Karena wanita, maka lahirlah berjuta-juta puisi indah di berbagai belahan dunia, dalam berbagai bahasa, di berbagai peradaban yang tenggelam dan datang siliberganti. Tak pelak lagi, wanita, saya biasa menyebutnya perempuan, adalah obyek tak ternilai harganya di banding obyek lainnya dalam sebuah kreativitas penulisan. Berbagai ide kreatif muncul karena wanita. Sekali lagi wanita.
Jarang saya temukan sebuah puisi yang menyanjung sedemikian hebat kaum laki-laki, baik oleh penulis perempuan apalagi penulis laki-laki. Mengapa? Karena laki-laki tidak menyimpan keindahan seperti halnya wanita, tetapi menyimpan kekuatan dan keperkasaan. Kekuatan dan keperkasaan tidak indah untuk dibuatkan puisi, mereka hanya lahir di layar perak film-film Hollywood atau film laga lainnya yang mewakili naluri kekerasan. Lain lagi dengan wanita, keindahannya bisa hadir dari "cas-cis-cus" film Hollywood, "nehi-acah-tumhare" film Bollywood bahkan sampai Tangkiwood zaman Tan Tjeng Bok dulu.
Tak pelak kagi, wanita atau perempuan adalah obyek subur penulisan. Wanita, bagi saya pribadi, kerap memancarkan keindahan yang mempesonakan... apalagi kalau saya nyalakan api hati, pasti akan memercikkan kelebatan asmara yang dahsyat. Saya merasa, seakan-akan wanitalah pemilik cinta, kasih sayang, gairah, asmara, dan bahkan dendam kesumat tak berkesudahan.
Apa moral dari tulisan singkat ini bagi kreativitas penulisan? Perlakukanlah obyek secara memadai, secukupnya, sewajarnya, dan tidak berlebihan. Memuja dan memuji keindahan wanita dalam sebuah cerpen dari repertoir hingga ending, rasanya menyiksa pembaca dan hanya membucahkan hasrat narsistis penulisnya, bahwa dia punya kemampuan memuja keindahan perempuan dengan panjang lebar, dari pucuk rambut sampai ke ujung jari kaki. Semua itu tidak selayaknya dicerminkan pada sebuah tulisan yang terkesan monoton dan membosankan.
Pertanyaannya; apa pentingnya buat pembaca? Jangan-jangan pembaca perempuan juga lekas bosan kalau merasa tidak terwakili oleh segala ungkapan keindahan si penulisnya!
Jadi, memperlakukan dan mengeksploitasi obyek harus yang wajar-wajar saja, secukupnya. Yang penting sudah menggambarkan bahwa wanita ini berbeda dari makhluk lainnya, dari sudut manapun. Harus selalu diingat, yang ditawarkan penulis manapun kepada pembaca adalah sebuah cerita, fiksi maupun nyata, yang memiliki kerangka dan alur cerita (plot) yang jelas. Cerita yang menghadirkan karakter memikat, baik antagonis maupun protagonis, juga ending yang memikat, mengejutkan, dan tidak terduga, dalam bentuk puisi, cerpen, atau novel, jauh lebih penting tinimbang mengeksploitasi obyek (wanita) habis-habisan sedemikian rupa.
Saya akui, wanita itu obyek yang menyimpan berjuta keindahan sekaligus misteri. Tetapi saya selalu memperlakukannya dengan sewajarnya saja. Untuk keperluan penulisan, tentunya. Sampai jumpa....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H