Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kata Jokowi, JK Keliru soal Tatto Susi Pudjiastuti

22 Mei 2015   14:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:43 15155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1432269547713664120

[caption id="attachment_419290" align="aligncenter" width="620" caption=" Saya sebagai moderator di acara Kompasiana Modis, saat Jokowi masih Gubernur DKI"][/caption]

Joko Widodo dikenal sebagai Presiden RI gaul dan blak-blakan dalam bicara. Jangankan dalam acara informal seperti saat silaturahmi dengan 14 Kompasianer di Istana Negara, Selasa 19 Mei 2015 lalu, bahkan dalam acara formal kenegaraan pun sifat gaul dan “slengekan”-nya terkadang muncul.

Maka undangan makan siang Presiden RI bagi para penulis warga Kompasiana itu pun tidak lepas dari gabungan antara formal dan informal. Kadang serius, kadang pula penuh gurauan. Satu hal yang saya tangkap, sebagai salah seorang yang diundang makan siang ke Istana Negara, Jokowi jauh lebih terbuka bila berhadapan dengan warga biasa (penulis warga) dibanding saat berhadapan dengan wartawan dari media arus utama.

Eitsss.... nanti dulu. Kok bisa-bisanya membandingkannya begitu? Ya, karena saya pribadi masih tercatat sebagai jurnalis di Harian Kompas, tetapi sejak enam atau tujuh tahun lalu saya didapuk keluar dari “zona nyaman” untuk membabat hutan dan padang ilalang, menemukan ladang usaha (media) baru bernama Kompasiana. Saya yakin, Jokowi dan Teten Masduki sebagai tim komunikasinya, tidak bakal menyangka bahwa dalam pertemuan warga di Istana Negara itu ada “agen ganda”; ya penulis warga Kompasiana, ya wartawan Harian Kompas. Untuk yang satu ini, Presiden RI dan timnya kalah cerdik dengan pendiri Kompasiana, bukan? Hahaha....

Meski saya menempatkan diri sebagai warga biasa, penulis warga, toh naluri jurnalistik saya tetap bekerja. Saat memasuki ruang Istana Negara yang luas, “peralatan tempur” yang menjadi kelengkapan sehari-hari dipreteli Paspampres. Kami tidak diperkenankan membawa masuk ponsel, alat perekam elektronik, kamera, pokoknya sebangsa alat-alat elektronik. Rupanya ini ketentuan standar, tetapi bukan berarti saya mati nalar. Memang saya harus mengubur dalam-dalam pesanan Pemred Kompas.com Achmad Subechi yang meminta saya merekam testimoni Presiden RI terkait Ultah ke-7 Kompas.com Reborn. Lha mau merekam gambar video pakai apa wong semua alat elektronik dititipkan Paspampres? Rencana tinggal rencana, harapan tinggal harapan. Tapi otak muter terus!

Kami harus menunggu sekitar setengah jam dari waktu yang telah ditentukan. Pak Teten malah meminta kami untuk makan siang terlebih dahulu sebagaimana yang dipesankan Presiden. Ya jelas kami tolak, sebab meski undangannya untuk makan siang, tetapi bukan tujuan utama kami makan siang di Istana, melainkan silaturahmi. Barulah setelah Jokowi tiba mengenakan batik lengan panjang, kami bersedia makan bersama. Itu pun dengan cara prasmanan, bukan yang disajikan para pelayan Istana di atas meja mewah, sebagaimana kegiatan santapan Istana pada presiden-presiden periode sebelumnya (maaf membandingkan).

Tidak ada piring dan gelas kristal sebagaimana yang saya bayangkan. Makanan parasmanannya pun dengan menu nasi padang plus sotonya dengan tambahan kerupuk sagu yang kriuk-kriuk. Tidak ada pilihan menu di luar nasi padang. Maka saat santap siang dimulai, Jokowi berkata, “Maaf ya kalau masakannya ada yang tidak cocok dengan selera Bapak-Ibu, ini (masakan padang) saya beli dari belakang.”

Saya tidak alergian terhadap makanan. Saya tipe makhluk “segalavora” alias apa pun bisa saya makan, kecuali sandal jepit. Maka mendapat menu masakan padang, saya bisa ambil sambal hijau sebanyak-banyaknya, rendang sapi, telur semur, dan sayur (belakangan baru nyadar, banyak juga saya ambil makanan). Soto saya pesan kepada dua pelayan pria yang ramah dan diantar ke atas meja. Satu yang tidak saya makan meski saya suka, yaitu kerupuk. Soalnya saya tidak mau menambah “kegaduhan” di Istana Negara dengan demo paduan suara kerupuk “kriuk-kriuk” saat makan. Dan, rupanya itu terbukti, bising sekali.

Teten Masduki, orang yang mendirikan ICW, menjadi moderator bincang-bincang Kompasianer bersama Presiden. Ia memberi kesempatan hadirin memperkenalkan diri, setelah itu baru sesi bertanya. Jokowi saya lihat banyak mendengar dan mencatat, sementara saya hadir tanpa catatan, hanya coba mengandalkan ingatan untuk “mencatat” setiap ucapan Jokowi. Naluri jurnalis saya bekerja alias “on” terus. Saya pikir, tidak ada salahnya saya tulis untuk Harian Kompas, pasti beritanya eksklusif hehehe...

Saat perkenalan, saya memberi clue bahwa saya pernah “mendampingi” Jokowi sebagai moderator saat menjabat Gubernur DKI dalam acara Kompasiana Monthly Discussion (Modis), beberapa tahun lalu (lihat foto di atas). Jokowi yang duduk tepat di depan saya sepertinya masih ingat karena ia mengangguk-angguk. Atau saya yang kegeeran mungkin.

Sebagai jurnalis yang biasa mengingat dan mencatat cermat di luar kepala, dan alhamdulillah saya bisa menumpahkan kembali semua yang Jokowi katakan atas pertanyaan hadirin. Saya sendiri menanyakan tiga hal kepada Presiden RI itu;

Pertama, terkait pemberian grasi/amnesti kepada tahanan politik Papua. “Apakah pemberian grasi itu tidak menyinggung militer yang selama ini mengamankan Papua dari tindakan separatis?” Kedua, soal keberaniannya mengkritik badan dunia PBB saat berlangsungnya Peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. “Apakah Bapak tidak mempertimbangkan kemungkinan kemarahan Amerika Serikat dan sekutunyan sebagai pemegang hak veto?” Ketiga, soal pemberantasan korupsi di saat terjadinya pelemahan KPK kaitannya dengan rentetan kasus Komjen Budi Gunawan. “Mau dibawa ke mana lembaga pemberantasan korupsi ini dan apakah Bapak serius memberantas korupsi?”

Rekan-rekan Kompasianer lainnya tentu saja bertanya atau sekadar menyatakan pendapat, baik yang datar berupa harapan maupun imperatif yang seperti “memaksa” Presiden untuk melaksanakan/tidak melaksanakan ini dan itu. Dalam hati, boleh juga Kompasianer ini, punya nyali dan make sense juga “perintah”-nya kepada Presiden itu. Terlihat, Jokowi menanggapinya dengan serius, bahkan mencatatnya. Dalam tulisan ini, saya hanya fokus pada apa yang saya tanyakan saja.

Setelah semua kebagian bertanya secara adil, Teten mempersilakan Jokowi untuk menjawabnya. Tidak langsung menjawab secara keseluruhan pertanyaan, tetapi sebagai pembuka ia bercerita (lebih tepat curhat) banyak hal mengenai pengalamannya menjabat presiden, sesuatu yang justru tidak ditanyakan. Misalnya saat ia bercerita mengenai salah satu menterinya yang “nyentrik”, yaitu Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti. Ia mengaku, sejak awal Susi sudah memantik kontroversi. “Ini gara-gara media memberitakan Ibu Susi sedang...” (Jokowi menempelkan telunjuk dan jari tengah di bibirnya, maksudnya “merokok”). “Wah, ramai jadinya,” kata Jokowi terkekeh.

“Kontroversi” lain dari sosok Susi sebelum diangkat menjadi menteri adalah debat “sengit”-nya bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurut Jokowi, Pak JK kurang sreg dengan pendidikan Bu Susi yang “hanya tamat” SMP.  “Tetapi saya katakan, meski lulus SMP, Ibu Susi menguasai lima bahasa asing, Inggris, Jerman, Perancis... padahal waktu itu saya asal sebut saja,” kata Presiden sambil senyam-senyum.

Satu hal yang lebih sensitif mengenai Bu Susi dan kaitannya dengan debat dengan JK itu, yaitu soal tatto-nya. Dengan gaya bertutur Jokowi bercerita, “Pak JK bilang Bu Susi punya tatto di sini.... (Jokowi menunjuk belikat atau belakang pundaknya sendiri). Saya tanya, lho gimana caranya Bapak (JK) bisa tahu? Belakangan terbukti Pak JK keliru, wong tatto Bu Susi adanya di.... (Jokowi menunjuk kakinya).”

Tentu saja apa yang disampaikannya tidak dimaksudkan membuka aib siapa pun atau kasarnya “ngomongin” wapresnya sendiri, melainkan lebih kepada konteks menghidupkan suasana agar pertemuan berlangsung cair, mengingat bawaan Jokowi memang penuh canda dan tawa.

Barulah ia menjadi serius tatkala mengungkapkan adanya desakan sebagian masyarakat agar menyelesaikan kasus pelanggaran HAM seperti Talangsari, Tanjungpriok, 27 Juli, Trisakti dan lain-lain. “Perlahan-lahan saya akan sampai ke sana (pengusutan pelanggaran HAM), tetapi prioritas saya ngurusin yang hidup-hidup dulu,” katanya. Kali ini sangat serius.

Tentang pencurian ikan oleh kapal-kapal asing di perairan Indonesia, Jokowi menggambarkan, sebelum adanya gebrakan penenggelaman kapal asing yang tertangkap, perairan Maluku layaknya pesta lampu kalau malam hari tiba. “Itu kapal-kapal asing yang sedang mencuri ikan,” katanya.

Jokowi mengungkapkan, dirinya ingin membuktikan kebenaran informasi tersebut dan berminat menyaksikan langsung di lokasi, tetapi oleh stafnya disarankan untuk tidak nekat blusukan ke perairan Maluku. Solusinya adalah foto satelit yang menunjukkan “pesta” kapal asing itu benar adanya. “Lagi pula kalau saya ke sana (perairan Maluku) sekarang, kapal-kapal asing itu sudah tidak ada lagi. Kapok,” katanya lagi.

Meski demikian, Presiden tetap meminta dan “menagih” janji Menteri Susi untuk menenggelamkan 100 kapal asing yang tertangkap tangan sedang mencuri ikan di perairan Indonesia. “Berdasarkan laporan yang saya terima, masih ada 38 lagi kapal asing yang akan ditenggelamkan,” ungkapnya, “Saya maunya tetap 100 kapal yang ditenggelamkan. Tetapi sekarang mungkin sudah sulit menangkap kapal asing sebanyak itu.”

Hal sensitif pun, semisal soal pengangkatan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan, Presiden bicara apa adanya. “Saya harus menghitung dengan tepat, makanya keputusannya agak lambat. Ini masalah politik yang rentan pemakzulan.” Kali ini Presiden bicara tanpa tawa. Serius. Juga soal kritikannya terhadap Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) saat berlangsungnya peringatan KAA di Bandung yang dinilainya tidak bisa berbuat banyak di sejumlah wilayah konflik, Presiden mengaku tidak harus takut terhadap si pemilik hak veto, termasuk Amerika Serikat. “Memang kenyataannya (PBB) begitu kok, lha mau apa?” katanya dengan nada bertanya. Jokowi sekaligus menjawab pertanyaan saya tadi.

Tentang pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba, Presiden mengingatkan bahwa itu merupakan keputusan pengadilan dan eksekusi seharusnya dilaksanakan pada masa pemerintahan sebelumnya. Untuk penolakan grasi dan imbauan pemimpin negara-negara yang warganya dihukum mati, Presiden mengaku mendapat tekanan sangat berat. Lobi pun gencar dilakukan. Tetapi, kata Presiden, dirinya selalu menjelaskan mengenai betapa krisisnya rakyat Indonesia oleh narkotika akibat ulah gembong narkoba.

Menjawab soal alasan pemberian grasi/amnesti kepada sejumlah tahanan politik Papua sebagaimana yang saya tanyakan, Presiden mengatakan, harus ada pendekatan lain yang lebih menusiawi kepada rakyat Papua. “Masak sampai sekarang masih ada tahanan politik? Memangnya kenapa mereka itu?” katanya. Dia berjanji minimal tiga kali dalam setahun akan mengadakan kunjungan kerja ke provinsi paling timur Indonesia itu sebagai upaya melakukan pendekatan yang lebih manusia, sebagaimana dikatakannya.

Peristiwa lain yang berkesan dan diceritakan kepada penulis warga Kompasiana adalah mengenai tanda tangannya di Perpres yang ramai diberitakan. Perpres itu mengenai tunjangan uang muka pembelian kendaraan bagi pejabat negara yang naik dari Rp116,6 juta menjadi Rp210,9 juta. Menjadi heboh, karena selain bertepatan dengan kenaikan harga BBM, Presiden juga mengaku tidak membaca terlebih dahulu apa yang harus ditandatanganinya. “Lha saya bicara jujur pun dianggap salah jadinya,” kata Jokowi.

Menurut Presiden, adalah tugas para menteri terkait dan sekretaris negara yang menyortir dan membaca secara detail seluruh risalah sebelum ia menandatanganinya. Jokowi kemudian merentangkan kedua tangannya dari atas sampai bawah untuk menggambarkan setumpuk dokumen yang harus ditandatanganinya setiap hari di mana tumpukannya bisa mencapai lebih dari satu meter.

“Lha... kalau saya baca semua dokumen itu, Presiden Tata Usaha namanya,” kata Presiden Jokowi, kali ini sambil tertawa lepas.

Alhasil, silaturahmi dan bincang-bincang dengan Kompasianer berlangsung selama lebih dari dua jam. Pak Teten sudah memberi isyarat bahwa acara lain sudah menunggu, tetapi Jokowi masih terus saja meladeni. Pada kesempatan langka itu, saya menyodorkan undangan untuk Presiden RI agar bersedia menjadi keynote speaker pada acara Kompasianival yang akan berlangsung 21 November 2015. Alhamdulillah, Jokowi menyatakan setuju untuk hadir.

"Insya Allah saya hadir dan mengeblok tanggal itu agar tidak lupa, tetapi tolong diingatkan kembali jika acaranya sudah dekat," kata Jokowi.

**

Ditulis di ketinggian 37.000 kaki Selat Makassar, Jumat, 22 Mei 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun