Apakah ciri-ciri apologia?"
Demikian Ahmad Wahib, cendekiawan, menulis dalam catatan hariannya, 6 Februari 1970, yang kemudian dirangkum dalam buku yang kini sudah menjadi klasik dan langka "Pergolakan Pemikiran Islam", terbitan LP3ES, 1981.
"Apologia" atau "apologi" di sini adalah pidato atau tulisan yang dimaksudkan sebagai pembelaan diri. Kata "apologia" menjadi populer dan mendunia tatkala Plato menulis "Apologia Socrates" yang dimaksudkan sebagai pembelaan terhadap Socrates di depan hakim yang menuduhnya tidak percaya kepada dewa-dewa, "tuhan" yang wajib disembah pada zamannya.
Saya meminjam ciri-ciri apologia dari Wahib ini untuk urusan menulis, dalam batas-batas tertentu juga untuk berpidato dan berdebat, yang saya pikir masih relevan sampai sekarang. Adapun Wahib menengarai lima ciri-ciri apologia, yakni;
1. Kalau merasa diserang, yang bersangkutan akan menangkis atau membela diri,
2. Kalau merasa akan diserang, yang bersangkutan akan bikin "excuse" lebih dahulu,
3. Ada kecenderungan membangkit-bangkitkan kembali hal-hal yang lama,
4. Tidak jarang mengagung-agungkan masa lalu,
5. Normatif.
Ciri-ciri yang dikemukakan Wahib relevan dengan sikap seorang penulis dalam berargumen lewat opini atau essai yang ditulisnya. Menulis opini sebenarnya merupakan proses dialektika terhadap diri sendiri, mengeksplorasi pikiran sendiri, atas sebuah gagasan yang kebenarannya terbuka untuk diuji siapa saja. Sikap seorang penulis, dalam hal ini penulis opini, haruslah terbuka terhadap kritik, bukan sebaliknya, defensif atau bahkan ofensif.
Menganggap argumen sendiri paling benar dan final, adalah kecelakaan fatal dalam menulis, juga bencana bagi si penulisnya itu sendiri. Pendapat sendiri haruslah dibandingkan, setidak-tidaknya disandingkan, dengan pendapat yang telah ada sebelumnya atau merujuk pada referensi tertentu. Tidak bisa seorang penulis menganggap pendapatnya sebagai yang paling benar, sementara pendapat orang lain salah. Sebab, ketika argumen dalam bentuk tulisan itu dilempar ke publik, ia sejatinya terbuka untuk dikritik.
Berdebat, pun berargumen melalui tulisan, sesungguhnya proses dialektika untuk mencari titik-temu kebenaran, bukan mencari siapa yang paling benar. Masing-masing kepala peserta debat sudah dibekali dengan berbagai referensi yang pernah dibacanya atau peristiwa yang pernah dialaminya (praxis). Berdiskusi adalah mencari kesesuaian, memecahkan masalah bersama, dan tidak untuk saling serang, apalagi melakukan "ad hominem". Kritiklah pandangannya, bukan keadaan orangnya!
Apakah berapologi itu selalu buruk dan salah?
Iya, kalau masuk kepada lima ciri sebagaimana yang dikemukakan Wahib di atas. Namun yang paling baik tentulah mempertahankan argumen tanpa berapologi, tidak membela diri secara vulgar, mengelak dari apa yang sedang diperdebatkan, atau lari dari kenyataan.
Mengakui kesalahan sendiri memang paling berat, tetapi keberanian "mengakui kesalahan" (bukan mengakui kekalahan) adalah cara paling baik untuk menghindari apologi. Mengakui argumen lawan bicara jika diri sendiri tidak cukup memiliki amunisi referensi dan sama-sama mencoba mencari titik-temu jawaban paling relevan, adalah cara paling efektif dilakukan peserta diskusi.