Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Reportase Investigasi Versi Warga, Mengapa Tidak?

18 November 2015   11:43 Diperbarui: 18 November 2015   16:16 1113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya membaca artikel di Harian Kompas, Rabu 18 November 2015 hari ini, berjudul "Jurnalisme Investigasi, Obat Awet Muda Media Lama". Artikel ditulis oleh P Hasudungan Sirait dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Inti dari tulisan itu, ketika informasi cepat dan terkini sudah bisa didapat dengan mudah pada beragam media sosial melalui berbagai jenis gawai (gadget), yang "tersisa" buat media lama (dalam hal ini media cetak dan bahkan media online) hanyalah jurnalisme investigasi itu.

Jurnalisme investigasi sejatinya memang milik media arus utama. Ia merupakan kerja jurnalistik paling "adiluhung" yang dilakukan ramai-ramai, kerja tim, dan tidak mungkin dilakukan sendiri oleh wartawan, sehebat apapun dia. Ada ketua tim dan anggotanya dengan waktu investigasi yang ditentukan. Bisa hanya beberapa hari, beberapa minggu, bahkan beberapa bulan. Dalam batas-batas tertentu, penyamaran boleh dilakukan dalam jurnalisme investigasi ini.

Menurut artikel tersebut, kehadiran media sosial yang dianggap sebagai media baru (dengan demikian dibandingkan dengan media lama), harus diantisipasi. Bukan dimusuhi, tetapi harus didekati. Kalau tidak, senjakala surat kabar akan segera tiba. Jujur, saya akan selalu melawan kata-kata "Senjakala" ini, sebagaimana saya pernah "melawan" satu tulisan di Harian Kompas tahun 2008 mengenai telah tibanya "Senjakala blog". Artikel itu ditulis rekan Amir Sodikin dan sempat saya bahas di buku yang saya tulis "Kompasiana Etalase Warga Biasa (Gramedia Pustaka Utama, 2012). Toh buktinya "senjakala blog" itu tidak pernah terjadi. Selagi ada media sosial, kegiatan menulis di media tersebut, tetap bisa dinamakan blogging atau bahasa popnya "ngeblog". Demikian juga dengan istilah "Senjakala surat kabar", tetap saya "lawan". Bukan karena saya masih tercatat sebagai wartawan Harian Kompas yang mengambil bentuk cetak sejak kelahirannya, melainkan adanya bukti empiris bahwa kehadiran media baru tidak lantas menggusur atau menggantikan media lama.

Baiklah, fokus ke judul yang saya buat, "Reportase Investigasi Versi Warga, Mengapa Tidak?", saya mengindikasikan bahwa warga biasa pun yang bukan wartawan profesional di media arus utama, bisa menjadi "reporter investigatif" (sengaja saya tidak menggunakan istilah "jurnalis" untuk warga). Caranya? Ya dia bekerja sendiri!

Berbeda dengan jurnalis investigatif media arus utama yang membentuk tim investigasi, warga yang bermaksud melaporkan suatu ketimpangan, penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan, kesewenang-wenangan, dan lain-lain kebrobrokan sosial lainnya, bisa melakukannya secara mandiri. Mengapa harus selalu "lumpur kotor" yang dilaporkan? Ya, karena itulah nafas atau inti dari jurnalisme investigasi, "mudcrackers". Media apa untuk melaporkan hasil investigasi? Ya, media sosial itu sendiri, bisa di blog pribadi, atau blog sosial seperti Kompasiana.

Warga bisa melaporkan reportasenya secara terang-terangan atau bisa juga dalam batas-batas tertentu menggunakan nama samaran (nickname). Kompasiana adalah media warga yang beberapa kali "mengguncang" publik dengan laporan-laporan bocoran hasil investigasi warga. Demi keamanan, penulis warga biasanya menggunakan nama samaran atau bukan nama sebenarnya. Ada beberapa laporan yang menjadi pembicaraan publik seperti "Razia mie instan di Tawain", "Rumah Kaca Abraham Samad", "Jilbab Hitam", "Plagiat Guru Besar UGM", "Foto Gayus Tambunan", "Korupsi di TNI Angkatan Udara" dan lain-lain. Semua tulisan yang mengguncang publik dan karenanya ramai diberitakan media arus utama itu sejatinya berasal dari warga biasa yang menulis di media sosial Kompasiana!

Jadi, merujuk ke artikel Sirait yang saya bahas ini, sebenarnya jurnalisme investigasi itu bukan sekadar obat awet muda media lama, tetapi juga obat "pembangkit gairah muda" media baru! Mengapa demikian? Sebab warga biasa bisa berperan dalam melaporkan ketimpangan atau kecurangan yang ada di sekitarnya, di tempat kerjanya, bahkan di rumahnya, yang dilakukan oleh orang-orang yang "menyimpang", baik merugikan dirinya maupun orang lain, apalagi merugikan orang banyak. Warga bisa menuliskan laporan investigasinya menggunakan media sosial, bahkan dengan menggunakan nama samaran. Itu sebabnya dalam batas-batas tertentu, selaku admin di Kompasiana, saya memperbolehkan akun dengan nama samaran. Ada manfaatnya. Informasi berharga yang tidak bakal diketahui publik kalau dia (penulis warga) tidak melaporkannya, akhirnya bisa diketahui publik secara luas. Toh yang terpenting pesannya sampai.

Intinya, laporan investigasi versi warga mengenai berbagai ketimpangan dan kecurangan yang terjadi di sekitar mereka, adalah "gairah baru" bagi para penulis warga.

***

Palbar, 18 November 2015

Ilustrasi: shutterstock

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun