Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Terhenti di Cetak, Kompasiana Tampil di Televisi Setiap Hari

20 Januari 2015   23:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:43 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1421745421723900499

[caption id="attachment_392087" align="aligncenter" width="490" caption=" "][/caption]


Senin, 19 Januari pukul 19.00 WIB harus dicatat sebagai hari bersejarah buat Kompasiana. Pada malam itu, Kompasiana tampil di layar kaca KompasTV dengan mengusung mata acara KompasianaTV. Ini terobosan yang kesekian kalinya sejak Kompasiana berdiri, November 2008 lalu, setelah Kompasiana tampil di Kompas.com sebagai jurnalisme hibrida dan Harian Kompas dengan nama Freez.


Mungkin sesuai namanya, Freez akhirnya dibekukan (sementara) dari Harian Kompas, padahal Freez saya maksudkan sebagai Free Magazine yang ada di Harian Kompas. Karena keterbatasan tempat dan belum ditemukannya model bisnis (iklan) yang sesuai "ruh" Kompasiana in print, Freez hilang setelah selama dua tahun mengisi lembaran khusus di Kompas. Saat Kompasiana Freez dibekukan, peringkat rubrik itu berada di urutan sembilan dari 30 rubrik yang paling banyak diminati pembaca!


Rehatnya jurnalisme hibrida yang memanggungkan laporan warga biasa yang bukan wartawan di Kompas.com dan bekunya Freez untuk sementara, nafas segar berupa inovasi baru itu tidak lain Kompasiana on TV atau singkatnya KompasianaTV. Mengapa pada Senin 19 Januari itu harus dijadikan tonggak bersejarah, sebab itulah kali pertama KompasianaTV mengudara dengan format yang benar-benar unik. Lebih mengejutkan lagi, KompasianaTV hadir lima kali dalam seminggu.


Mengapa kemudian saya sebut unik? Sebab inilah program televisi yang melibatkan beberapa blogger, dalam hal ini Kompasianer, terlibat langsung dalam sebuah diskusi dan adu argumen sehat  dengan seorang moderator (Cindy, namanya) di studio yang ditemani seorang narasumber. Pada tayangan pertama itu tampil sebagai narasumber mantan Wakapolri Komjen (purn) Oegroseno, membahas mengenai calon Kapolri Komjen Budi Gunawan yang dikenakan status tersangka oleh KPK. Lima Kompasianer bisa sekaligus tampil berkat kebaikan Google Hangouts.


Penggagas acara ini, yakni Pemred KompasTV Rosiana Silalahi dalam beberapa rapat yang saya ikuti menekankan pentingnya kekhasan KompasianaTV ini, yakni aktif dan interaktifnya para Kompasianer mengemukakan pendapatnya masing-masing atas satu isu yang dibicarakan. Saya catat pernyataan penting Rosiana, "Ruh dari KompasianaTV adalah para Kompasianer itu sendiri, bukan Cindy sebagai moderator. Cindy lebih mengatur lalu-lintas diskusi saja."


Yang kemudian muncul pada tayangan perdana itu adalah aktifnya para Kompasianer yang berkesempatan hadir, yakni Gunawan, Ben Baharuddin Nur, Nur Terbit, Hendi Setiawan, dan Pandji Pragiwaksono, dalam mengemukakan pendapat mereka. Namun demikian, mereka belum tampak interaktif. Untuk itu, interaktivitas adalah tantangan berikutnya dari mata acara ini. Memang interaktivitas dan banyaknya Kompasianer yang bicara sangat tergantung dari fasilitas fitur yang diberikan Google Hangouts itu sendiri, mengingat para Kompasianer tersebar di tempat terpisah.

Selain fitur terbatas untuk interaktivitas (idealnya sesama Kompasianer bisa saling bantah atau saling dukung argumen), kualitas koneksi internet di masing-masing tempat juga berbeda. Bahkan Gunawan, Kompasianer dari Medan sempat mengalami pemadaman listrik di kediamannya beberapa saat sebelum acara dimulai. Beruntung, saat beberapa menit acara akan dimulai, wajah Gunawan sudah terpampang kembali di layar percobaan, sebelum acara Kompasiana perdana itu benar-benar mengudara. Nur Terbit terpaksa harus dibantu orang yang paham seluk-beluk Google Hangouts.


Saya tidak akan mengulas khusus bagaimana hadirnya idea, proses persiapan dan produksi mata acara KompasianaTV yang akan disiarkan pada jam tayang premium mulai Senin hingga Jumat ini, melainkan lebih kepada "nature" yang berbeda dari kebiasaan menulis teks ke mempertahankan argumen secara lisan atas teks yang ditulis. Pendeknya dari teks ko konteks, dari tekstual ke kontekstual. Ini benar-benar sebuah tantangan dan menjadi arena adu uji-nyali argumentasi yang bermartabat bagi Kompasianer di manapun mereka bereda, dari status sosial manapun mereka berasal.


Itu sebabnya, mengapa jauh-jauh hari saya menekankan pentingnya nama jelas, bukan "pseudoname", untuk menulis di Kompasiana. Tentu bukan tidak boleh menggunakan nama samaran, akan tetapi saat wajah harus tampil  mempertahankan argumen secara verbal, mau tidak mau nama definitif dan wajah asli harus muncul. Di sinilah nyali seorang penulis diuji, apakah ia bisa mempertahankan argumennya secacara verbal, atau dia cuma sekadar "jago nulis" dan kurang mampu mempertahankan pendapat atau argumennya secara lisan. Di sini, di KompasianaTV, penulis atau komentator yang, maaf, asal "njeplak", akan berpikir dua kali saat mengeluarkan pendapatnya yang "ngasal"; asal teriak, asal menghantam orang. Topeng harus dibuka bahkan untuk sekadar memberi komentar, apalagi saat harus mempertahankan pendapatnya dan menyerang pendapat orang lain.


Ada beda prinsip antara menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan dan melisankannya dalam bahasa verbal. Ada orang yang jago di kedua-keduanya, baik bahasa tulis maupun bahasa verbal. Sekadar menyebut nama, Abdurrahman Wahid, Jalaludin Rahmat dan Emha Ainun Nadjib, adalah tiga dari segelintir orang yang baik tulisan dan lisannya sangat memikat publik. Mahbub Djunedi sangat piawai dalam menulis, tetapi datar dalam berbicara. Menulis, tentu ada jeda untuk berpikir. Bahkan bisa leluasa untuk membuka-buka kamus, ensiklopedia atau Wikipedia. Berbeda saat orang ditantang untuk berbicara. Bahkan apa yang ditulisnya sendiri, bisa lupa seketika. Apalagi saat ia harus berbicara tanpa menulis sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun