Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Soal Kebebasan Beragama, Belajarlah ke Jerman!

10 Januari 2015   23:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:24 1492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1420888465700995307

[caption id="attachment_389877" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Kompas.com"][/caption]

Dalam lawatan ke berbagai negara Eropa karena tugas jurnalistik, selain rajin mengamati bangunan fisik, keindahan taman, cantiknya wajah-wajah perempuan di sana, saya kerap mengamati sekumpulan orang yang berlalu-lalang, yang baru keluar dari stasiun kereta bawah tanah, bersiap-siap melakukan aktivitas. Di antara busana bangsa Eropa yang dikenakan, khususnya busana perempuan, kerap terselip perempuan Eropa berwajah Timur Tengah berhijab. Ini menarik perhatian saya.

Saya bisa membedakan mana biarawati yang juga sering menutup rambutnya dengan muslimah yang berhijab. Di suatu petang di Budapest, Hongaria, saya tertegun di sebuah mesjid terkunci yang konon sisa peninggalan Perang Salib. Saya gagal sholat di mesjid yang terkunci itu. Tidak ada seorangpun yang menjaga mesjid. Di Amsterdam, Belanda, dalam waktu yang berbeda, saya mengunjungi sebuah gereja besar yang baru dijual ke kelompok Muslim dengan alasan besarnya perawatan terhadap rumah ibadah tersebut, terlebih lagi konon sudah tidak banyak jamaah yang pergi beribadah. Daripada kosong melompong, akhirnya gereja berpindah tangan, kebetulan pengusaha Indonesia yang membelinya.

Mulai dari Bosnia, Budapest, Sofia, Moskow, Paris, Koln, Amsterdam, Finlandia, Andalusia, London, Roma, Istanbul, dan negara-negara di Eropa lainnya yang tidak saya sebutkan seluruhnya di sini, entah kenapa ingatan selalu hinggap di suatu masa yang jujur saya tidak mau mengingatnya; yakni masa-masa berlangsungnya Perang Salib di abad ke-13 Masehi. Jujur, saya kurang suka menulis catatan soal peperangan yang mengerikan ini, apalagi perang agama, cukup membaca buku tebal tentang perang agama itu sekadar pengetahuan. Juga saya kurang minat menulis tentang agama karena bagi saya agama sifatnya sangat personal, meski saya baca berpuluh-puluh buku tentang agama dengan penuh minat. Emosi saya harus tetap saya jaga saat membaca Perang Suci-nya Karen Armstrong, misalnya, juga kepala harus selalu dingin, tidak boleh menggelegak apalagi sampai mengepulkan asap di kepala. Maklum, subyektivisme ada tiap-tiap orang, termasuk saya meski keimanan saya tidaklah tebal-tebal amat.  Saya bukanlah seorang penganut fanatisme buta. Tetapi tujuan saya sekadar mencari tahu, sebab saya selau haus pengetahuan.

"Islamophobia", takut akan Islam, istilah ini menjadi kajian sejak lama di Eropa, khususnya sejak meledaknya Peristiwa 11 September 2001. Kalau saya baca bab-bab awal Perang Suci karangan Armstrong itu, jelas menggambarkan secara detail bahwa peristiwa itu sebagai babak baru atau kelanjutan dari "Perang Salib", meski Armstrong menyebutnya sebagai "perang suci". Peristiwa yang terjadi di daratan Amerika itu tentu saja memantik "Islamophobi" di Eropa. Di sisi lain, komunitas Muslim dunia seakan-akan lumpuh dan tak bisa berargumen tatkala cap teroris atas kasus itu diterakan kepada Islam meski yang melakukan kelompok Al Qaeda. Untuk kasus yang lebih mutakhir yakni penembakan massal di mingguan Charlie Hebdo di Paris, Perancis, meski disebut-sebut Al Qaeda Yaman sebagai pelakunya, toh telunjuk mengarah ke Islam juga. Buktinya, beberapa jam setelah peristiwa terjadi, sejumlah masjid di kota-kota Perncis seperti Le Mans menjadi sasaran perusakan.

"Islamophobi" rupanya terus berlanjut takala beberapa penggiat seni di Belanda membuat film Shar'ie dan dilempar ke Youtube, menuai kecaman tentunya, bahkan sampai merenggut korban jiwa di beberapa negara. Ada juga pemuka agama yang membakar dan merobek-robek kita suci Al Quran. Disusul pemuatan kartun yang memuat penghinaan terhadap nabi Muhammad oleh Jylland-posten, koran beroplah besar di Swedia. Jauh sebelumnya di tahun 1980-an Salman Rushdie menerbitkan novel "The Satanic Verses" yang juga dianggap menghina Nabi Muhammad. Saya menduga, masih akan banyak lagi kartun, film, video, novel, atau karya seni lainnya yang diterbitkan oleh para penggiat seni Eropa atas nama "La art pour art", seni untuk seni, yang tetap mengangkat "isu panas" yang tak pernah sepi pembaca: penistaan terhadap Nabi Muhammad!

Mungkin terlalu berlebihan jika saya mengaitkan kalau penistaan demi penistaan terhadap Islam yang tercermin lewat olok-olok dalam bentuk kartun Nabi sebagai rasa sakit hati yang tersisa akibat Perang Salib berabad-abad silam. Ya memang tidak sejauh itulah. Namun demikian, toh jejaknya masih ditabalkan di buku-buku sejarah bahkan terukir dalam karya seni patung di berbagai negara Eropa. Boleh jadi peristiwa "Black September" itu yang memantik semacam gerakan "anti-Islam" (tepatnya "Islamophobi" tadi) di berbagai daratan Eropa, khususnya Belanda dan Perancis. Terlebih lagi setelah ISIS tampil menguasai sebagian Irak dan Suriah dan banyak orang-orang Eropa yang direkrut dan bergabung dengan ISIS, ketakutan akan Islam di Eropa begitu menguat. Meski seharusnya dilihat, ISIS bukanlah satu golongan yang mewakili Islam. Dengan kata lain, wajah Islam bukanlah ISIS atau Al Qaeda.

Coba tengok Jerman sebagai negara tetangga Perancis dan Jerman. Di negeri ini "Islamophobi" tidak terlalu menampakkan diri secara vulgar, bahkan mungkin warga jerman tidak perlu merasa takut. Negeri ini mengenal Undang-undang tentang Kebebasan Beragama yang tertera di Konstitusi (Grundgesetz) mereka pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan "Die Freiheit des Glaubens, des Gewissens und die Freiheit desreligiosen und weltanschaulichen Bekenntnisses sind unverletzlich". Terjemahannya kira-kira "Kebebasan beragama dan memiliki pandangan filosofis hidup tidak boleh diganggu". Grundgesetz itu jelas merupakan dukungan bebas bergama yang harusnya diterapkan dan ditaati oleh semua penduduk Jerman.

Menurut kajian Pranata Dwi Kusuma, Jerman menerapkan toleransi beragama justru pasca Perang Salib. Budaya juga ditoleransi. Saat itulah negara-negara di Eropa lebih mengenal Islam, dan hubungan antara Jerman dan Islam pun berlanjut. Disebutkan, pada tahun 1739, Frederick Wiliam I mendirikan mesjid di Postdam, sebagai pertanda Islam mulai diterima di Jerman. Dijelaskan pula Islam pertama kali berkembang di Jerman pada abad 18 yaitu pada saat perjanjian diplomatik, militer, dan ekonomi dengan Kekaisaran Ottoman. Dua puluh tentara Muslim bertugas di bawah Frederick Wiliam I. Lalu tahun 1745, Frederick II membuat unit Muslim di tentara Prusia yang disebut "Penunggang Muslim".

Keberadaan Muslim di Jerman menurut Pranata sangat membantu pembangunan Jerman karena itulah Muslim tidak musnah hingga pemerintahan Nazi, Adolf Hitler. Munculnya Nazisme tidaklah menargetkan Muslim. "Adolf Hitler berulang kali menyatakan pandangannya bahwa Islam telah auh lebih kompatibel dengan ras Jerman dari sifat Kristen yang lebih lemah lembut," tulisnya.

Sejumlah kajian akademis yang tersebar di Eropa menyebutkan bahwa pada tahun 2050 Eropa akan jadi benua Islam, bahkan pemerintahan Jerman juga pernah menyerukan tahun 2025 nanti, Jerman akan menjadi negara dengan mayoritas Islam. Secara statitistik, penduduk muslim Jerman saat ini sebanyak 3,3 juta, masih kecil dibanding penduduk Jerman yang di atas 80 juta di mana 53 juta di antaranya penganut Kristen. Di negeri ini tidak ada kecemburuan soal jumlah atau melejitnya jumlah Muslim karena pada dasarnya orang Jerman paham konstitusi mereka. Penduduk Jerman juga tidak terlalu pusing dengan prediksi Sir George Bernard Shaw beberapa puluh tahun silam, sebagaimana ditulis Pranata, “If any religion had the chance of rulling over England, nay Europe within the next hundred years, it could be Islam.” (jika ada agama yang berpeluang menguasai Inggris, bahkan Eropa beberapa ratus tahun dari sekarang, Islamlah agama tersebut). Bahkan terhadap perkiraan yang menyebutkan 10 tahun mendatang negara itu (Jerman) akan menjadi mayoritas Islam, tidak ada gerakan aneh-aneh sebagaimana terlihat di Belanda, Perancis, atau Swedia.
Jika diletakkan di peta Eropa, khususnya yang pernah mengalami Perang Salib, boleh jadi Jerman adalah "minoritas" yang paling rawan terislamisasi, yang menjadi kekhawatiran negara-negara tetangganya. Perancis dan Belanda jelas protektif bahkan cenderung mempersulit gerak Muslim dalam beberapa hal. Harus diakui, memang ada pergeseran orientasi anak-anak muda Eropa dalam berkeyakinan dan bergama, khususnya yang berargama Kristen. Kosongnya beberapa tempat ibadah sampai harus dijual menunjukkan pergeseran itu. Orang Eropa ogah menikah buru-buru dan memiliki anak, ini masalah sejak lama. Sebaliknya, Muslim harus segera menikah dan berketurunan banyak (banyak anak banyak rezeki) dan bahkan pria Muslim bisa memiliki istri lebih dari satu (poligami). Itu dari sisi kelahiran saja, belum lagi soal "eksodus keyakinan" yang berlangsung cukup masif. Tidak aneh kalau ada semacam gerakan untuk membendung "Islamisasi" di Eropa ini lewat berbagai cara.
Tetapi untuk kasus Charlie Hebdo, saya tidak melihatnya rasa iri antaragama, dalam hal ini Kristen terhadap Islam, bahkan untuk sekadar "Islamophobi". Saya melihatnya justru olok-olok sekumpulan orang yang mungkin tidak bertuhan (atheis) terhadap siapapun yang beragama. Buktinya, siapapun yang beragama (Islam, Kristen, Yahudi) tidak luput dari satir dan sasaran olok-olok mereka dalam hal ini Charlie Hebdo. Para penggiat Charlie Hebdo, termasuk yang tewas di antara 12 korban itu, adalah mereka yang berkhidmat terhadap "kebebasan berpendapat dan berekspresi" yang mereka yakini sebagai instrumen peradaban modern dan karenanya layak dilindungi serta diapresiasi. Mereka tetap yakin "La art pour art" harus tetap dijalankan sebagai ruh dari berkesenian atau berkarya itu sendiri. Memang benar, "Ars longa vita brevis", bahwa seni lebih abadi dibandingkan umur yang demikian pendek.

Requiescat in pace!

**

Palmerah Barat, suatu petang, 10 Januari 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun