Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jadikan KOMPAS.com Etalase Reportase Anda secara Gratis!

10 Oktober 2011   10:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:07 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pada tahun 2009 saya bertemu Chris Anderson di Amsterdam, Belanda. Selain berkesempatan omong-omong, saya dapat mengikuti cermahnya dari penulis buku "Long Tail" dan "The Web is Dead" di Wire ini dengan khidmat. Waktu itu ia membawakan presentasi "FREE" alias gratis. Kata-kata Freemium pun terungkap di sana. Hari ini saya membaca artikel Kimi Raiko The Power of Freemium di Kompasiana yang menurut saya sangat menarik, menggugat, dan memancing diskusi. Beberapa pekan lalu saya membaca buku Anderson, "FREE: the Future of Radical Price". Rupanya apa yang ia presentasikan di Amsterdam itu sudah menjadi buku tiga tahun kemudian. Saya pelajari buku itu dan terus terang saja, buku itu membuka pandangan saya mengenai hal-hal yang gratis itu. Saya tidak menduga kalau konsep gratis adalah konsep ekonomi purba, yang sudah dipraktikkan sejak berabad-abad silam. Saya juga terkesima dengan adanya contoh toko gratis di Jepang, yang benar-benar menyediakan barang gratis buat konsumen, tetapi ternyata juga ada substitusi, karena saking terkenalnya toko tersebut, malah ada beberapa produsen yang justru memberi barang untuk digratiskan dan harus membayar rak di toko itu untuk menyimpan barangnya. Luar biasa! Gratis juga dipraktikkan di ruma-rumah sakit khusus kaum tidak berpunya, tetapi ada subsidi dari orang berpunya di sana. Secara tidak terasa, gratis sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari. Slogan "Beli dua dapat tiga" atau sampel makanan/minuman, adalah contoh-contoh ekonomi gratis yang sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari. Atau amati saat Anda makan di restoran Mc Donald, misalnya, di sana ada mainan perosotan gratis buat anak-anak, ada lahan parkir gratis yang luas, ada tissue gratis, saus atau sambal yang gratis, dan seterusnya. Semua yang digratiskan itu sudah dihitung sebagai ongkos produksi, tetapi konsumen tetap menganggapnya sebagai barang gratisan, bukan? Sesungguhnya kalau mau istilah kasar-kasaran, Kompasiana dimana rekan-rekan Kompasianer menyimpan tulisannya, adalah ruang pamer gratis yang dibaca jutaan orang setiap bulannya. Sebagaimana Facebook, Kompasiana tetap akan digratiskan selamanya. Darimana substitusi gratisnya Kompasiana itu? Jelas ada pemasang iklan di Kompasiana, yang akan menutupi semua ongkos produksi Kompasiana. Facebook juga akan digratiskan selamanya, sebab dia sudah menemukan model bisnisnya yang luar biasa besar: iklan dan kerjasama dengan vendor pihak ketiga seperti penyelenggara games berjamaah. Mengapa kemudian harus ada Hybrid Journalism? Harap dipahami secara cermat. Hybrid adalah "teaser" bagi artikel/laporan di Kompasiana untuk dipajang di Kompas.com sebagai media mainstream. Sekali lagi, hanya "teaser" alias "penggoda". Harapannya, ketika pembaca Kompas.com yang jauh lebih luas dibanding Kompasiana membaca "teaser" itu, mereka dirujuk ke artikel/reportase aslinya di Kompasiana! Di Newsroom sendiri sudah memperketat cara penulisan "teaser" berita yang tidak sampai mengutip utuh seluruh artikel Kompasianer, tetapi menjadikan para penulisnya sebagai sumber berita. Coba cermati "teaser-teaser" yang kemudian menjadi berita di Kompas.com, dipastikan tidak ada yang mengutip 100 persen tulisan Kompasianer. Bahkan kami di newsroom bersepakat untuk membuat lead sendiri, juga bila dimungkinkan judul yang baru. Silakan cermati dan pelajari beberapa sampel berita Kompas.com yang sudah di-"hybrid" ini:

Kembali ke niat saya sebagai orang yang berkecimpung di social media, saya berniat untuk mengangkat berita warga menjadi lebih reliable, dipercaya, dan kredibel. Bahwa, jangkauan Nusantara yang luas ini tidak mungkin diatasi oleh segelintir wartawan Kompas.com. Di sisi lain, ada puluhan ribu Kompasianer yang tersebar di seluruh dunia, yang mampu melaporkan berita-berita di sekitarnya yang tidak terjangkau oleh jurnalis profesional dari media mainstream. Apakah ini upaya eksploitasi? Yang namanya kesan dan dugaan, itu sah-sah saja, tergantung dari sisi mana Anda melihatnya. Tetapi dalam dunia yang serba Freemium ini, seharusnya kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh para Kompasianer, bahwa tulisan/reportase Anda berkesempatan menempati etalase Kompas.com yang dibaca secara masif oleh jutaan orang. Bahwa, tidak semua reportase dan laporan warga Kompasiana yang dimuat begitu saja atas nama pemenuhan konten Kompas.com. Tidak! Hanya tulisan atau reportase Kompasianer yang bernilai berita, aktual, penting dan menarik saja yang akan  di-"hybrid" serta berkesempatan menempati "etalase" Newstand bernama Kompas.com. Salam Freemium!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun