ini, yakni The Beatles dan Rolling Stones. Berikutnya muncul genre musik rock semacam psychedelic rock yang menjadi moyang dari aliran heavy metal hingga pertengahan tujuh puluhan. Ragam dari turunan heavy metal ini berkembang di antaranya menjadi art rock, classic rock, soft rock dan sebagainya. 

Musisi rock dari kelahirannya hingga dekade delapan puluhan sangat dekat dengan narkoba. Tak terkecuali musisi besar, di antaranya Jimi Hendrix, Paul McCartney (The Beatles), Mick Jagger (Rolling Stones) dan bahkan Dee Dee Ramone dari The Ramones, band punk rock pada era 70-an tewas akibat overdosis narkoba. Memang tidak cuma musisi rock yang dekat dengan narkoba, namun dengan banyaknya nama terkenal dari dunia musik rock yang tersandung kasus narkoba membuat sebagian besar masyarakat beranggapan rock tak bisa jauh dari narkoba. Tapi apakah konotasi musik rock seburuk itu? Tentu tidak. Walaupun Pink Floyd berujar "we don't need no education" dalam salah satu hit-nya 'The Wall', saya akan perlihatkan bahwa ada nama-nama yang amat membanggakan dari sisi latar belakang pendidikannya.

Brian May dari grup rock legendaris Queen dikenal sebagai sosok pendiam dan santun khas Inggris. Pada tahun 2008 lalu ia merampungkan gelar PhD.-nya dalam bidang fisika, tepatnya astrofisika. Brian lulus dari Imperial College London dan kini menjabat sebagai rektor di Liverpool John Moores University, Inggris. Bukan hanya Brian May yang menyandang pendidikan tinggi. Rekan-rekannya di Queen juga memiliki gelar pendidikan tinggi, seperti almarhum Freddie Mercury yang lulus S1 jurusan desain grafis di  Ealing College of Art. Sang bassist, John Deacon adalah sarjana elektronik lulusan dari Chelsea College, University of London. Roger Taylor, penggebuk drum Queen lulus juga sebagai sarjana biologi walaupun awalnya masuk ke jurusan kedokteran gigi (hehe banting stir).

Selain Queen, ada juga Dream Theater yang awal terbentuknya justru karena bertemunya tiga mahasiswa Berklee School of Music. Mereka adalah John Petrucci, John Myung dan Mike Portnoy. Mungkin karena teknik bermusiknya yang ala sekolahan inilah, kita mendengar keunikan pada lagu-lagu mereka. Salah satu kekhasan musik Dream Theater adalah olahan ketukannya yang tidak biasa. Bila biasanya ketukan drum (atau bas) dalam birama 4/4 jatuh pada ketukan 1 dan 3 atau 2 dan 4, maka dalam kreativitas personel Dream Theater mereka bisa saja menggeser, menambah atau mengurangi beat dalam birama tersebut. Para headbanger pasti kesulitan mencurahkan hobi headbangingnya bila belum mengenal lagu-lagu Dream Theater dan nekat hadir pada konser DT ini. 

Tidak ada niat buruk atau menyudutkan keberadaan musik rock, karena saya sendiri tergila-gila dengan Queen dan The Beatles. Hanya sedikit ulasan mengenai potensi musik rock yang pasti mampu merubah pandangan masyarakat dan aparat. Musisi rock saat ini pastilah sudah lebih well educated. Mereka wajib 'mendidik' para penggemarnya untuk tidak melakukan tindakan anarkis dan membuktikan bahwa musik rock tidaklah identik dengan kekerasan dan narkoba. Saya ingin suatu saat nanti kita tidak perlu lagi mendengar kerusuhan terjadi dan band-band rock seperti Slank bisa mendapatkan ijin konsernya dengan mudah. Toh sebenarnya rock adalah musik yang amat dekat dengan rakyat dari kalangan bawah hingga atas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun