“Kepala suku pada masa lalu bisa punya istri sepuluh, bahkan belasan.”
“Sebagai kepala suku, berapa istri Pak Nabinus sekarang?”
“Dari dulu juga cuma satu.”
“Jadi Pak Nabinus menyesal hanya beristri satu?
“Eh tidak.... karena agama (Katolik) melarang saya beristri banyak!”
Demikian percakapan saya dengan Nabinus, kepala suku Kamoro yang menjadi duta seni di Festival Danau Sentani. Bersama 24 rekan sesama suku Kamoro lainnya, Nabinus sengaja diterbangkan dari Kabupaten Mimika ke Sentani di Jayapura sejauh 478 kilometer.
Perjalanan untuk menerbangkan rombongan besar duta seni suku Kamoro yang disponsori PT Freeport Indonesia ini menggunakan pesawat udara dan memakan waktu satu jam penerbangan. Kontingen besar ini hadir untuk memeriahkan Festival Danau Sentani (FDS) ke-9 yang berlangsung 19-23 Juni 2016.
Bagi Nabinus dan juga Fransisca yang menemani bincang-bincang saya di anjungan perusahaan tambang di Tembagapura mengaku, ini adalah perjalanan terjauh yang pernah mereka lakukan di Papua. “Ke Jakarta malah sering,” kata Nabinus dalam bahasa Indonesia yang fasih. “Saya nari-nari saja di Jakarta, ya... tari Eraka tadi itu.”
Bersama kelompok penari yang seluruhnya berjumlah 25 anggota suku Kamoro, mereka baru saja mementaskan sebuah tarian “Ikan” dan mendapat sambutan meriah hadirin di kawasan Danau Sentani yang asri. Penari pria yang bertelanjang dada dengan hiasan yang memenuhi wajah dan tubuh mereka dan penari wanita yang menutup tubuh bagian bawahnya dengan rumbay, terbagi dalam dua kelompok.
Di atas panggung dengan latar belakang pegunungan dan Danau Sentani yang membiru, sore itu kedua kelompok “bertengkar” seru. Jangan salah, bertengkar dalam tarian tentunya. Mereka berjingkrak-jingkrak ritmik tanpa tetabuhan ramai kecuali tifa, hanya peralatan perang yang mereka bawa. Agar gerakan tubuh ritmik tetap terjaga, teriakan “wei...wei...wei...” yang memekakkan telinga menjadi “musik” pengiring yang menggantikan fungsi dirigen.
Meski terlihat sederhana berupa gerak ritmik ala Papua dan teriakan-teriakan tanpa makna bagi yang tidak memahaminya, pentas tari suku Kamoro mendapat sambutan meriah dari berbagai suku Papua yang hadir di FDS ini, khususnya suku Sentani yang mendiami wilayah sekitar danau. Bupati Jayapura Mathius Awoitauw yang hadir di festival itu terlihat antusias menyaksikan tarian rakyat ini.
Usai pementasan, saya bertanya kepada Nabinus yang merupakan ketua kelompok tentang makna dari tarian “ikan” yang di sepanjang tarian seperti bertengkar dan hendak berperang itu. Nabinus menjelaskan, sebagai penduduk pesisir kehidupan mereka tidak pernah lepas dari laut dan ikan. Laut dan ikan yang hidup di dalamnya adalah nafas penduduk Kamoro.
Sepanjang pelaksaannya sejak pertama kali dilangsungkan tahun 2007, PT FI, sebagaimana dijelaskan Vice President Corporate Communication Riza Pratama, selalu berpartisipasi dalam FDS baik dalam bentuk finansial maupun pengiriman duta kesenian sebagaimana pentas seni-budaya suku Kamoro. Hal ini selaras dengan tema FDS kali ini, yaitu “Satu dalam Keanekaragaman Meraih Kejayaan”.
Keanekaragaman memang melekat pada Papua dan seisinya, baik keanekaragaman budaya, suku, dan keanekaragaman hayati. Kamoro hanyalah satu dari 25 suku besar Papua seperti halnya Amungme, Dani dan Asmat yang dalam kreasi budaya khususnya seni pahat dan tarian telah lama dikenal luas. Dari 25 suku besar itu terdapat sekitar 500-an suku lainnya dengan budaya dan bahasa yang berbeda.