Saya ingin mengakhiri catatan perjalanan ini dengan cara mengingatnya, bukan seperti Nana Mouskouri dalam senandung “Je finirai par l’oublier”, saya akan mengakhirinya dengan cara melupakannya. Tidak. Saya justru akan mengakhiri cerita ini dengan cara mengenangnya, “je me finirai par le souvenir”.
Maka, perjalanan saya akhiri dengan sebuah catatan yang lebih pribadi, lebih bersifat pergolakan batin, meski tidak lepas dari rangkaian perjalanan atas prakarsa PT Freeport Indonesia, mulai mengobok-obok Timika sampai menyaksikan Festival Danau Sentani. Boleh dibilang, ini bonus dari sekadar perjalanan lahir, yakni perjalanan batin atau tetirah spiritual.
Suara di atap ponsel yang saya lekatkan ke telinga kiri itu seperti tidak yakin kalau sayalah si empunya suara. Berulang-ulang suara di ujung sana ingin meyakinkan bahwa sayalah si pemilik suara. “Ya, ini saya, Bi, saya sudah ada di Jayapura,” kata saya seraya menyebut Swiss Belhotel tempat saya menginap.
Kemudian saya bercerita kalau saya sedang dalam tugas dari Timika ke Jayapura dengan tujuan melihat kegiatan Festival Danau Sentani dan ingin bertemu pasangan paman-bibi yang sudah selama tujuh tahun mengembara di tanah Papua. Keesokan harinya, paman-bibi dan seorang gadis belia yang belum saya kenal datang menjemput di pelataran hotel. Saya memeluk mereka erat dan berusaha menahan agar air mata tidak mengembang. Saya menyembunyikannya.
Berbicara singkat di lobi hotel untuk kemudian saya putuskan turun bersama paman-bibi. Saya ingin mengunjungi kediaman sekaligus tempat mereka berjualan. Di hari yang beranjak siang itu, sebuah mobil Nissan Terano hitam masih mulus yang dikemudikan paman meluncur dari ketinggian Jayapura di atas perbukitan menuju dataran lebih rendah, Sentani. Melalui mobil ini saya bisa sekilas menilai, paman-bibi telah menemukan kehidupannya di Papua. Syukurlah. Saya duduk di samping paman yang memegang kemudi dan selagi kendaraan meluncur turun, seribu kenangan masa silam datang menjelma.....
Paman yang sedang saya ceritakan ini bernama Yusuf. Karena dia adik almarhum ayah, saya memanggilnya Mang Ucup. “Mang” yang bermakna “paman” adalah panggilan untuk paman. Saya coba merunut kembali anak-anak pasangan Haji Sobari-Enah secara berurut; Ua Nana, Lili Sumarli (ayah), Ua Yoyoh, Bi Popoh, Bi Jeje, Mang Iyon, Bi Iyet, Mang Engkos, Bi Cucu, Mang Yusuf (Ucup), Bi Cacih, dan Bi Entut. Semuanya 12 kakak-beradik dan kepada semuanya saya kenal baik. Dengan si bungsu Entut, usia saya sebaya.
Pasangan kakek saya dari pihak ayah, Sobari-Enah, adalah petani tulen yang hidup dari bertani dan membesarkan anak-anaknya dari hasil bumi, mengikuti pola buyut saya, Eyang Haji Nur. Sebagai salah seorang cucu Sobari, saya pernah mencatat saat-saat di mana pada masa kecil harus pergi mengantarkan makanan dan minuman ke sawah untuk makan siang “Aki”, demikian saya memanggil Sobari kakek saya itu. Sayur kentang berkuah santen campur lombok merah yang sudah digerus, bakar ikan peda merah yang masih panas, petai bubuy yang merekah, nasi putih yang pulen, plus teh hijau panas di dalam teko, itulah hidangannya.
Prosesi membawa makanan ke sawah itu disebut “nganteuran” dan kalau musim “ngawuluku” tiba, besar kemungkinan saya mendapat serenceng belut segar yang tergali ke luar dari sawah yang sedang diolah. Bahkan kadang saya naik di atas wuluku di belakang pantat kerbau. “Kiyaaaa.... miderrr....,” demikian tukang wuluku menyemangati kerbaunya agar terus berjalan mengelilingi sawah sampai tanah benar-benar terolah dengan baik dan siap ditanam.
Dari 12 anak-anak Sobari, hanya satu anak yang boleh dibilang “anomali”, yaitu ayah sendiri yang menjadi guru, yang juga berjodoh dengan guru, Enok Suhayah, ibu saya sendiri. Selebihnya kalau tidak bertani, ya berdagang mengkreditkan barang, mengembara di rimba Jakarta. Profesi “tukang kiridit” pun melekat.
“Kiridit” tidak lain “kredit”, sebuah model usaha di mana pedagang menjual barangnya kepada konsumen dengan cara menyicil. Dulu “tukang kiridit” sering dijadikan olok-olok. Sekarang malah dijadikan model perniagaan modern. Tidak ada penjual yang tidak mengkreditkan barang-barangnya, dari barang elektronik, kenderaan bermotor, sampai apartemen. Semua dikredit, bukan? Jadi, berterimakasihlah kepada orang Tasikmalaya yang memelopori cara berbisnis ini!
Adapun saya, pernah mengalami tiga “gelombang peradaban”, yakni belajar bertani dan belajar berdagang, khususnya bagaimana orang-orang Tasikmalaya seperti paman-paman saya ini menjadi “tukang kiridit” di Jakarta. Sementara “peradaban” lainnya, yakni belajar di bangku sekolah, saya lakukan sebagai sebuah kewajiban atas arahan dan tanggung jawab orangtua sebagai guru. Tani-dagang-kantoran, itulah tiga “gelombang peradaban” yang membentuk karakter saya sampai sekarang.