Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Semoga Indy Bukan Cooke!

9 April 2010   13:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:53 1463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_114846" align="alignleft" width="300" caption="Indy Rahmawati (Kompas.com)"][/caption] Sebagai jurnalis, saya merasa harus bicara tentang Indy Rahmawati, presenter TVOne yang kini menjadi perbincangan terkait dugaan memanipulasi narasumber. Seseorang yang seharusnya tidak prominent untuk bicara soal makelar kasus (markus), tetapi diminta bicara bahwa narasumber itu seolah-olah markus. Setidak-tidaknya demikianlah berita yang berkembang mengenai Indy. Saya menulis tentang Indy bukan karena saya pernah duduk persis di belakangnya saat ada acara di MarkPlus 11 Januari 2010 lalu dan bahkan saling bertukar kartu nama, tetapi karena ini persoalan etika jurnalistik. Saya masih berprasangka baik, semoga apa yang dilakukan Indy selaku presenter bersama timnya, bukan merupakan kerja jurnalisme rekayasa, yang berakibat pada tudingan melakukan kebohongan publik, bahkan menipu publik, setidak-tidaknya pemirsa TVOne. Akan tetapi, jika Indy benar melakukan pelanggaran etika dengan merekayasa narasumber, saya menjadi teringat peristiwa klasik yang sangat melegenda dalam dunia jurnalistik, yakni kasus Janet Cooke. Cooke yang nama lengkapnya Janet Leslie Cooke (kini berusia 56 tahun) adalah wartawati yang dinyatakan sebagai pemenang hadiah bergengsi Pulitzer tahun 1981. Cooke menulis laporan fiktif berjudul Jimmy's World, yakni kisah seorang anak berusia delapan tahun yang digambarkan Cooke sebagai pecandu kokain atau obat bius. Tulisannya dimuat di koran bergengsi The Washington Post, 29 September 1980. Lewat guru jurnalistik saya, Pak Luwi Iswara, saya mendengar cerita tentang Cooke dengan tokoh fiktif Jimmy ini, yang digambarkan Cooke sebagai anak kecil yang kulitnya penuh cacahan jarum suntik kokain. Tulisan itu sedemikian menggetarkan banyak pembaca, yang kemudian jatuh simpati kepada Jimmy, termasuk walikota Washington saat itu. Sang walikota meminta polisi mencari dan menjemput Jimmy untuk sebuah pengobatan, tetapi polisi gagal menemukan Jimmy, karena Jimmy hanya tokoh rekaan Cooke semata. Bisa ditebak akibat kebohongan yang dilakukan Cooke. Ia harus mengembalikan hadiah Pulitzer kepada panitia dan mengaku terus terang kalau dirinya sudah merekayasa narasumber untuk membuat laporan fiktif. Cooke telah merekayasa seakan-akan Jimmy adalah nyata, padahal fiktif belaka! Sekali lagi, andai apa yang dilakukan Indy adalah kebohongan publik dengan memanipulasi narasumber, rasanya apa yang dilakukannya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan Cooke, meski dengan varian yang sedikit berbeda. Indy, sebagaimana dugaan pihak kepolisian dan pengakuan si narasumber palsu (Andris Ronaldi), memanipulasi narasumber agar berperan sebagai markus padahal dia bukan markus. Sedangkan Cooke telah menghidupkan tokoh fiktif, anak kecil pecandu obat bius bernama Jimmy, seolah-olah anak itu hidup dalam dunia nyata. Namun demikian, apa yang dilakukan Indy (jika benar memanipulasi narasumber) dan Cooke, sama saja, yakni berbohong! Berbohong, dengan sendirinya membohongi publik (pembaca maupun pemirsa), sama-sama melanggar etika jurnalistik. Sangat terlarang dalam jurnalistik. Sanksi terhadap keduanya, Indy dan Cooke, juga sama-sama berat. Dalam kasus Indy, ia bisa dikeluarkan secara tidak terhormat oleh TVOne (kecuali ia disuruh produser atau pemilik televisi tersebut dengan tujuan menaikkan rating semata), bahkan Indy harus berurusan dengan polisi yang merasa nama lembaganya dicemarkan oleh keterangan markus jadi-jadian yang ditayangkan dalam acara Indy, dua pekan lalu. Cooke, selain harus dikeluarkan secara tidak terhormat oleh koran bergengsi itu, dia harus mengembalikan hadiah Pulitzer serta harus menanggung beban rasa malu yang berkepanjangan atas "kreativitas"-nya itu, yakni "kreativitas" dalam membohongi publik. Kepercayaan publik, pembaca The Washington Post dan pemirsa TVOne, bisa saja runtuh atas peristiwa terbongkarnya narasumber palsu ini. Koran bergengsi di Amerika itu langsung meminta maaf kepada publik dan menyatakan tulisan itu tidak pernah ada dan tidak pernah termuat. Sedangkan untuk kasus Indy, TVOne belum bersedia meminta maaf karena apa yang dilakukan presenternya adalah benar, bukan kebohongan publik, setidak-tidaknya sampai tulisan ini diturunkan. Alih-alih meminta maaf, TVOne masih berupaya membela diri, karena taruhannya soal integritas, kredibiltas dan kepercayaan publik. Alhasil, Indy masih tetap akan menghiasi pemberitaan media dalam hari-hari mendatang, baik media cetak, online, maupun elektronik. Saya sebagai sesama jurnalis dan insan pers hanya berharap, semoga Indy bukanlah Cooke.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun