[caption id="attachment_232949" align="aligncenter" width="620" caption="Andi Mallarangeng/Herudin (Tribunnews)"][/caption] Cafe internet di pusat kota Helsinki itu nyaman dan hangat. Tidak sampai setengah jam saya membuat berita. Sebagaimana kebiasaan, saya harus membaca kembali (rereading) dan bahkan menulis kembali (rewriting) apa-apa yang sudah saya tulis. Secangkir coffee latte panas yang saya pesan menjadi teman sejalan tatkala saya melakukan proses editing sebelum berita dikirim ke Jakarta. Setelah yakin beres dari sisi logika maupun akurasi kalimat dan kata-kata, saya menekan "enter" yang memungkinkan berita itu segera diterima di Jakarta. Tenggat waktu masih bisa terkejar dan terpenuhi dan kalau berita itu cukup "bernilai", pastilah editor di Jakarta, Myrna Ratna, akan meloloskannya. Berikut berita yang saya buat dari Helsinki: ANGGOTA KPU TUNTUT GAJI RP 10 JUTA PER BULAN HELSINKI, KOMPAS - Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) wakil pemerintah Andi A Mallarangeng mengungkapkan, sejumlah anggota KPU wakil partai politik (parpol) menuntut gaji Rp 10 juta per bulan selama duduk di KPU. Kalau jumlah itu tidak disepakati, mereka menuntut digaji sama dengan anggota DPR, atau sekitar Rp 5 juta per bulan. Mallarangeng mengungkapkan hal ini kepada wartawan Kompas Pepih Nugroho di Helsinki, Senin (21/3), saat meninjau pelaksanaan pemilu di Finlandia. Mallarangeng tidak bersedia menyebut nama anggota KPU dimaksud. Tetapi dia menilai, permintaan sejumlah anggota KPU wakil partai itu tidak realistis, mengingat keuangan pemerintah yang tidak memungkinkan. Menurut mantan anggota Tim Sebelas ini, pemerintah memang menyediakan fasilitas berupa gaji dan mobil bagi 53 anggota KPU, tetapi berapa besarnya belum dapat diputuskan. "Saya dengar pemerintah hanya bisa menganggarkan Rp 2 juta per bulan bagi setiap anggota KPU, itu pun belum diputuskan," katanya. Menurut Undang-undang No 3/1999 tentang Pemilihan Umum, anggota KPU akan bekerja sampai satu tahun sebelum pelaksanaan Pemilu 2004 mendatang. Dengan demikian, masa kerja KPU sekitar empat tahun. Rp 100 juta Berbicara soal dana kampanye, Mallarangeng yang tiba di Helsinki Sabtu menegaskan, pemerintah belum dapat memastikan berapa besar setiap partai peserta pemilu yang berjumlah 48 itu akan menerima dana kampanye. Akan tetapi diakui, ada sejumlah pimpinan partai yang menuntut Rp 750 juta. Dikatakan, isu dana kampanye sebesar itu sudah "merasuk" ke dalam pikiran pimpinan partai sehingga dia mengaku dikejar-kejar. "Saya nggak ngerti darimana mereka mendengar isu Rp 750 juta dana kampanye itu. Jelas ini mustahil," katanya. Meskipun demikian, Mallarangeng sedikit memberi kabar baik kepada partai peserta pemilu. Alasannya, pemerintah akan memberi dana kampanye kepada masing-masing partai, meskipun jumlahnya belum dapat dipastikan. "Yang pasti ada," tambahnya. Apabila ada dana dari luar negeri dan keuangan pemerintah memungkinkan, lanjutnya, kemungkinan setiap partai memperoleh dana kampanye paling banyak Rp 100 juta. "Tetapi ini baru perkiraan lho," katanya. Dalam Pemilu 1997, pemerintah menyediakan dana Rp 500 juta bagi tiap organisasi peserta pemilu. *** Demikian berita itu saya buat, saya kirim sampai kemudian dimuat Harian Kompas esok harinya, Senin 22 Maret 1999 halaman 6. Tidak disangka-sangka, berita itu menyebabkan kegemparan dan kehebohan luar biasa di Jakarta. Ada "tsunami kecil" akibat bola panas yang dilemparkan anggota KPU wakil parpol dan dimotori oleh Sri Bintang Pamungkas itu. Dari Finlandia, saya pantau keriuhan politik itu lewat media online yang menindaklanjutinya. Sejumlah stasiun televisi mulai bergerak ke Kantor KPU di Jalan Imam Bonjol untuk mencari sejumlah anggota KPU wakil parpol yang meminta kenaikan gaji dua kali lipat dari gaji anggota DPR. Lantas, apa reaksi Andi Mallarangeng di Helsinki menanggapi berita itu? Apa sikap dan tindakannya terhadap saya yang masih sama-sama berada di Helsinki? Bagaimana pula reaksi rekan-rekan rombongan khususnya wartawati kantor berita Antara yang pasti merasa kecolongan? Bagaimana reaksi Ketua KPU Rudini di Jakarta sampai-sampai dia menelepon langsung Andi ke Helsinki?
Ketika melanjutkan serial jurnalistik saya dengan Andi Mallarangeng, Jumat (7/12/2012), yang bersangkutan baru saja menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengundurkan diri sebaga menteri pemuda dan olahraga, sekaligus mundur sebagai sekretaris dewan pembina Partai Demokrat.
Saya hargai sikapnya yang "gentleman" dan kooperatif setelah KPK menetapkannya sebagai tersangkas kasus bancakan proyek Hambalang. Dalam hati, dua alumnus Finlandia, yakni Andi Mallarangeng dan Widjanarko Puspoyo, sama-sama merasakan dinginnya jeruji besi penjara dengan nama baik yang sudah tidak bisa diamputasi lagi di kemudian hari. Beda jauh antara tahanan politik dan tahanan koruptor, ibarat langit dan comberan. Tentu saja alumni Finlandia masih ada Muhaimin Iskandar, Anas Urbaningrum, Eep Saefulloh Fatah, Dimly, dan saya tentunya. Bukan Andi Mallarangeng yang kini menjadi tersangka KPK untuk kasus Hambalang yang saya bicarakan dalam tulisan ini, melainkan Andi yang pada 13 tahun lalu masih menjabat sebagai anggota KPU wakil pemerintah. Khususnya lagi, Andi yang menjadi berita di Jakarta akibat berita yang saya buat dari Finlandia. Waktu Helsinki saat itu masih menunjuk angka 7 pagi, yang berarti pukul 14.00 WIB di Jakarta. Usai sarapan sendiri di restoran hotel, saya beranjak untuk kembali ke kamar hotel melalui lobi. Akan tetapi, saya melihat Andi Mallarangang di sana. Wajah yang biasa berseri-seri, saat itu menguap ditelan tampias gerimis hujan pagi yang menyelusup lobi. Wajah yang bertekuk seperti menahan amarah, dan kumisnya yang tebal tampak seperti tergetar. "Pep, sini sebentar!" pintanya memanggil nama saya. Di sekitar Andi sudah ada Anas, Muhaimin, Widjanarko, Dimly, Eep, dan seingat saya Meutia, wartawati Antara. saya baru tersadar, ternyata saya hanya sendiri terpisah dari rombongan. Saya sudah menduga dan memperkirakannya. Dengan tangan yang terbenam di saku jaket, saya menghampiri kerumuman itu. Semua berwajah tegang, terlebih lagi wajah Andi Mallarangeng tentunya. Ketika lebih mendekat, saya langsung disambar dan disembur kata-kata makian. Oalah...
(Bersambung)
***
Tulisan juga bisa diikuti di Nulis bareng Pepih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H