Surat Pembaca:
Assalamualaikum… Pagi Kang. Maaf sedikit mengganggu. Saya punya sebuah kisah pribadi kehidupan Muda-mudi Kang, dan saya merasa kisah itu akan sangat bagus apabila ditulis ulang dan dibagi kepada pembaca dalam bentuk Novel/Fiksi. Nah disini saya bingung Kang, saya bukan penulis dan tidak punya ilmu menulis. Dan disini sejak saya kenal kompasiana 2009 silam (walau hanya jadi pembaca), dan mengenal nama Kang Pepih sebagai wartawan senior dan tentunya punya ilmu tentang tata cara menulis yg baik. Kalau boleh saya mau bertanya dan minta pendapat/saran, tentang bagaimana cara menuliskan itu dengan saya (penulis) menjadi tokoh utama dalam cerita itu. Bagaimana cara menulis kalimat awal biar pembaca juga masuk dalam kisah itu. Sebelumnya terima kasih saya ucapkan Kang. Semoga Kang Pepih sudi menjawab ini dengan sebuah Artikel. (tapi jangan menyebut nama saya yang meminta artikel itu ya Kang) wassalam, *u*u* Jawab: Waalaikum salam.... Pagi, juga, semoga kita semua berada dalam lindungan-Nya. Saya teringat sastrawan yang saya suka karena kelugasannya berbahasa, Utuy Tatang Sontani. Bukan karena dia sesama orang Sunda (orang Cianjur), tetapi lebih karena kuatnya yang bersangkutan menulis tokoh aku dalam novel dan cerita-cerita pendeknya. Sungguh mempesona. Tokoh aku sebagai orang pertama (first person, atau aku, saya, beta) demikian memukau, seakan-akan saya dipaksa masuk ke dalam ceritanya. Apa pengakuannya dalam berkarya dan menulis cerita sedemikian lancar, jawabannya mengejutkan: ASMARA. Saya tercenung juga membaca pengakuannya yang sederhana, tanpa tedeng aling-aling, dan bukan sesuatu yang tabu untuk disembunyikan. "Pengalaman asmara yang saya rasakan dengan sendirinya menciptakan gairah menulis yang tak pernah padam," demikian kira-kira pengakuannya dalam sebuah buku. Asmara adalah cinta, dan cinta tidak lain asmara. Ini adalah muara semua cerita. mau film Hollywood, Bollywood, dan bahkan Tangkiwood zaman Tan Tjeng Bok, semua berpucuk pada cinta atau asmara. Mau Romeo dan Juliet karya Shakespeare, Romoe-Juliet van Java "Srintil-Rasus" karya Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk, maupun Laila-Majenun, semua bermuara pada cinta dan asmara yang membara. Jangan lupa, Pramoedya Ananta Toer juga bercerita tentang cinta yang dahsyat dalam novel "Arok"! Menulis dengan tokoh "aku" sebagai pelaku utama cerita, adalah wajar dan bagi saya pribadi, saya lebih lancar menuliskannya dibanding kalau saya menggunakan "third person", orang ketiga atau ia, dia. Mengapa? Karena kata "aku" seakan-akan mewakili pengalaman pribadi saya, meski sebenarnya khayalan belaka. Karena seakan-akan mewakili suara hati saya, maka menuliskannya dengan sangat lancar dibanding kalau saya menggunakan orang ketiga sebagai tokoh cerita. Hanya yang perlu saya ingatkan saat menggunakan tokoh "aku" sebagai pelakon utama, jangan terjebak romantisme berlebihan, juga tidak mengeksploitasi egosentris, seakan-akan asyik sendiri dengan dunia diri sendiri, tanpa menghiraukan pembaca yang mungkin berkurang minatnya akibat bosan. Naratif tetap menjadi pegangan dengan menggunakan kata "aku" sesekali saja. kalau terlalu banyak "aku"-nya dan bertebaran di hampir semua paragraf, jelas ceritanya sangat membosankan. Lama-lama pembaca mungkin ngedumel, "Apa perlunya tahu tentang kamu!" Tidak ada cara terbaik untuk menulis cerita menggunakan tokoh "aku" selain membaca dan banyak membaca novel atau autobiografi. Saya sarankan Anda membaca buku "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu", memoar Pramoedya Ananta Toer, yang menggunakan tokoh "saya" atau "aku" sedemikian memikat. Juga baca-baca roman karya sastrawan lama, yang biasanya sangat memukau dan menginspirasi kalau sudah menggunakan orang pertama sebagai tokoh utama cerita, seperti Utuy Tatang Sontani itu tadi. Bagaimana cara terbaik dalam menuliskannya? Jawabannya tidak lain: MULAILAH menulis! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H