Gitaris I Wayan Balawan naik ke atas pentas setelah Andy Owen sebagai master of ceremony memanggilnya. Ia mengenakan baju khas Bali lengkap dengan sarungnya, ikat kepala terbuat dari kain batik membalut separuh bagian atas kepalanya hingga pertengahan kening. Tampil tanpa sandal, Balawan juga bermain tanpa suara, tanpa kata-kata. Ia menggamit gitar leher dua (double neck) yang menjadi ciri khasnya tatkala ia berpentas di manapun. Pada malam ia tampil, Sabtu (30/6/2012), ia tidak menyapa penonton Extra Ordinary Guitar in Concert di Gedung Titan Bintaro, sebuah konser tiga gitar dengan tiga aliran berbeda, rock (Andy Owen), klasik (Jubing Kristianto), dan jazz (Balawan). Ia sibuk berkomunikasi dengan guitar customize-nya, gitar leher dua yang lebih kecil dan simple dibanding gitar-gitar serupa sebelumnya yang pernah ia gunakan. Balawan tidak seperti kebanyakan gitaris besar negeri ini, khususnya gitaris yang berkhidmat pada musik jazz yang sering mendera dawai-dawai dengan sabetan, kocokan, atau betotan jemari. Kali ini Balawan benar-benar memperlakukan dua leher gitar itu dengan sentuhan-sentuhan halus. Tidak salah kalau dia lebih suka menyebut teknik permainannya sebagai “touch” (sentuhan) daripada “tap” (ketukan) sebagaimana yang dikenal selama ini. Nama teknik permainannya sendiri disebut “touch tapping style”. Sentuhan dan ketukan akan mengeluarkan bunyi yang berbeda. Bahkan ketika lagu “What a wonderful world” sebagai lagu pertama dihadirkannya ke ruang konser, sekian bar intro penonton masih meraba-raba, komposisi apa gerangan yang sedang dimainkannya. Nada-nada yang dihasilkannya seperti gemericik air terjun menimpa permukaan bebatuan, atau suara gemericik air mengalir di sungai berair deras. Sebelumnya, Andy Owen, MC yang juga gitaris rock, memang tidak mengabarkannya kepada hadirin komposisi apa gerangan yang bakal dimainkan gitaris kelahiran Gianyar Bali, 9 September 1973 ini. Barulah setelah melodi “and I think to myself, what a wonderful world” disentuh, orang segera tersadarkan; "Oh, lagu itu toh!" Komposisi pertama yang dimainkannya diganjar penonton dengan tepuk tangan tanpa putus hampir setengah menit lamanya. Sebuah penghormatan hadirin penikmat konser yang memenuhi auditorium Titan. Tepuk tangan baru berhenti tatkala Balawan mulai beralih ke komposisi yang dibuatnya, yang terdapat pada album pertama, “Mainz in My Mind”. Boleh dibilang, inilah salah-satu karya masterpiece Balawan, sebuah komposisi yang terdapat pada album “GloBALIsm” memang diperuntukkan untuk gitar dua leher yang sangat sulit ditiru. Kecuali orang yang memiliki album permainan gitarnya, penonton tentu tidak mengenali lagu tentang kota Mainz di Jerman yang ia terjemahkan dalam nada-nada yang diciptakannya itu. Uniknya, penonton tetap saja mengganjar Balawan dengan applause meski barangkali tak kenal nada-nadanya. Mungkin saja penonton mengagumi teknik permainannya yang sulit, cepat dan saling-silang itu untuk applause kali ini. Dan, tepuk tangan mulai mereda dan senyap tatkala Balawan mulai angkat bicara. “Di sini dingin sekali, ya? Mana saya nggak pake sandal lagi,” kata Balawan setelah satu komposisi selesai dimainkannya. Sebuah sapaan beraksen Bali yang spontan membuat penonton tertawa. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H